Har Magazine official website | Members area : Register | Sign in

RSBI

Saturday, August 21, 2010

image Oleh : Wijaya Kusumah - Guru TIK SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, dan oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY".

Saya sering tertawa geli kalau ada seorang pejabat dari depdiknas menjelaskan keunggulan dari sekolah RSBI. Anda pasti tahu apa itu RSBI. Itu loh Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Teman-teman ada yang memplesetkan Risntisan sekolah bertarif internasional karena biayanya yang mahal, atau Rintisan sekolah berbahasa Indonesia, karena guru hanya bisa dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, hehehehe, jadilah sekolah itu membuka kelas bilingual, kelas yang berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia, hahaha.

Kalau mau jujur ide adanya sekolah RSBI itu bagus banget, tetapi kita sering melupakan potensi daerah atau lokal yang sebenarnya jauh lebih unggul dari kata internasional itu sendiri. Seolah-olah hal-hal yang berbau tradisional itu kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, orang bule (baca asing) sangat senang sekali menikmati ketradisionalan bangsa kita yang beraneka ragam. Sampai-sampai banyak orang asing yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari keragaman budaya di negeri kita ini.

Kembali kepada RSBI, kita terkadang lupa membuka kelas-kelas internasional dan meninggalkan budaya lokal. Seolah-olah kalau kita sudah bisa bahasa asing (baca Inggris) kita sudah hebat dan dekat dengan masyarakat Internasional. Padahal, kalau mau jujur bahasa itu adalah sebagai alat komunikasi, jadi adalah salah bila RSBI hanya mengedepankan Bahasa, sementara hal lainnya yang lebih penting terabaikan. Saya terus terang tidak begitu sepaham dengan adanya RSBI ini. Sebab RSBI terkadang membuat kita menyembah-nyembah budaya asing dan seolah-olah sekolah kita tidak lebih hebat daripada sekolah mereka. Kita selalu memandang ke barat, dan tak pernah memandang ke timur. Seolah-olah sekolah amerika lebih hebat dari sekolah di timur tengah. Benarkah demikian?

Sejak adanya RSBI di sekolah kami, justru tidak ada yang namanya pertukaran pelajar. Dulu sebelum RSBI, kami saling bertukar pelajar, dimana pelajar dari luar negeri beberapa bulan sekolah di tempat kami dan pelajar kita sekolah beberapa bulan di tempat mereka. Adanya RSBI rupanya belum memenuhi harapan semua pihak. Bahkan ada sebagian masyarakat yang mengeluh karena mahalnya sekolah yang sudah membuka kelas internasional. Sudah begitu, mereka harus juga ikut UN, yang ternyata nilai siswa RSBI nilai UN-nya lebih rendah daripada siswa kelas reguler. Jadi untuk apa masuk ke kelas internasional, kalau juga masih ikut UN? Mungkin saya perlu bertanya pada rumput yang bergoyang.

Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional.

Sebagai ibu kota negara, Jakarta sudah tentu harus lebih siap dalam menjalankan tuntutan undang-undang ini dengan mengembangkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di semua jenjang pendidikan. Namun sangat tidak menutup kemungkinan, pada masa mendatang banyak lagi sekolah yang memiliki potensi berkembang dari SSN (Sekolah standar Nasional) menjadi RSBI. Tentunya perkembangan ini harus berjalan alami, bukannya dipaksakan. Sebab berkembang menjadi RSBI bukanlah hal yang mudah bagi sekolah. Apalagi bila sekolah itu ternyata tidak siap untuk membuka RSBI. Jangan sampai mutu sekolah RSBI lebih rendah dari sekolah SSN.

Saya tak ingin membahas apa itu RSBI di tulisan ini,  karena sudah banyak orang yang menulis tentang RSBI, tetapi saya ingin mengajak anda semua berpikir apakah sudah tepat langkah yang dilakukan pemerintah untuk membuka program RSBI?. Di sinilah saya ingin mendapatkan masukan dari anda, plus minus sekolah RSBI dalam pandangan masyarakat. Dari sini kami bisa melakukan refleksi diri, apakah sekolah kami telah benar-benar sesuai menjalankan program RSBI.

