Har Magazine official website | Members area : Register | Sign in

Teori Belajar Konstruktivisme

Saturday, October 23, 2010

Oleh : Dr. Hamzah, M.Ed.

A.Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

*) Dr. Hamzah, M.Ed. adalah dosen pada FMIPA Universitas Negeri Makassar

Stimulasi Dini untuk Mengembangkan Kecerdasan majemuk dan Kreativitas Anak

Monday, October 18, 2010

KECERDASAN MAJEMUK, meyakini bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang spesial. Tidak ada anak bodoh.
Apa yang dimaksud dengan kecerdasan majemuk?
Kecerdasan majemuk (multiple inteligensia) adalah berbagai jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain verbal-linguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi, tulisan), logical-mathematical (kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah), visual spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga), musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama), intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri), interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain), naturalist (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan).
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas kecerdasan ?
Kecerdasan majemuk dipengaruhi 2 faktor utama yang saling terkait yaitu faktor keturunan (bawaan, genetik) dan faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengembangkan berbagai kecerdasan jika mempunyai faktor keturunan dan dirangsang oleh lingkungan terus menerus. Orangtua yang cerdas anaknya cenderung akan cerdas pula jika faktor lingkungan mendukung pengembangan kecerdasaannnya sejak didalam kandungan, masa bayi dan balita. Walaupun kedua orangtuanya cerdas tetapi jika lingkungannya tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk pengembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orangtua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (belum tentu mereka tidak cerdas, mungkin karena tidak ada kesempatan atau hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas jika dicukupi kebutuhan untuk pengembangan kecerdasan sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja.
Apa kebutuhan pokok untuk mengembangkan kecerdasan?
Tiga kebutuhan pokok untuk mengembangkan kecerdasan antara lain adalah kebutuhan FISIK-BIOLOGIS (terutama untuk pertumbuhan otak, sistem sensorik dan motorik), EMOSI-KASIH SAYANG (mempengaruhi kecerdasan emosi, inter dan intrapersonal) dan STIMULASI DINI (merangsang kecerdasan-kecerdasan lain). Kebutuhan FISIK-BIOLOGIS terutama gizi yang baik sejak di dalam kandungan sampai remaja terutama untuk perkembangan otak, pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan, dan ketrampilan fisik untuk melakuk anaktivitas sehari-hari. Kebutuhan EMOSI-KASIH SAYANG : terutama dengan melindungi, menimbulkan rasa aman dan nyaman, memperhatikan dan menghargai anak, tidak mengutamakan hukuman dengan kemarahan tetapi lebih banyak memberikan contoh-contoh dengan penuh kasih sayang. Kebutuhan STIMULASI meliputi rangsangan yang terus menerus dengan berbagai cara untuk merangsang semua system sensorik dan motorik. Ketiga kebutuhan pokok tersebut harus diberikan secara bersamaan sejak janin didalam kandungan karena akan saling berpengaruh. Bila kebutuhan biofisik tidak tercukupi, gizinya kurang, sering sakit, maka perkembangan otaknya tidak optimal. Bila kebutuhan emosi dan kasih sayang tidak tercukupi maka kecerdasan inter dan antar personal juga rendah. Bila stimulasi dalam interaksi sehari-hari kurang bervariasi maka perkembangan kecerdasan juga kurang bervariasi.
Apa itu STIMULASI DINI? Apa manfaatnya?
Stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir (bahkan sebaiknya sejak janin 6 bulan di dalam kandungan) dilakukan setiap hari, untuk merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan, pengecapan). Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki, tangan dan jari-jari, mengajak berkomunikasi, serta merangsang perasaan yang menyenangkan dan pikiran bayi dan balita. Rangsangan yang dilakukan sejak lahir, terus menerus, bervariasi, dengan suasana bermain dan kasih sayang, akan memacu berbagai aspek kecerdasan anak (kecerdasan majemuk) yaitu kecerdasan : logiko-matematik, emosi, komunikasi bahasa (lingusitik), kecerdasan musikal, gerak (kinestetik), visuo-spasial, senirupa dll.
Cara melakukan stimulasi dini
Stimulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi/balita. misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain, menonton TV, di dalam kendaraan, menjelang tidur. Stimulasi untuk bayi 0-3 bulan dengan cara : mengusahakan rasa nyaman, aman dan menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau musik bergantian, menggantung dan menggerakkan benda berwarna mencolok (lingkaran atau kotak-kotak hitam-putih), benda-benda berbunyi, mengulingkan bayi kekanan-kekiri, tengkurap-telentang, dirangsang untuk meraih dan memegang mainan Umur 3-6 bulan ditambah dengan bermain, melihat wajah bayi dan pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, telentang bolak-balik, duduk. Umur 6-9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih berdiri berpegangan. Umur 9-12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mama-papa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas, menggelindingkan bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan. Umur 12-18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana (puzzle) memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya, bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, sapu, lap. Latihlah berjalan tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola, melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana (mana bola, pegang ini, masukan itu, ambil itu), menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda. Umur 18-24 bulan ditambah dengan menanyakan, menyebutkan dan menunjukkan bagian-bagian tubuh (mana mata? hidung?, telinga?, mulut ? dll), menanyakan gambar atau menyebutkan nama binatang & benda-benda di sekitar rumah, mengajak bicara tentang kegiatan sehari-hari (makan, minum mandi, main, minta dll), latihan menggambar garis-garis, mencuci tangan, memakai celana & baju, bermain melempar bola, melompat. Umur 2-3 tahun ditambah dengan mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil, panas-dingin, tinggi-rendah, banyak-sedikit dll), menyebutkan nama-nama teman, menghitung benda-benda, memakai baju, menyikat gigi, bermain kartu, boneka, masak-masakan, menggambar garis, lingkaran, manusia, latihan berdiri di satu kaki, buang air kecil / besar di toilet. Setelah umur 3 tahun selain mengembangkan kemampuan-kemampuan umur sebelumnya, stimulasi juga di arahkan untuk kesiapan bersekolah antara lain : memegang pensil dengan baik, menulis, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, mengerti perintah sederhana (buang air kecil / besar di toilet), dan kemandirian (ditinggalkan di sekolah), berbagi dengan teman dll. Perangsangan dapat dilakukan di rumah (oleh pengasuh dan keluarga) namun dapat pula di Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak atau sejenisnya.
Pentingnya suasana ketika stimulasi
Stimulasi dilakukan setiap ada kesempatan berinteraksi dengan bayi-balita, setiap hari, terus menerus, bervariasi, disesuaikan dengan umur perkembangan kemampuannya, dilakukan oleh keluarga (terutama ibu atau pengganti ibu). Stimulasi harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan dan kegembiraan antara pengasuh dan bayi/balitanya. Jangan memberikan stimulasi dengan terburu-terburu, memaksakan kehendak pengasuh, tidak memperhatikan minat atau keinginan bayi/balita, atau bayi-balita sedang mengantuk, bosan atau ingin bermain yang lain. Pengasuh yang sering marah, bosan, sebal, maka tanpa disadari pengasuh justru memberikan rangsang emosional yang negatif. Karena pada prinsipnya semua ucapan, sikap dan perbuatan pengasuh adalah merupakan stimulasi yang direkam, diingat dan akan ditiru atau justru menimbulkan ketakutan bayi-balita.

Pentingnya pola pengasuhan yang demokratik (otoritatif)

Oleh karena itu interaksi antara pengasuh dan bayi atau balita harus dilakukan dalam suasana pola asuh yang demokratik (otoritatif). Yaitu pengasuh harus peka terhadap isyarat-isyarat bayi, artinya memperhatikan minat, keinginan atau pendapat anak, tidak memaksakan kehendak pengasuh, penuh kasih sayang, dan kegembiraan, menciptakan rasa aman dan nyaman, memberi contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba berkreasi, memberikan penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku yang baik, memberikan koreksi bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan.
Mengapa stimulasi dini bisa merangsang kecerdasan majemuk ?
Sel-sel otak janin dibentuk sejak 3 – 4 bulan di dalam kandungan ibu, kemudian setelah lahir sampai umur 3-4 tahun jumlahnya bertambah dengan cepat mencapai milyaran sel, tetapi belum ada hubungan antar sel-sel tersebut. Mulai kehamilan 6 bulan, dibentuklah hubungan antar sel, sehingga membentuk rangkaian fungsi-fungsi. Kualitas dan kompleksitas rangkaian hubungan antar sel-sel otak ditentukan oleh stimulasi (rangsangan) yang dilakukan oleh lingkungan kepada bayi-balita tersebut. Semakin bervariasi rangsangan yang diterima bayi-balita maka semakin kompleks hubungan antar sel-sel otak. Semakin sering dan teratur rangsangan yang diterima, maka semakin kuat maka hubungan antar sel-sel otak tersebut. Semakin kompleks dan kuat hubungan antar sel-sel otak, maka semakin tinggi dan bervariasi kecerdasan anak di kemudian hari, bila dikembangkan terus menerus, sehingga anak akan mempunyai banyak variasi kecerdasan (multiple inteligensia).
Bagaimana cara merangsang kecerdasan majemuk?
Untuk merangsang kecerdasan berbahasa verbal ajaklah bercakap-cakap, bacakan cerita berulang-ulang, rangsang untuk berbicara dan bercerita, menyanyikan lagu anak-anak dll. Latih kecerdasan logika-matematik dengan mengelompokkan, menyusun, merangkai, menghitung mainan, bermain angka, halma, congklak, sempoa, catur, kartu, teka-teki, puzzle, monopoli, permainan komputer dll. Kembangkan kecerdasan visual-spatial dengan mengamati gambar, foto, merangkai dan membongkar lego, menggunting, melipat, menggambar, halma, puzzle, rumah-rumahan, permainan komputer dll. Melatih kecerdasan gerak tubuh dengan berdiri satu kaki, jongkok, membungkuk, berjalan di atas satu garis, berlari, melompat, melempar, menangkap, latihan senam, menari, olahraga permainan dll. Merangsang kecerdasan musikal dengan mendengarkan musik, bernyanyi, memainkan alat musik, mengikuti irama dan nada. Melatih kecerdasan emosi inter-personal dengan bermain bersama dengan anak yang lebih tua dan lebih muda, saling berbagi kue, mengalah, meminjamkan mainan, bekerjasama membuat sesuatu, permainan mengendalikan diri, mengenal berbagai suku, bangsa, budaya, agama melalui buku, TV dll. Melatih kecerdasan emosi intra-personal dengan menceritakan perasaan, keinginan, cita-cita, pengalaman, berkhayal, mengarang ceritera dll. Merangsang kecerdasan naturalis dengan menanam biji hingga tumbuh, memelihara tanaman dalam pot, memelihara binatang, berkebun, wisata di hutan, gunung, sungai, pantai, mengamati langit, awan, bulan, bintang dll. Bila anak mempunyai potensi bawaan berbagai kecerdasan dan dirangsang terus menerus sejak kecil dengan cara yang menyenangkan dan jenis yang bervariasi maka anak kita akan mempunyai kecerdasan yang majemuk.
Bagaimana cara mengembangkan kreativitas anak?
Kreativitas dibutuhkan oleh manusia untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kreativitas harus dikembangkan sejak dini. Banyak keluarga yang tidak menyadari bahwa sikap orangtua yang otoriter (diktator) terhadap anak akan mematikan bibit-bibit kreativitas anak, sehingga ketika menjadi dewasa hanya mempunyai kreativitas yang sangat terbatas.
Bagaimana peran orangtua utk mengembangkan kreativitas anak?
Kreativitas anak akan berkembang jika orangtua selalu bersikap otoritatif (demokratik), yaitu : mau mendengarkan omongan anak, menghargai pendapat anak, mendorong anak untuk berani mengungkapkannya. Jangan memotong pembicaraan anak ketika ia ingin mengungkapkan pikirannya. Jangan memaksakan pada anak bahwa pendapat orangtua paling benar, atau melecehkan pendapat anak orangtua harus mendorong anak untuk berani mencoba mengemukakan pendapat, gagasan, melakukan sesuatu atau mengambil keputusan sendiri (asalkan tidak membahayakan atau merugikan oranglain atau diri sendiri). Jangan mengancam atau menghukum anak kalau pendapat atau perbuatannya dianggap salah oleh orangtua. Anak tidaklah salah, mereka umumnya belum tahu, dalam tahap belajar. Oleh karena itu tanyakan mengapa mereka berpendapat atau berbuat demikian, beri kesempatan untuk mengemukan alasan-alasan. Berikanlah contoh-contoh, ajaklah berpikir, jangan didikte atau dipaksa, biarkan mereka yang memperbaikinya dengan caranya sendiri. Dengan demikian tidak mematikan keberanian mereka untuk mengemukakan pikiran, gagasan, pendapat atau melakukan sesuatu. Selain itu orangtua harus mendorong kemandirian anak dalam melakukan sesuatu, menghargai usaha-usaha yang telah dilakukannya, memberikan pujian untuk hasil yang telah dicapainya walau sekecil apapun. Cara-cara ini merupakan salah satu unsur penting pengembangan kreativitas anak. Keluarga harus merangsang anak untuk tertarik mengamati dan mempertanyakan tentang berbagai benda atau kejadian disekeliling kita, yang mereka dengar, lihat, rasakan atau mereka pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua harus menjawab dengan cara menyediakan sarana yang semakin merangsang anak berpikir lebih dalam, misalnya dengan memberikan gambar-gambar, buku-buku. Jangan menolak, melarang atau menghentikan rasa ingin tahu anak, asalkan tidak membahayakan dirinya atau orang lain. Orangtua harus memberi kesempatan anak untuk mengembangkan khayalan, merenung, berfikir dan mewujudkan gagasan anak dengan cara masing-masing. Biarkan mereka bermain, menggambar, membuat bentuk-bentuk atau warna-warna dengan cara yang tidak lazim, tidak logis, tidak realistis atau belum pernah ada. Biarkan mereka menggambar sepeda dengan roda segi empat, langit berwarna merah, daun berwarna biru. Jangan banyak melarang, mendikte, mencela, mengecam, atau membatasi anak. Berilah kebebasan, kesempatan, dorongan, penghargaan atau pujian untuk mencoba suatu gagasan, asalkan tidak membahayakan dirinya atau orang lain. Semua hal-hal tersebut akan merangsang perkembangan fungsi otak kanan yang penting untuk kreativitas anak yaitu: berfikir divergen (meluas), intuitif (berdasarkan intuisi), abstrak, bebas, simultan.
Ringkasan
Jika menginginkan anak dengan kecerdasan majemuk harus dilakukan perangsangan sejak bayi setiap hari pada semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan, pengecapan), dengan mengajak berbicara, bermain untuk merangsang perasaan dan pikiran, merangsang gerak kasar dan halus pada leher, tubuh, kaki, tangan dan jari-jari. Cara melakukan stimulasi harus disesuaikan dengan umur dan tahapan tumbuh -kembang anak. Stimulasi dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi/balita, misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain, menonton TV, di dalam kendaraan, menjelang tidur, atau kapanpun dan dimanapun ketika anda dapat berinteraksi dengan balita anda. Selanjutnya dapat ditambah melalui Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak dan sejenisnya. Stimulasi harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, yaitu pola asuh yang otoritatif (demokratik). Artinya : pengasuh harus peka terhadap isyarat-isyarat bayi, memperhatikan minat, keinginan atau pendapat anak, tidak memaksakan kehendak pengasuh, penuh kasih sayang, dan kegembiraan, menciptakan rasa aman dan nyaman, memberi contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba berkreasi, memberikan penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku yang baik, memberikan koreksi bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan. Pola asuh otoritatif penting untuk mengembangkan kreativitas anak. Dengarkan omongan anak, dorong anak untuk berani mengucapkan pendapatnya, hargai pendapat anak, jangan memotong pembicaraan anak, jangan memaksakan pendapat orangtua atau melecehkan pendapat anak. Rangsanglah anak untuk tertarik mengamati dan mempertanyakan tentang berbagai hal dilingkungannya, beri kebebasan dan dorongan untuk mengembangkan khayalan, merenung, berfikir, mencoba dan mewujudkan gagasan. Berikan pujian untuk hasil yang telah dicapainya walau sekecil apapun. Jangan menghentikan rasa ingin tahu anak, jangan banyak mengancam atau menghukum, beri kesempatan untuk mencoba, asalkan tidak membahayakan dirinya atau orang lain.
Disalin dari : siap-sekolah.com

Teori Multiple Intelligences

image

Howard Gardner's

Pertanyaan mengenai definisi optimal mengenai kecerdasan membayang-bayangi dalam pencarian kita. Memang, pada  tingkat definisi ini teori kecerdasan majemuk terpisah dari pokok-pokok pandangan tradisional. Dalam pandangan tradisional, kecerdasan ditetapkan secara operasional sebagai kemampuan untuk menjawab berbagai jenis tes kecerdasan. Kesimpulan dari nilai tes pada beberapa kemampuan di balik itu didukung oleh teknik statistik yang membandingkan tanggapan subyek pada usia berbeda; korelasi yang jelas dari nilai tesini lintas umur dan lintas tes berbeda membenarkan pengertian bahwa bakat umum dari kecerdasan tidak banyak berubah dengan bertambahnya umur atau dengan pelatihan atau pengalaman.Ini adalah sifat yang dibawa sejak lahir atau bakat individual.

Teori kecerdasan majemuk sebaliknya menjadikan majemuk konsep tradisional. Kecerdasan menyangkut kemampuan menyelesaikan masalah atau produk modeyang merupakan konsekuensi dalamsuasana budaya atau masyarakat tertentu. Keterampilan memecahkan masalah membuat seseorang mendekati situasi yang sasarannya harus dicapai dan menemukan rute yang tepat kearah sasaran itu. Penciptaan produk budaya amat penting bagi fungsi seperti menangkap dan meneruskan pengetahuan atau menyatakan pandangan atau perasaan seseorang. Masalah yang harus diselesaikan berkisar dari menciptakan akhir dari suatu cerita sampai mengantisipasi gerakan yang mematikan dalam catur sampai memperbaiki selimut. Produk berkisar dari teori ilmiah sampai Komposisi musik sampai kampanye politik yang berhasil.