Kekurangan RSBI menurut saya, dari segi buku pegangan siswa harusnya berbeda dari sekolah reguler, SDM (guru) kita belum siap, dan masih banyak guru yang belum bisa membuat kurikulumnya sendiri. jangankan membuat kurikulum dalam bahasa Inggris, membuat RPP saja masih banyak guru yang belum benar dalam membuatnya. Pemerintah nampaknya belum siap benar dengan progran RSBI. kasihan para guru hanya menjadi obyek dari obsesi para penentu kebijakan.

Para Siswa tersenyum menyambut para pejabat Depdiknas
Para Siswa tersenyum menyambut para pejabat Depdiknas

Kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global. Anak-anak kita tak kalah dengan anak-anak dari negara lain. Siswa-siswa sekolah kita lebih berani mencoba hal-hal baru, dan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran di dunia internasional.

Indonesia adalah bangsa yang besar, kita harus bangga dengan predikat ini. kalau malaysia saja dulu belajar dari kita, kenapa kita sekarang yang belajar kepada mereka? Tentu ada sesuatu yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan kita. jangan biarkan ana-anak kita lebih percaya belajar di luar negeri daripada belajar di negerinya sendiri.

Salam Blogger Kompasiana

omjay

RSBI: Rintisan Sekolah Berbasis Inferioritas?