Teori Multiple Intelligences (MI) dibingkai dalam asal-usul biologis dari setiap keterampilan menyelesaikan masalah. Hanya keterampilan yang bersifat universal bagi jenis manusia yang diolah. Sekalipun demikian, kecenderungan biologis untuk berpartisipasi dalam bentuk penyelesaian masalah ter tentu harus juga digabungkan dengan budaya yang memelihara bidang kegiatan itu. Misalnya, bahasa, keterampilan universal, mungkin terwujud dengan sendirinya terutama sebagai tulisan dalam satu budaya, sebagai ahli pidato dalam budaya lain, dan sebagai bahasa rahasia anagram (menukarkan huruf dalam kata sehingga membentuk kata lain) dalam budaya ketiga.

Mengingat keinginan memilih kecerdasan yang berakar dalam biologi, dan yang bernilai dalam satu atau beberapa suasana budaya, bagaimana seseorang sebenarnya mengenali “kecerdasan”? Dalam menyusun daftar kami, kami mempertimbangkan bukti dari beberapa sumber berbeda: pengetahuan mengenai perkembangan normal dan perkembangan dari individu berbakat; informasi mengenai rusaknya keterampilan kognitif dengan kondisi otak yang rusak; penelitian mengenai populasi yang luar biasa, termasuk orang-orang yang luar biasa, orang yang amat cerdas dalam bidang tertentu tetapi nyaris tidak memahami bidang yang lain (idiotsavant), anak-anak penderita autisme; data mengenai evolusi proses belajar dalam beberapa milenium; pertimbangan proses belajar lintas budaya; penelitian psikometrik, termasuk pemeriksaan korelasi di antarates; dan penelitian pelatihan psikologis, terutama mengukur transfer dangen eralisasi lintas tugas. Hanya calon kecerdasan yang memuaskan semua atau sebagian besar kriteria yang dipilih  sebagai kecerdasan yang dapat dipercayai. Diskusi yang lebih lengkap dari setiap kriteria ini untuk suatu “kecerdasan” dan ketujuh kecerdasan yang diusulkan sejauhini,dapat dibaca dalam Frames of mind (1983) karangan Howard Gardner’s.

Teori Multiple Intelligences

image
Howard Gardner's
Pertanyaan mengenai definisi optimal mengenai kecerdasan membayang-bayangi dalam pencarian kita. Memang, pada  tingkat definisi ini teori kecerdasan majemuk terpisah dari pokok-pokok pandangan tradisional. Dalam pandangan tradisional, kecerdasan ditetapkan secara operasional sebagai kemampuan untuk menjawab berbagai jenis tes kecerdasan. Kesimpulan dari nilai tes pada beberapa kemampuan di balik itu didukung oleh teknik statistik yang membandingkan tanggapan subyek pada usia berbeda; korelasi yang jelas dari nilai tesini lintas umur dan lintas tes berbeda membenarkan pengertian bahwa bakat umum dari kecerdasan tidak banyak berubah dengan bertambahnya umur atau dengan pelatihan atau pengalaman.Ini adalah sifat yang dibawa sejak lahir atau bakat individual.
Teori kecerdasan majemuk sebaliknya menjadikan majemuk konsep tradisional. Kecerdasan menyangkut kemampuan menyelesaikan masalah atau produk modeyang merupakan konsekuensi dalamsuasana budaya atau masyarakat tertentu. Keterampilan memecahkan masalah membuat seseorang mendekati situasi yang sasarannya harus dicapai dan menemukan rute yang tepat kearah sasaran itu. Penciptaan produk budaya amat penting bagi fungsi seperti menangkap dan meneruskan pengetahuan atau menyatakan pandangan atau perasaan seseorang. Masalah yang harus diselesaikan berkisar dari menciptakan akhir dari suatu cerita sampai mengantisipasi gerakan yang mematikan dalam catur sampai memperbaiki selimut. Produk berkisar dari teori ilmiah sampai Komposisi musik sampai kampanye politik yang berhasil.
Teori Multiple Intelligences (MI) dibingkai dalam asal-usul biologis dari setiap keterampilan menyelesaikan masalah. Hanya keterampilan yang bersifat universal bagi jenis manusia yang diolah. Sekalipun demikian, kecenderungan biologis untuk berpartisipasi dalam bentuk penyelesaian masalah ter tentu harus juga digabungkan dengan budaya yang memelihara bidang kegiatan itu. Misalnya, bahasa, keterampilan universal, mungkin terwujud dengan sendirinya terutama sebagai tulisan dalam satu budaya, sebagai ahli pidato dalam budaya lain, dan sebagai bahasa rahasia anagram (menukarkan huruf dalam kata sehingga membentuk kata lain) dalam budaya ketiga.
Mengingat keinginan memilih kecerdasan yang berakar dalam biologi, dan yang bernilai dalam satu atau beberapa suasana budaya, bagaimana seseorang sebenarnya mengenali “kecerdasan”? Dalam menyusun daftar kami, kami mempertimbangkan bukti dari beberapa sumber berbeda: pengetahuan mengenai perkembangan normal dan perkembangan dari individu berbakat; informasi mengenai rusaknya keterampilan kognitif dengan kondisi otak yang rusak; penelitian mengenai populasi yang luar biasa, termasuk orang-orang yang luar biasa, orang yang amat cerdas dalam bidang tertentu tetapi nyaris tidak memahami bidang yang lain (idiotsavant), anak-anak penderita autisme; data mengenai evolusi proses belajar dalam beberapa milenium; pertimbangan proses belajar lintas budaya; penelitian psikometrik, termasuk pemeriksaan korelasi di antarates; dan penelitian pelatihan psikologis, terutama mengukur transfer dangen eralisasi lintas tugas. Hanya calon kecerdasan yang memuaskan semua atau sebagian besar kriteria yang dipilih  sebagai kecerdasan yang dapat dipercayai. Diskusi yang lebih lengkap dari setiap kriteria ini untuk suatu “kecerdasan” dan ketujuh kecerdasan yang diusulkan sejauhini,dapat dibaca dalam Frames of mind (1983) karangan Howard Gardner’s.

Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)

multiple intelligences diagram 1 Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk  mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik. Howard Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Secara rinci masing-masing kecerdasaan tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1.   Kecerdasan matematika-logika

Kecerdasan matematika-logika menunjukkan kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan matematika-logika tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahaminya tersebut. Peserta didik ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berpikir aktif, seperti catur dan bermain teka-teki.

2.   Kecerdasan bahasa

Kecerdasan bahasa menunjukkan kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Peserta didik dengan kecerdasan bahasa yang tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Peserta didik seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama orang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, peserta didik ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lainnya.

3.   Kecerdasan musikal

Kecerdasan musikal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama. Peserta didik jenis ini cenderung senang sekali mendengarkan nada dan irama yang indah, entah melalui senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan tape recorder, radio, pertunjukan orkestra, atau alat musik dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila dikaitkan dengan musik.

4.   Kecerdasan visual-spasial

Kecerdasan visual-spasial menunjukkan kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial ini. Peserta didik demikian akan unggul, misalnya dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan.

5.   Kecerdasan kinestetik

Kecerdasan kinestetik menunjukkan kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan sebagainya, atau bisa pula dijumpai pada peserta didik yang pandai menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap.

6.   Kecerdasan interpersonal

Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, yang selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga mencakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dan sebagainya.

7.   Kecerdasan intrapersonal

Kecerdasan intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didik semacam ini senang melakukan instropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri.

8.   Kecerdasan naturalis

Kecerdasan naturalis menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya.

Melalui konsepnya mengenai multiple intelligences atau kecerdasan ganda ini Gardner mengoreksi keterbatasan cara berpikir yang konvensional mengenai kecerdasan dari tunggal menjadi jamak. Kecerdasan tidak terbatas pada kecerdasan intelektual yang diukur dengan menggunakan beberapa tes inteligensi yang sempit saja, atau sekadar melihat prestasi yang ditampilkan seorang peserta didik melalui ulangan maupun ujian di sekolah belaka, tetapi  kecerdasan juga menggambarkan kemampuan peserta didik pada bidang seni, spasial, olah-raga, berkomunikasi, dan cinta akan lingkungan.

disalin dari : Belajarpsikologi.com

Teori Belajar Gagne

image Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya saling berinteraksi. Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S  -  R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat dria. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.

Objek Belajar Matematika

Menurut Gagne belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.

Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam  matematika seperti simbol-simbol matematika. Fakta bahwa 2 adalah simbol untuk kata ”dua”, simbol untuk operasi penjumlahan adalah ”+” dan sinus suatu nama yang diberikan untuk suatu fungsi trigonometri. Fakta dipelajari dengan cara menghafal, drill, latiahan, dan permainan.

Keterampilan(Skill) adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. contohnya, keterampilan melakukan pembagian bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan dan perkalian pecahan desimal. Para siswa dinyatakan telah memperoleh keterampilan jika ia telah dapat menggunakan prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat.keterampilan menunjukkan kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat.

Konsep adalah ide abstrak yang memunkinkan seseorang untuk mengelompokkan suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Contoh konsep himpunan, segitiga, kubus, lingkaran. siswa  dikatakan telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat membedakan contoh dan bukan contoh. untuk sampai ke tingkat tersebut, siswa harus dapat menunjukkan atribut atau sifat-sifat khusus dari objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh.

Prinsip adalah pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Prinsip merupakan yang paling abstrak dari objek matematika yang berupa sifat atau teorema.  Contohnya, teorema Pytagoras yaitu kuadrat hipotenusa pada segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Untuk mengerti teorema Pytagoras harus mengetahui konsep segitiga siku-siku, sudut dan sisi. Seorang siswa dinyatakan telah memahami prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta dapat menggunakannya pada situasi yang tepat.

Fase-fase Belajar

Menurut Gagne belajar melalui empat fase utama yaitu:

  1. Fase pengenalan (apprehending phase). Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi belajar.
  2. Fase perolehan (acqusition phase). Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru  dengan menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
  3. Fase penyimpanan (storage phase). Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
  4. Fase pemanggilan (retrieval phase). Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.

Keempat fase belajar manusia ini telah disatukan menyerupai model sistem komputer, meskipun sedikit lebih kompleks daripada yang ada pada manusia. komputer menangkap rangsangan listrik dari pengguna komputer, memperoleh stimulus dalam central processing unit, menyimpan informasi dalam stimulus pada salah satu bagian memori, dan mendapatkan  kembali informasi pada penyimpanannya. jika siswa mempelajari prosedur menentukan nilai pendekatan akar kuadrat dari bilangan yang bukan kuadrat sempurna, mereka harus memahami metode, memperoleh metode, menyimpan di dalam memori, dan memanggil kembali ketika dibutuhkan. untuk membantu siswa melangkah maju melalui empat tahap dalam mempelajari algoritma akar kuadrat, guru menimbulkan pemahaman dengan mengerjakan suatu contoh pada papan tulis, memudahkan akusisi setelah setiap siswa mengerjakan contoh dengan mengikutinya, langkah demi langkah, daftar petunjuk, membantu penyimpanan dengan memberikan soal-soal untuk pekerjaan rumah, dan memunculkan pemanggilan kembali dengan memberikan kuis   pada hari berikutnya.

Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, fase generalisasi adalah fase transer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu.

Tipe Belajar

Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke delapan tipe belajar, dengan tipe belajar yang rendah merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Belajar Isyarat (Signal Learning)

Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional, selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai.

Beberapa ucapan kasar untuk mempermalukan, siswa yang gelisah pada saat pelajaran matematika mungkin karena kondisi tidak suka matematika pada orang itu. Belajar isyarat sukar dikontrol oleh siswa dan dapat mempunyai pengalaman yang pantas dipertimbangkan pada tindakannya. konsekuensinya, seorang guru matematika, seharusnya mencoba membangkitkan stimulus yang tidak dikondisikan yang akan menimbulkan perasaan senang pada siswa dan berharap mereka akan mengasosiasikan beberapa perasaan senang dengan isyarat netral pada pelajaran matematika. Apabila perlakuan yang disenangi membangkitkan hal-hal positif, stimulus yang tidak diharapkan mungkin gagal menimbulkan asosiasi keinginan positif dengan isyarat netral, kecerobohan menimbulkan stimulus negatif, pada satu waktu akan merusak keinginan siswa untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan.

Belajar Stimulus-Respons (Stimulus-Respon Learning)

Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respon itu.

Rantai atau Rangkaian hal (Chaining)

Tipe belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

Kebanyakan aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya. Diantaranya kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara dua titik.

Ada dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut, dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat berakibat negatif  terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.

Asosiasi Verbal (Verbal Association)

Asosiasi verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya. Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya.

Asosiasi verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan kode-kode mental yang unik. Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.

Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)

Discrimination learning atau belajar menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contohnya: anak dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak.

Terdapat dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka tersebut.

Belajar konsep (Concept Learning)

Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.

Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:

1). Memberikan variasi hal-hal yang berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.

2). Memberikan contoh-contoh perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.

3). Memberikan yang bukan contoh dari konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.

4).  Menghindari pemberian konsep yang mempunyai karakteristik umum.

Belajar Aturan (Rule Learning)

Belajar aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi (stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon).  Kebanyakan belajar matematika adalah belajar aturan. sebagai contoh, kita ketahui bahwa 5 x  6 = 6 x 5 dan bahwa 2 x 8 = 8 x 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa aturannya dapat dinyatakan dengan a x b = b x a. Kebanyakan orang pertama belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat  menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan verbal(dengan kata-kata) atau    rumus seperti “ urutan dalam perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a dan b, a x b = b x a.

Aturan terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin dianggap sebagai konsep terdeinisi.  konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n -2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan  bagaimana mengerjakan n! Aturan-aturan  lain adalah rangkaian antar kosep yang terhubung, seperti aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan dengan urutan x, :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut. Kondisi-kondisi belajar aturan mulai  dengan merinci perilaku yang diinginkan  pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda. Robert Gagne memberikan 5 tahap dalam  mengajarkan aturan:

Tahap 1: menginformasikan pada siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar

Tahap 2: bertanya ke siswa dengan cara yang memerlukan pemanggilan kembali  konsep yang telah dipelajari sebelumnya yang menyusun konsep

Tahap 3: menggunakan pernyataan verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.

Tahap 4: dengan bantuan pertanyaan, meminta siswa untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari aturan

Tahap 5 (bersifat pilihan, tetapi berguna untuk pengajaran selanjutnya): dengan pertanyaan yang cocok, meminta siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.

Pemecahan Masalah (Problem solving)

Tipe belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik. Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai.

Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan sebelumnya oleh banyak orang. sebagai contoh  pemecahan masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx + c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat, dengan melaksanakan petunjuk dari guru.

Pemecahan masalah biasanya melibatkan lima tahap : (1). Menyatakan masalah dalam bentuk umum, (2). Menyatakan kembali masalah dalam suatu defenisi operasional, (3). Merumuskan hipotesis alternatif dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah, (4). Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan (5). Menentukan solusi yang tepat.

Hasil-Hasil Belajar

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :

  1. Informasi Verbal. Informasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.
  2. Keterampilan intelektual. Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya. Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinngi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperoleh aturan-aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konket ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.
  3. Strategi kognitif. Strategi kognitif merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kogniti adalah strategi menghafal, strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.
  4. Sikap-sikap. Merupakan pembawaan yang dapt dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadiaan atau makhluk hidup lannya. sekelompok siswa yang penting ialah sikap-sikap terhjadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu  menjadi hal yang penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.
  5. Keterampilan-keterampilan motorik. Ketarampilan motorik merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggambungan kaegiatan motorik dengan intelektual seabagai hasil belajar seperti  membaca, menulis, dan sebagai berikut.

Kejadian-kejadian Instruksi

Mengajar dapat kita pandang sebgai usaha mengontrol kondosi eksternal. Kondisi eksternal merupakan satu bagian dari proses belaajar, namun termasuk tugas guru dalam mengajar. Menurut Gagne  mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang dikenal dengan ”Nine Instruction events” yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Memelihara perhatian (Gain attention). Dengan stimulus eksternal kita berusaha membangkitkan perhatian siswa untuk belajar
  2. Menjelaskan tujuan pembelajaran (Inform Lerners of Objectives). Menjelaskan kepada siswa tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.
  3. Meransang ingatan siswa (Stimulate recall of prior learning). Meransang ingatan siswa untuk mengingat kembaali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.
  4. Manyajikan stimulus (Present the content). Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga siswa menjadi lebih siap menerima pelajaran.
  5. Memberikan bimbingan (Provide “learning guidance”). Memberikan bimbingan kepada siswa dalam proses belajar
  6. Memantapkan apa yang telah dipelajari (Elicit performance/practice). Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk  menrapkan apa yang telah dipelajari itu.
  7. Memberikan umpan balik (Provide feedback). Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada siswa apakah hasil belajarnya benaar atau tidak.
  8. Menilai hasil belajar(Assess performance). Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan membrikan soal.
  9. Mengusahakan transfer (Enhance retention and transfer to the job). Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk  menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi yang lain.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan pengajaran yang mengacu pada sembilan kejadian-kejadian belajar, mengajarkan segitiga sama sisi

  1. menujukkan di komputer bentuk bangun datar segitiga yang bervariasi.
  2. Memgajukan pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?
  3. Meninjau kembali definisi segitiga
  4. memberikan deenisi segitiga sama sisi
  5. memberikan contoh segitiga sama sisi
  6. meminta siswa untuk membuat 5 contoh yang berbeda
  7. Memeriksa semua contoh
  8. Memberikan nilai dan pengulangan
  9. menujukkan gambar suatu benda dan meminta siswa untuk mengidentifikasi segitiga sama sisi.