 
image Oleh :  Yuyun Kusdianto, dalam cabiklunik
MENJAMURNYA rintisan sekolah berstandar internasional di berbagai kota di Tanah Air, termasuk Surakarta, sepertinya menjadi jawaban memuaskan atas minimnya sekolah yang berkualitas dan berstandar internasional. Dengan mengandalkan kurikulum yang konon dicoba-standarkan dengan kurikulum sekolah di beberapa negara maju semacam Amerika Serikat, Singapura, dan Australia, RSBI yang mencakup jejang SD sampai SMA mencoba menghadirkan empat perbedaan mendasar bila dibandingkan dengan sekolah "biasa": pengajaran dengan menggunakan bahasa Inggris, kualitas input siswa yang unggul, tenaga pengajar yang mumpuni, dan infrastruktur pembelajaran yang lebih lengkap dan canggih.
Sejatinya ada satu pertanyaan mendasar menyangkut rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yang sepertinya luput dari pengamatan banyak kalangan: apakah sebenarnya sekolah berstandar internasional itu benar-benar riil ada?
Kalau memang RSBI mengklaim berpatron pada sekolah di negara dunia pertama, semestinya kita pertama-tama perlu melihat secara detail bagaimana sebenarnya "kehidupan" sekolah di negara acuan tersebut.
Australia adalah satu contoh kasus yang perlu ditengok. Sekolah- sekolah di Australia, baik itu public school (sekolah negeri) atau private school (sekolah swasta), praktis tidak pernah menyatakan diri berstandar internasional. Semua sekolah, terutama jenjang pendidikan dasar, tidak ada embel-embel internasional di namanya. Di Canberra, tempat di mana penulis tinggal selama dua tahun, hanya ada satu sekolah yang "agak berbeda", dalam artian sekolah tersebut menyatakan diri sebagai sekolah "bilingual" di mana bahasa Perancis dijadikan bahasa pengantar di sekolah tersebut, berbarengan dengan bahasa Inggris. Namun, sekolah tersebut juga tidak pernah menyatakan dirinya berstandar internasional. Yang umum di Australia, menyangkut terminologi internasional, adalah disematkannya sebutan internasional pada siswa non-Australia, atau acap dikenal dengan international student. Jumlah siswa internasional pun relatif tidak banyak mengingat yang masuk kategori ini adalah siswa yang bersekolah dengan biaya sendiri. Termasuk dalam golongan ini adalah anak dari mahasiswa asing yang belajar di Australia tanpa skema non- Ausaid. Sedangkan anak dari mahasiswa yang mendapat beasiswa berbasis Ausaid seperti ADS/APS, ALA, dan Endeavour malah dikategorikan sebagai local student (siswa lokal).
Untuk masalah kurikulum, bobot mata pelajaran sekolah-sekolah di Australia bahkan bisa dikatakan memanjakan dan memanusiakan para murid. Kontras sekali dengan bobot kurikulum sekolah-sekolah di Indonesia yang justru malah "menyiksa" para siswa. Murid-murid taman kanak-kanak di Australia kebanyakan dibiarkan bermain-main dan bersenang-senang sepanjang hari tanpa dibebani pengajaran didaktik membaca, menulis, dan berhitung. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung yang biasanya diterapkan di akhir tahun ajaran diajarkan dengan cara interaktif, tanpa membuat siswa jenuh, bosan, terkekang, dan tertekan. Mengenai hal itu, banyak pakar pendidikan di Australia berargumentasi bahwa murid-murid TK hingga anak SD sampai tahun kedua semestinya diberi ruang yang lapang untuk bereksplorasi dengan dirinya, mengembangkan imajinasi dan kreativitas: dua hal yang bakal sangat bermanfaat bagi anak di kemudian hari. Kontras sekali dengan sistem kurikulum pendidikan dasar di negara kita yang tampaknya berpotensi mengekang imajinasi dan kreativitas murid bahkan sejak taman kanak-kanak.
Melihat fakta bahwa di negara maju seperti Australia yang tidak pernah mendeklarasikan sekolah-sekolahnya sebagai berstandar internasional dan model kurikulum pendidikan dasar di negara dunia pertama yang malah terkesan "lunak" dan moderat bagi para siswa, maka ada dua kecurigaan besar yang patut diajukan dari menjamurnya RSBI di Indonesia. Pertama, RSBI hanyalah semacam titik singgung antara "industralisasi" dunia pendidikan kita dan mentalitas baru (baca: prestise sosial) dari orangtua murid yang umumnya kaum menengah ke atas itu. Bukan rahasia umum bahwa seluruh jenjang pendidikan di Indonesia mulai dari TK sampai universitas telah teracuni virus "kapitalisme", menjadikan sekolah sebagai mesin pengeruk laba pada satu sisi dan menjauhkan khitahnya dari lembaga mulia tempat tunas-tunas muda ditempa secara baik, benar, dan bermartabat pada sisi yang lain. Sekolah telah menjelma lembaga bisnis: berhitung secara rinci bagaimana lembaga dapat mencapai keuntungan maksimal.
Ironisnya, kamuflase yang dilakukan institusi pendidikan itu direspons dengan "baik" oleh para orangtua yang terobsesi akan label dan citra "unggul", "berkualitas", dan berstandar internasional: dengan satu harapan besar yang sebenarnya palsu bahwa anak-anak mereka akan menjadi berbeda dengan anak-anak lain.
Kedua, kurikulum yang diterapkan di RSBI yang konon telah distandar-internasionalkan itu malah berpotensi negatif bagi siswa dan sistem pendidikan nasional Indonesia. Dengan beban mata pelajaran yang luar biasa berat, siswa akan diakselerasikan sedemikian rupa untuk menerima beban yang mungkin di luar kemampuan mereka. Meski berdalih siswa-siswa RSBI adalah sumber daya pilihan yang telah disaring lewat uji intelektualitas (yang umumnya menggunakan tes IQ), siswa dipaksa menelan beragam pelajaran yang luar biasa berat.
Konsekuensinya, demi menghindari ketertinggalan dengan siswa- siswi lain, orangtua siswa lantas mendorong anak-anak mereka mengikuti les-les tambahan di luar jam sekolah. Tak ayal, waktu bermain dan beristirahat semakin sempit.
Sementara itu, bahasa pengantar RSBI yang umumnya berorientasi pada bahasa Inggris, cepat atau lambat, akan semakin menggerus bahasa lokal dan bahasa nasional kita, yang akan berujung pada memudarnya kepribadian dan karakter lokal dan nasional manusia Indonesia.
"Inggrisisasi" di berbagai lembaga, Siegel (1988) dan juga Guinness (1987) telah mensinyalkan akan melunturnya keberadaan bahasa Jawa ketika proses Indonesianisasi begitu gencar dilakukan dan ketakutan Siegel dan Guinness sepertinya menjadi semakin nyata pada era kekinian. Dalam skala lebih luas, eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita juga kian terancam oleh bahasa mainstream dunia. Ketidakberdayaan bahasa lokal dan "kagagapan" bahasa nasional menjadi penanda (signifier) dari ketidakmampuan sebuah bangsa mempertahankan jati dirinya. Ironisnya, salah satu faktor yang berkontribusi menggerus bahasa lokal dan nasional itu justru ada di wilayah paling strategis: dunia pendidikan.
Maka kemudian patut dipertanyakan, apakah RSBI itu sebenarnya dilatarbelakangi tujuan mulia untuk memajukan sistem pendidikan nasional kita dan turut menunjang pembangunan nasional Indonesia atau malah dipicu oleh "inferioritas" kita sebagai bangsa yang tertinggal dengan negara lain.
* Yuyun Kusdianto, Dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
Sumber: Kompas Edisi Yogyakarta, Rabu, 18 Agustus 2010