***

(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)

Disalin dari : M. Zaenal Abidin

Link for Learning theories

image

Miscellaneous Sites

  1. ACT Research Home Page- The ACT group is led by John Anderson at Carnegie Mellon University and is concerned with the ACT theory and architecture of cognition. The goal of this research is to understand how people acquire and organize knowledge and produce intelligent behavior. The ACT-R unified theory of cognition attempts to develop a cognitive architecture that can perform in detail a full range of cognitive tasks. The architecture takes the form of a computer simulation which is capable of performing and learning from the same tasks worked on by human subjects in our laboratories.
  2. Adult Learning: An Overview- Stephen Brookfield
  3. Albert Bandura — Dr. C. George Boeree, at Shippensburg University, provides a short biography of Albert Bandura, describes some of the early research in social learning, defines many of the key terms and concepts.
  4. Animal Training at Sea World — How  Sea World trainers apply operant conditioning principles  to train performing animals.  Primary and conditioned reinforcers, shaping, and observational learning are among the principles that are discussed.
  5. B. F. Skinner's Operant Conditioning — A brief summary of operant conditioning.
  6. Bloom et. al - Taxonomy of Cognitive Objectives
  7. Classical Conditioning - West Virginia University
  8. Cognitive Architectures
  9. Cognitive Psychology - Muskingum College, New Concord, Ohio
  10. COGPRINTS: Cognitive Sciences Eprint Archive - An electronic archive for papers in any area of Psychology, Neuroscience, and Linguistics, and many areas of Computer Science (e.g., artificial intelligence, robotics, vison, learning, speech, neural networks), Philosophy (e.g., mind, language, knowledge, science, logic), Biology (e.g., ethology, behavioral ecology, sociobiology, behaviour genetics, evolutionary theory), Medicine (e.g., Psychiatry, Neurology, human genetics, Imaging), Anthropology (e.g., primatology, cognitive ethnology, archeology, paleontology), as well as any other portions of the physical, social and mathematical sciences that are pertinent to the study of cognition.
  11. Collins' Cognitive Theory of Inquiry Teaching  - University of Arkansas
  12. Collaborative learning and the Internet - Pierre Dillenbourg and Daniel Schneider, School of Psychology and Education Sciences, University of Geneva, Switzerland
  13. Collaborative Learning and Veterinary Medicine - Too many faculty members in our Colleges of Veterinary Medicine are not really able to distinguish between lecturing and teaching. Too often the college classroom is a place where students are bombarded with facts from the podium that they frantically try to copy down in their notes. Louis Schmier, a professor at Valdosta State University, emphasizes the point this way: "there really is a hell of a difference between a teacher and a classroom presenter." Schmier summarizes where college pedagogy is today as follows: "Most people think that anyone can teach. All you have to do is stand at the head of the classroom, throw out crumbs of information in an automated lecture, and the students will eagerly peck away and nourish their minds. I call that schooling, not education; lecturing, not teaching. Our graduate schools train scholars and researchers who are thrown into classrooms without guidance. It's little wonder that most of us evolve into classroom presenters."
  14. Collaborative Learning Using Guided Discovery on the INTERNET - Peter Holt, Claude Fontaine, Jane Gismondi, Darlene Ramsden,  Centre for Computing Information Systems and Mathematics (CCISM), Athabasca University
  15. Contingencies R US   -  Paul Brandon's page with links to behavioral analysis sites.
  16. Cooperative Learning - This Education Research Consumer Guide is produced by the Office of Research, Office of Educational Research and Improvement (OERI) of the U.S. Department of Education.
  17. Dr. P's Dog Training - virtual library of info about dog training & behavior
  18. Engagement Theory: A Framework for Technology Based Learning - Greg Kearsley & Ben Shneiderman
  19. Flexible Learning and Higher Education Resources - Anglia College, UK
  20. Gropper's Behaviorism - Univeristy of Arkansas
  21. Human Cognition in the Human Brain - Yehouda Harpaz
  22. Humanoid Robotics Group - MIT Artificial Intelligence Laboratory
  23. Institute for Research in Cognitive Science - National Science Foundation Science and Technology Center for Research in   Cognitive Science.
  24. Instructional Technology Research Online - Georgia State University
  25. John Case's Computational Learning Theory(COLT) Page - University of Delaware
  26. John Locke - Some Thoughts Concerning Education
  27. Kant's System of Perspecives   - by Stephen Palmquist
  28. Kurt Lewin - The Kurt Lewin Institute is a joint venture of senior researchers in social  psychology and its applications, who are affiliated to five Dutch Universities.
  29. Landa's Algo-Heuristic Theory - University of Arkansas
  30. Language and the Mind   - Noam Chomsky (1968))
  31. Learning Concepts -  Anxiety, Arousal, Attention, Attitudes, Cognitive/Learning Styles, Creativity, Feedback/Reinforcement,Imagery, Learning Strategies, Mastery, Memory, Mental Models, Metacognition, Motivation, Productions, Schema,Sequencing of Instruction, Taxonomies
  32. Learning Theories - Funderstanding
  33. Linguistics Resources - A topically organized list of resources elsewhere on the Internet that may be of interest to the linguist.
  34. Merrill's Component Display Theory
  35. Misha the Toilet-trained Wonder Cat — Tired of cleaning that smelly old litter box?   Learn How to Toilet-Train Your Catwith a little help from this unusual site.  Karawynn is not a behavioral psychologist, so you will have to provide the learning theory terminology.
  36. Motivational Theory - University of Arkansas
  37. Negative Reinforcement University — NRU is an interactive environment for the study of negative reinforcement, one of the more challenging concepts to teach and learn in Psychology. Available as either a web site (you will need the free Shockwave, below ) or as an Adobe Acrobat document (you will need the free Adobe Acrobat Reader, below).
  38. Neurosciences on the Internet - A searchable and browsable index of neuroscience resources available on the Internet: Neurobiology, neurology, neurosurgery, psychiatry, psychology, cognitive science sites and information on human neurological diseases.
  39. Observational Learning — A brief summary of Bandura's Observational Learning Theory.
  40. Operant Conditioning and Behaviorism — An historical outline that begins with Thorndike's trial-and-error learning, and introduces Pavlov's  classical  conditioning and Skinner's operant conditioning.
  41. Pedagogically-informed Networking -  Deborah Lynn Stirling
  42. Personal Construct Psychology - The Centre for Personal Construct Psychology is a major focal point for information and resources about George Kelly's Personal Construct Psychology.
  43. Personality Theory - Northwestern University
  44. Positive Reinforcement — Lyle K. Grant, at Athabasca University, has developed this tutorial to help students understand what constitutes, and what does not constitute, positive reinforcement.  Be sure you understand the illustrative examples before you begin the practice exercise.
  45. Problem-Based Teaching - R. J. Salvador, D. W. Countryman and B. E. Miller
  46. Psych Web's List of Psychology Resources
  47. Reigeluth's Elaboration Theory - University of Arkansas
  48. Rousseau - Émile - The on-line English translation of Jean-Jacques Rousseau's Emile or On Education, one of the most influential books in the history of education.
  49. Rousseau - Émile The Creed of a Savoyard Priest
  50. Rousseau on Education   - Michele Erina Doyle and Mark Smith
  51. Scandura's Structural Theory - Scandura's Structural theory replaces the behaviorist chaining process with a cognitive orientated structure.
  52. Script Theory (R. Schank) - "The central focus of Schank's theory has been the structure of knowledge, especially in the context of language understanding."
  53. Sensation and Perception Tutorial - Hanover, "Here is a small collection of tutorials and demonstrations related to our senses."
  54. Systems Approach to Training - Big Dog's Human Resource Development Page
  55. The "Theory Into Practice - TIP database
  56. The Commonwealth of Learning- The Commonwealth of Learning (COL) is an intergovernmental organisation created by Commonwealth Heads of Government to encourage the development and sharing of open learning/distance education knowledge, resources and technologies. COL works with Commonwealth nations to improve access to quality education and training.
  57. The Education and Resource Network - The American Educational Research Association
  58. The Idea of the Theory of Knowledge as Social Theory - Jürgen Habermas (1968)
  59. The Teaching/Learning Process: A Discussion of Models- Deborah A. McIlrath and William G. Huitt
  60. The Theory Into Practice Database - "TIP is a tool intended to make learning and instructional theory more accessible to educators. The database contains brief summaries of 50 major theories of learning and instruction. These theories can also be accessed by learning domains and concepts."
  61. Uncertainty Reduction Links
  62. Using Cooperative Learning Groups - University of California, Santa Barbara
  63. Vision and Color Vision Phenomena - The Exploratorium, San Francisco, Ca
  64. Vygotsky's Social Development Theory — A brief summary of Vygotshy's theory.
  65. Vygotsky and Social Cognition — A brief summary of Vygotshy's theory.
  66. What is Activity Theory? - Martin Ryder, CUDenver
Anchored Instruction
  1. Anchored Instruction   - "Anchored instruction requires putting the students in the context of a problem-based story. The students "play" an authentic role while investigating the problem, identifying gaps to their knowledge, researching the information needed to solve the problem, and developing solutions. For example, the students play the role of a pilot to learn about aeronautics subject matter such as gravity, airflow, weather concepts, and basic flight dynamics. The teacher facilitates and coaches the students through the process."
  2. Anchored Instruction - TIP Database, John Bransford & the CTGV
  3. Anchored Instruction -  Open Learning Technology Corporation Limited
  4. Anchored Instruction - Julie Barbadillo, EMC 598, Arizona State University, Summer 1998
  5. Anchored Instruction  - Open Learning Technology Corporation Limited.
  6. Anchored Instruction - National Center on Accessing the General Curriculum
  7. Anchored Instruction - The University of New England, NSW, Australia
  8. Anchored instruction - Vanderbilt University
  9. Anchored Instruction  - William R. Booth
  10. Technological Support for Anchored Instruction - Candyce Williams Glaser & Linda K. Prestidge
  11. The Adventures of Jasper Woodbury - Vanderbilt
Dual Coding Theory
  1. A Simulation about Multimedia Design and Dual-Coding Theory - Authorware 5.1 Web Player requireed for this simulation
  2. Constructing Cognitive Artefacts: The Case of Multimedia Learning Materials - Christopher J. Colbourn, Department of Psychology, University of Southampton
  3. Dual-coding theory - Instructional Technology Global Resource Network
  4. Dual Coding Theory and Visualization - University of Iceland
  5. Dual-Coding, Context-Availability, and Concreteness Effects in Sentence Comprehension: An Electrophysiological Investigation - Phillip J. Holcomb, John Kounios, Jane E. Anderson, W. Caroline West
John Dewey
  1. A Dialog between Confucius and Dr. John Dewey - Lih-Ching Chen Wang
  2. Center for John Dewey Studies - The Center for Dewey Studies at Southern Illinois University at Carbondale was established in 1961 as the "Dewey Project." In the course of collecting and editing Dewey's works, the Center  amassed a wealth of source materials for the study of America's quintessential  philosopher-educator, John Dewey. By virtue of its publications and research, the Center has become the international focal point for research on Dewey's life and work. Its location at the University makes it possible for visitors to take advantage of the resources and professional  expertise of the faculty and staff of the Department of Philosophy, the College of Education, Special Collections in Morris Library, and the Southern Illinois University Press.
  3. Cognitivism, Situated Cognition, and Deweyian Pragmatism   - by Eric Bredo
  4. Constructivism, Educational Research, and John Dewey   - by Raf Vanderstraeten and Gert Biesta
  5. Dewey on the Pedagogy of Occupations: The social construction of the hyper-real- by James Palermo
  6. Dewey Reconstructs Ethics -  by Dr. Jan Garrett
  7. Dewey's Idea of Sympathy and the Development of the Ethical Self: A Japanese Perspective- by Naoko Saito
  8. Essays on the Philosophy of John Dewey - by Gordon L. Ziniewicz
  9. John Dewey & F. Mathias Alexander Homepage -Dewey met Alexander in during World War I when Alexander was visiting New York and had his first lessons from Alexander at that time. Dewey was then in his fifties, and he continued taking Alexander Technique lessons for the next 35 years.
  10. John Dewey & the Alexander Technique - "It [the F.M. Alexander Technique] bears the same relation to education that education itself bears to all other human activities." --John Dewey
  11. John Dewey and Informal Education - "Arguably the most influential thinker on education in the twentieth century, Dewey's contribution lies along several fronts. His attention to experience and reflection, democracy and community, and to environments for learning have been seminal."
  12. John Dewey and Progressive Education   - by David Wiles
  13. John Dewey at Michigan: The Birth of Pragmatism: The Philosopher's second An Arbor Period - by Linda Robinson
  14. John Dewey: Democracy and Education - The 1916 Book in HTML markup copyright 1994 ILT Digital Classics.
  15. John Dewey: Internet Encyclopedia of Philosophy - Life and Works, Theory of Knowledge, Metaphysics, Ethical and Social Theory, Aesthetics, Critical Reception and Influence, Bibliography
  16. John Dewey: Rethinking Our Time - Reviewed by James Garrison
  17. John Dewey: The Quest for Certainty (1933)
  18. John Dewey's Critique of Socioeconomic Individualism - by S. Scott Zeman
  19. John Dewey's participatory philosophy of education: Education, experience and curriculum . - Joop W.A. Berding
  20. The Educational Theory of John Dewey (1859 - 1952) . - Analyst: N. I. Emand
Behaviorism
  1. A laboratory study of fear: The case of Peter. Pedagogical Seminary, 31, 308-315. Jones, Mary Cover. (1924).
  2. A new formula for behaviorism. Psychological Review, 29, 44-53. Tolman, Edward C. (1922).
  3. An Overview of Dialectical Behavioural Therapy for BPD - MHN Article
  4. Animal intelligence. Thorndike, Edward L. (1911).
  5. Are theories of learning necessary? Psychological Review, 57, 193-216. Skinner, B. F. (1950).
  6. Autobiography of C. Lloyd Morgan. In C. Murchison (Ed.), History of psychology in autobiography (Vol. 2, pp. 237-264). Worcester, MA: Clark University Press. Morgan, C. Lloyd. (1930).
  7. Autobiography of Robert M. Yerkes. In C. Murchison (Ed.), History of psychology in autobiography (Vol. 2, pp. 381-407). Worcester, MA: Clark University Press. Yerkes, Robert M. (1930).
  8. Basic neural mechanisms in behavior. Psychological Review, 37, 1-24. Lashley, Karl S. (1930).
  9. Behavior Analysis Resources - A list of related links.
  10. Behavior and the concept of mental disease. Journal of Philosophy, Psychology, and Scientific Methods, 13, 589-597. Watson, John B. (1916).
  11. Behaviorism Tutorial - Athabasca University
  12. Behaviorism: The Rise and Fall of a Discipline - Behavior theory, while still viable, no longer holds the dominance it once did in theoretical psychology.
  13. Behaviorists for Social Responsibility.Behaviour Online- "Behavior OnLine aspires to be the premier World Wide Web gathering place for mental health professionals and applied behavioral scientists"
  14. Behavioural Temperaments- "Welcome! This Page is about behavioral individuality in infants, children and adults. It is intended as a clearinghouse for research and practical information about temperamental characteristics to be used by parents, students, professionals and others who have an interest in temperament."
  15. Classical Conditioning - An Article.
  16. Classical Conditioning - State University, Cortland, NY
  17. Classical Conditioning - Steve's Primer of Practical Persuasion and Influence
  18. Cognitive maps in rats and men. Psychological Review, 55(4), 189-208. Tolman, Edward, C. (1948).
  19. Commentary on "Psychology as the Behaviorist View It" John B. Watson (1913) - by Robert H. Wozniak
  20. Conditioned emotional reactions. Journal of Experimental Psychology, 3, 1-14. Watson, John B. & Rayner, Rosalie. (1920).
  21. Conditioned reflexes: An investigation of the physiological activity of the cerebral cortex (G. V. Anrep, Trans.). (Original work published 1927)Pavlov, Ivan P. (1927).
  22. Connectionism (Thorndike) -TIP Database
  23. Dialectical Behavioral Therapy - "Marsha Linehan (1991) pioneered this treatment, based on the idea that psychosocial treatment of those with Borderline Personality Disorder was as important in controlling the condition as traditional psycho- and pharmacotherapy were."
  24. Ding-Dong: Classical Conditioning. Pavlov and Pavlov's Dog . - West Virginia University
  25. Drive Reduction Theory - Theory Into Practice Database
  26. Drives and the C.N.S. (conceptual nervous system). Psychological Review, 62, 243-254. Hebb, D. O. (1955).
  27. Factors Determining the Effectiveness of Classical Conditioning - Unoveristy of Vermont
  28. From Behaviorism to Humanism - Elmira College
  29. FunderstandingHull’s Drive Reduction Theory - Theory Into Practice Database
  30. Has psychology failed? American Scholar, 4, 261-269. Jastrow, Joseph. (1935).
  31. Introduction to Animal Intelligence.  Edward Lee Thorndike (1911) by R. H. Wozniak.
  32. Introduction to: Introduction to: "Psychology as the Behaviorist Views it." John B. Watson (1913) - by Christopher D. Green.
  33. Introduction"A Laboratory Study of Fear: The Case of Peter" Mary Cover Jones (1924) by Alexandra Rutherford.
  34. Introspection as an objective method. Psychological Review, 29, 89-112. Washburn, Margaret Floy. (1922).
  35. Is thinking merely the action of language mechanisms? British Journal of Psychology, 11, 87-104. Watson, John B. (1920).
  36. Neobehaviorism Logical Positivism, Operationalism, and Physicalism . Study Notes.
  37. On "Psychology as the behaviorist views it". Proceedings of the American Philosophical Society, 53, 1-17. Titchener, Edward B. (1914).
  38. On two types of conditioned reflex. Journal of General Psychology, 16, 264-272. Konorski, J. & Miller, S. (1937).
  39. Operant (Instrumental) Conditioning - W. Huitt and J. Hummel
  40. Operant Conditioning - Cortland College
  41. Operant Conditioning and Behaviorism - A Historical Outline TheoriesPositive Reinforcement -  Athabasca University
  42. Psychological facts and psychological theory. Psychological Bulletin, 43, 1-20. Guthrie, Edwin R. (1946).
  43. Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review, 20, 158-177 Watson, John B. (1913).
  44. 'Superstition' in the pigeon. Journal of Experimental Psychology, 38, 168-172. Skinner, B. F. (1948).
  45. The battle of behaviorism: An exposition and an exposure. Watson, John B. & MacDougall, William. (1929).
  46. The Behavior Analysis Home Page - University of South Florida
  47. The Behavioral Approach - Cortland College
  48. The behavioristic interpretation of consciousness. Psychological Bulletin, 30, 237-272, 329-353. Lashley, Karl S. (1923).
  49. The case against introspection. Psychological Review, 19, 404-413. (1912).Dunlap, Knight.
  50. The concept of the habit-family hierarchy and maze learning: Part I. Psychological Review, 41, 33-54. Hull, Clark L. (1934).
  51. The concept of the habit-family hierarchy and maze learning: Part II. Psychological Review, 41, 134-152. Hull, Clark L. (1934).
  52. The conflicting psychologies of learning -- A way out.Psychological Review, 42, 491-516. Hull, Clark L. (1935).
  53. The method of Pawlow in animal psychology. Psychological Bulletin, 6, 257-273. Yerkes, Robert M. & Morgulis, Sergius. (1909).
  54. The misbehavior of organisms. American Psychologist, 16, 681-684. Breland, Keller & Breland, Marian. (1961).
  55. The nature of love. American Psychologist, 13, 573-685. Harlow, Harry F. (1958).
  56. The relation of strength of stimulus to rapidity of habit-formation. Yerkes, Robert M. & Dodson, John D. (1908). Journal of Comparative Neurology and Psychology, 18, 459-482.
  57. The Relationship of Behaviorism, Neo-Behaviorism and Cognitivism to an Evangelical Bibliology . - by Greg Herrick Watson's career and work. The article also presents a history of psychologists' accounts of the Albert study, focusing on the study's distortion by Watson himself, general textbook authors, behavior therapists, and most recently, a prominent learning theorist. The author proposes possible causes for these distortions and analyzes the Albert study as an example of myth making in the history of psychology."
  58. Two types of conditioned reflex and a pseudo type. Journal of General Psychology, 12, 66-77. Skinner, B. F. (1935).
  59. Two types of conditioned reflex: A reply to Konorski and Miller. Journal of General Psychology, 16, 272-279. Skinner, B. F. (1937).
Contiguity Theory
  1. Contiguity Theory -   Open Learning Technology Corporation Limited
  2. Edwin R. Guthrie--   Classics in the History of Psychology
  3. Guthrie’s Contiguity Theory - by Gwendolyn Walata

Gestalt Theory

  1. Classics in the History of Psychology -- Introduction to Koffka
  2. Gestalt Psychology - by C. George Boeree
  3. Gestalt Psychology and Gestalt Therapy - by Mary Henle (1975)
  4. Gestalt Psychotherapy Institutes and Associations Worldwide
  5. Gestalt Theory - An International Multidisciplinary Journal
  6. In Search of the Laws of Visual Grouping -  Michael Kubovy, Alex O. Holcombe, Johan Wagemans, Jeff Hollier, Dirk Smit, Sarah Creem
  7. Keywords of Gestalt Theory - The Gestalt Theory Resources Center offers information and links to other resources on the web about Gestalt theory in its original sense as put forward by Max Wertheimer, Wolfgang Köhler, Kurt Koffka,  Kurt Lewin and other eminent Gestalt psychologists.
  8. Links to Gestalt Related Sources on the Web
  9. Mach and Ehrenfels: Foundations of Gestalt Theory - by Kevin Mulligan and Barry Smith
  10. Martin Buber und die Gestalttherapie (Rich Hycner) - Gestalt-Institut Köln
  11. Society for Gestalt Theory and its Applications
  12. The historical roots of Gestalt Therapy Theory - Gestalt Dialogue: Newsletter fo the Integrative Gestalt
  13. Centre, Aotearoa, New Zealand.
  14. The Gestalt Archive - Full Text Gestalt Psychology Articles
  15. The Gestalt Theoretical Psychotherapy Page
  16. The Max Wertheimer Page - Society for Gestalt Theory and Its Applications
  17. To Deviate or to Adapt - 13th Scientific Gestalt Theory Conference 2003
  18. The Association for the Advancement of Gestalt  Therapy - by Joel Latner
  19. Classics in the History of Psychology -- Koffka (1922)
  20. Wolfgang Köhler - "German-American psychologist, one of the founders of Gestalt psychology with Kurt Koffka. Köhler gained fame with his studies on cognitive processing involved in problem-solving by animals. Köhler argued that animals do not learn everything through a gradual trial-and-error process, or  stimulus-response association. His tests in Tenerife in the 1910s with chimpanzees suggested that these animals solved problems by understanding - like human beings, they are capable of insight learning, the "aha!" solutions to problems. Köhler also discovered with von Restoff the isolation effect in memory,     contributed to the theory of memory and recall, and developed a non-associationist theory of the nature of associations."

Robert Gagné

  1. Conditions of Learning -TIP Database
  2. Gagné's Nine Instructional Events: An Introduction - by Kevin Kruse
  3. Robert Gagné - by Stephen Bostock
  4. Gagné's Information Processing Model and its Implications to Instructional Design- by Timothy D. Brannon

B.F. Skinner

  1. Animal Trainer's Introduction to Operant & Classical Conditioning -  Stacy Braslau-Schneck This page attempts to explain Operant Conditioning, and promote the use of Positive Reinforcement and Negative Punishment  in animal training.
  2. Behaviorism: Skinner and Dennett - Philosophy of Mind Curtis Brown.
  3. Behaviorism, BF Skinner, Social Control, Modern Psychology - The Stimulus and the Response
  4. B F Skinner - The Origins of Cognitive Thought - Recent Issues in the Analysis of Behavior (1989) publ. Merrill Publishing
  5. B.F. Skinner Biography - C. George Boeree
  6. B.F. Skinner - Operant Conditioning - QuickTime video clip of Skinner discussing his theory.
  7. B.F. Skinner Foundation - Manages Skinner's literary estate, and publishes significant literary and scientific works in the analysis of behaviour. Site includes information about Skinner, his work, and life
  8. BF Skinner -  (Burrhus Frederick Skinner) elaboration of the theory of reinforcement and his advocacy of its application to learning.
  9. CogPrints: A Review of BF Skinner's Verbal Behavior - A Review of BF Skinner's Verbal Behavior.
  10. Contingencies R US - Paul K. Brandon
  11. Dr. P's - Dog Training - University of Wisconsin-Stevens Point
  12. Negative Reinforcement - Maricopa Community College NRU is an interactive environment for the study of negative reinforcement.
  13. Operant Conditioning - TIP Database
  14. Operant Conditioning and Behaviorism - an historical outline - by R.W.Kentridge
  15. Operant Conditioning -TIP Database
  16. Positive Reinforcement - by Lyle K. Grant, Athabasca University
  17. Skinner's Defense of Behaviorism, Classic Works, Animal Learning Theory, and Utopian Societies
  18. The Behavioral Approach - SUNY Cortland
Information Processing Theory
  1. Applications and Misapplications of Cognitive Psychology to Mathematics Education- by John R. Anderson, Lynne M. Reder, and Herbert A. Simon Are Theories of Imagery Theories of Imagination? An Active Perception Approach to Conscious Mental Content - by Nigel J.T. Thomas
  2. rnformation Processing Theory (G. Miller) - Tip Database
  3. Information Theory of Claude Shannon & Warren Weaver
  4. Information Processing Theory Basics - "The information is stored for either a brief or extended period of time, depending upon the processes following encoding..."
  5. Information Processing Theory - University of Indiana
  6. Information Processing Theory - by Richard H. Hall
  7. Modes of Learning   (D. Rumelhart & D. Norman)

Jean Piaget

  1. A biography - Jean Piaget Archives
  2. A Piaget Biography - C. George Boeree
  3. Biography - The Jean Piaget Society
  4. Child Psychologist: Jean Piaget - By Seymour Paper
  5. Jean Piaget's Genetic Epistemology: Appreciation and Critique - by Robert L. Campbell
  6. Jean Piaget - Genetic Epistemology (1968) - Philosophy Archive @ marxists.org
  7. Jean Piaget's Genetic Epistemology: Appreciation and Critique - Robert L. Campbell
  8. Piaget - Theory of Development - SUNY Cortland
  9. The "Theory Into Practice - TIP Database
  10. The Piaget Archives- Les Archives Jean Piaget
  11. Time Article - "Jean Piaget, the pioneering Swiss philosopher and psychologist, spent much of his professional life listening to children, watching children and poring over reports of researchers around the world who were doing the same. He found, to put it most succinctly, that children don't think like grownups. After thousands of interactions with young people often barely old enough to talk, Piaget began to suspect that behind their cute and seemingly illogical utterances were thought processes that had their own kind of order and their own special logic. Einstein called it a discovery 'so simple that only a genius could have thought of it.' "

Lev Vygotsky

  1. Beyond the Individual-Social Antimony in Discussions of Piaget and Vygotsky- Michael Cole, University of California, San Diego
  2. Situated cognition and activity theory - University of Colorado at Denver
  3. Situated Learning- TIP Database
  4. Social Development Theory - Garry Jacobs and Harlan Cleveland
  5. Social Development Theory - TIP Database
  6. Vygotsky - Christine Guerra and Ricardo Schutz
  7. Vygotsky - The Historical Meaning of The Crisis in Psychology: A Methodological Investigation - Written 1927
  8. Vygotsky - Thinking and Speaking - Written: 1934
  9. Vygotsky and Assessment - by Sam Wineburg
  10. Vygotsky and education: The sociocultural genesis of dialogic thinking in classroom contexts for open-forum literature discussions - by Suzanne M. Miller
  11. Vygotsky and Social Cognition — A brief summary of Vygotshy's theory.
  12. Vygotsky Centennial Project- Department of Psychology, Massey University
  13. Vygotsky's Distinction Between Lower and Higher Mental Functions - Eugene Subbotsky
  14. Vygotsky's Social Development Theory - Elizabeth M. Riddle & Nada Dabbagh
Situated Learning
  1. A Situated Cognition Perspective on Learning on Demand - William J. Clancey
  2. A Tutorial on Situated Learning - William J. Clancey
  3. Collaborative Knowledge Networks - A Viewpoint by Deloitte Consulting and Deloitte & Touche
  4. Communities of Practice - Fred Nickols
  5. Communities of practice at the core - ELearning post
  6. Communities of Practice  - Department of Computer Science at the University of York
  7. Designing web-bases units...situated learning - Edith Cowan University,
  8. It Takes A community - Excerpt from Wenger
  9. Lave, J., & Wenger
  10. New Perspectives on Mentoring
  11. New Ways of Learning in the Workplace
  12. Organizational learning and communities-of-practice
  13. Organizational learning: Wenger - 14 guidelines to help you work with rather than against the inner logic of organizational learning
  14. Situated Cognition
  15. Situated Learning
  16. Situated Learning (J. Lave)
  17. Situated Learning in Adult Education
  18. Situated Learning in Adult Education  - David Stein
  19. Situated learning
  20. Situated Learning
  21. Wenger Search results - 76 citations found. Retrieving documents.

Howard Gardner: Theory of Multiple Intelligences

  1. 7 Kinds of Smart - by James Collins
  2. Adult Multiple Intelligences project (AMI) - Project Zero
  3. Different Ways of Learning - Judith C. Reiff
  4. Different Ways of Learning : a nice list of "what to do" for parents
  5. Education World: Multiple Intelligences -- A Theory for Everyone from Education World
  6. Eric Digest: Gardner's Multiple Intelligences
  7. Gardner - Overview - Daniel B. Stockstill
  8. Gardner - Summary - by Carla Lane
  9. Multimedia & Multiple Intelligences - by Shirley Veenema and Howard Gardner
  10. Multiple Intelligences - About.com
  11. Multiple Intelligences - metasite
  12. Multiple Intelligences: Gardner's Theory - by Amy C. Brualdi
  13. New Dimensions of Learning: Exploring Multiple Intelligences - sponsored by New Dimensions of Learning

Albert Bandura and Social Learning Theory

  1. A biographic profile - C. George Boeree
  2. Bandura - Theory Into Practice Database - TIP Database
  3. Classics in the History of Psychology - York University
  4. Differential Association - This page is designed and maintained by Diane M. DeMelo.
  5. Observational (Social) Learning Theory   - W. Huitt and J. Hummel
  6. Social Learning Theory - TIP Database
  7. Social Learning Theory of Albert Bandura - (From the First Edition of A First Look at Communication Theory by Em Griffin, Ó 1991, McGraw-Hill, Inc.
  8. The Power of Social Modeling: The Effects of Television Violence - by Christine Van De Velde
  9. The PSI-Cafe: Bandura -  Massachusetts School of Professional Psychology
  10. The Social Learning Theory of Albert Bandura (book chapter)
  11. Theorist Albert Bandura - Margaret Delores Isom
  12. Theory Into Practice Database

Bernard Weiner

  1. Attribution Theory of Fritz Heider - (From the Second Edition of A First Look at Communication Theory by Em Griffin, © 1994, 1991, McGraw-Hill, Inc. This text-only version of the article appears on the World Wide Web site www.afirstlook.com. A facsimile of the original article is also available in PDF format.)
  2. Attribution Theory & Achievement - Clayton Tucker-Ladd & Mental Health Net
  3. Attribution Theory in Action - West Virginia University
Cognitive Dissonance
  1. An Explanation of Cognitive Dissonance Theory - General Experimental Psychology Cognitive Dissonance Lab
  2. A further explanation of Cognitive Dissonance Theory - as developed by Leon Festinger
  3. Cognitive Dissonance - how social influence can produce attitude changes.
  4. Cognitive Dissonance Theory - TIP Database
  5. Cognitive Dissonance in Decision-Making
  6. Cognitive Dissonance Theory - Introductory lecture based in part on Em Griffin, A First Look at Communication theory (3rd ed.), McGraw-Hill, 1997.
  7. Cognitive Dissonance Theory - by Daniel J. O'Keefe
  8. Cognitive Dissonance Theory - by Elisa M. Jean
  9. Communication Theory: A First Look - (From the Third  Edition of A First Look at Communication Theory by Em Griffin, Ó 1997, McGraw-Hill, Inc. This text-only version of the article appears on the World Wide Web site www.afirstlook.com. The text version does not contain any figures. A facsimile of the original article, which includes all figures,  is also available in PDF format.)
  10. Sample Chapter -- Cognitive Dissonance - Eddie Harmon-Jones and Judson Mills
  11. Truth Maintenance with Cognitive Dissonance - by Peter Schwartz
  12. Social 1 - essay assessing Leon Festinger's theory of cognitive dissonance.
Aptitude-Treatment Interaction
  1. Aptitude-Treatment Interaction (L. Cronbach & R. Snow)
  2. Aptitude Treatment Interaction Research - by Barbara A. Nanney
  3. Aptitude Treatment Interaction & Cognitive Style - Oklahoma State University
  4. Learning styles (notes) - by Stephen W. Draper
  5. Reading Research Perspectives System Behavior and the Current Educational Paradigms- Western Carolina University
Subsumtion Theory
  1. Advance Organizers - Montclair State Univesity
  2. David Ausubel - by Barbara Bowen
  3. Subsumption Theory - Ausubel's theory is concerned with how individuals learn large amounts of meaningful material from verbal/textual presentations in a school setting (in contrast to theories developed in the context of laboratory  experiments).
Social Judgment Theory
  1. Social Judgment Theory Research - by Kindra Krebs
  2. Social Judgment Theory and Working Assets
  3. Social Judgment Theory - This site is designed primarily as a companion to A First Look at Communication Theory by Em Griffin and the Instructor's Manual by Glen McClish and Jacqueline "Jackie" Bacon.
  4. Social Judgment Theory - University of West Virginia
  5. The Social Judgment Theoryand it's Association with Advertising - Center for Interactive Advertising
  6. Muzafer Sherif - one of the founders of social psychology
Cooperative Learning
  1. Accounting for Individual Effort in Cooperative Learning Teams - D.B. Kaufman, R.M.Felder, and H. Fuller
  2. Collaborative learning and the Internet - Pierre Dillenbourg and Daniel Schneider, School of Psychology and Education Sciences, University of Geneva, Switzerland
  3. Collaborative Learning and Veterinary Medicine - Too many faculty members in our Colleges of Veterinary Medicine are not really able to distinguish between lecturing and teaching. Too often the college classroom is a place where students are bombarded with facts from the podium that they frantically try to copy down in their notes. Louis Schmier, a professor at Valdosta State University, emphasizes the point this way: "there really is a hell of a difference between a teacher and a classroom presenter." Schmier summarizes where college pedagogy is today as follows: "Most people think that anyone can teach. All you have to do is stand at the head of the classroom, throw out crumbs of information in an automated lecture, and the students will eagerly peck away and nourish their minds. I call that schooling, not education; lecturing, not teaching. Our graduate schools train scholars and researchers who are thrown into classrooms without guidance. It's little wonder that most of us evolve into classroom presenters."
  4. Collaborative Learning Using Guided Discovery on the INTERNET - Peter Holt, Claude Fontaine, Jane Gismondi, Darlene Ramsden,  Centre for Computing Information Systems and Mathematics (CCISM), Athabasca University
  5. Cooperative Learning - This Education Research Consumer Guide is produced by the Office of Research, Office of Educational Research and Improvement (OERI) of the U.S. Department of Education.
  6. Cooperative Learning Classroom Project - by Andrew M. Dahley
  7. Cooperative Learning in Technical Courses: Procedures, Pitfalls, and Payoffs- R.M. Felder and R. Brent
  8. Differences Between Collaborative Learning and Cooperative Learning
  9. Dynamics of Peer Education in Cooperative Learning Workgroups - C.R. Haller, V.J. Gallagher, T.L. Weldon, and R.M. Felder
  10. Effective Strategies for Cooperative Learning - R.M. Felder and R. Brent
  11. Implementing Cooperative Learning in your classroom
  12. IASCE -  International Association for the Study of Cooperation in Education
  13. Kagan Cooperative Learning Structures - Kagan Cooperative Learning Structures
  14. Mid-Atlantic Association for Cooperation in Education (MAACIE) - "This website is dedicated to promoting cooperative learning in education both K-12 and in higher education."
  15. Navigating The Bumpy Road to Student-Centered Instruction - R.M. Felder and R. Brent
  16. Network for Cooperative Learning in Higher Education - California State University, Dominguez Hills
  17. Salmon River - GLC Eisenhower Project
  18. Sheridan College School of Community Services - Cooperative Learning Network
  19. Southwest Educational Development laboratory
  20. Teaching and Learning Methods and Strategies - University of Arizona

Copy from : http://www.emtech.net/learning_theories.htm