Konsep Dasar SKM dan SSN

Friday, August 20, 2010

Oleh: Depdiknas dalam Ahkmad Sudrajat

1. Pengertian

image Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah mengkategorikan sekolah/madrasah yang telah atau hampir memenuhi standar nasional ke dalam kategori mandiri. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa sekolah kategori mandiri (SKM) harus menerapkan sistem kredit semester (SKS). SKS adalah salah satu sistem penerapan program pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subyek. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar. Peserta didik diberi kebebasan untuk merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan minat, kemampuan, dan harapan masing-masing (Chandramohan, 2006).

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa sistem kredit semester adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Mengacu pada konsep tersebut, SKS dapat diterapkan untuk menunjang realisasi konsep belajar tuntas yang digunakan dalam menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada Sistem Kredit Semester, setiap satu satuan kredit semester (1 SKS) berbobot dua jam kegiatan pembelajaran per minggu selama 16 minggu per semester. Pada SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, satu jam kegiatan tatap muka berlangsung selama 45 menit, sedangkan 25 menit kegiatan terstruktur dan 25 menit kegiatan mandiri.
Dengan demikian, penerapan SKS pada KTSP perlu dilakukan penyesuaian dengan menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas di mana satuan kegiatan belajar peserta didik tidak diukur berdasarkan lama waktu kegiatan per minggu-semester tetapi pada satuan (unit) kompetensi yang dicapai.

2. Karakteristik

Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional pendidikan dan mampu menjalankan sistem kredit semester.
Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki profil sebagai persyaratan minimal yang meliputi :

a. Dukungan Internal:

  • Kinerja Sekolah indikator terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir minimum 7,00, persentase kelulusan UN ≥ 90 % untuk tiga tahun terakhir, animo tiga tahun terakhir > daya tampung, prestasi akademik dan non akademik yang diraih, melaksanakan manajemen berbasis sekolah, jumlah siswa per kelas maksimal 32 orang, ada pertemuan rutin pimpinan dengan guru, ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua.
  • Kurikulum, dengan indikator memiliki kurikulum Sekolah Kategori Mandiri, beban studi dinyatakan dengan satuan kredit semester, mata pelajaran yang ditawarkan ada yang wajib dan pilihan, panduan/dokumen penyelenggaraan, memiliki pedoman pembelajaran, memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi dan minat, memiliki panduan menjajagi potensi peserta didik dan memiliki pedoman penilaian.
  • Kesiapan sekolah, dengan indikator Sekolah menyatakan bersedia melaksanakan Sistem Kredit Semester, Persentase guru yang menyatakan ingin melaksanakan SKS ≥ 90%, Pernyataan staf administrasi akademik bersedia melaksanakan SKS, Kemampuan staf administrasi akademik dalam menggunakan komputer.
  • Sumber Daya Manusia, dengan indikator persentase guru memenuhi kualifikasi akademik ≥ 75%, relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan (90 %), rasio guru dan siswa, jumlah tenaga administrasi akademik memadai, tersedia guru bimbingan konseling/ karir. (e) Fasilitas di sekolah, dengan indiktor memiliki ruang kepala Sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang bimbingan, ruang Unit Kesehatan, tempat Olah Raga, tempat ibadah, lapangan bermain, komputer untuk administrasi, memiliki laboratorium: Bahasa, Teknologi informasi/komputer, Fisika, Kimia, Biologi, Multimedia, IPS, Perpustakaan yang memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran, memberikan Layananan bimbingan karir

b. Dukungan Eksternal

Untuk menyelenggarakan SKM/SSN berasal dari dukungan komite sekolah, orang tua peserta didik, dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dukungan dari tenaga pendamping pelaksanaan SKS.

Sumber:

Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

Donload : Panduan pembinaan SKM/SSN dan Panduan Sekolah Potensial menjadi SSN

Penilaian Kinerja Guru di Sekolah

by mharywa

image Sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, kegiatan manajemen kinerja ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan pendidikan. Oleh karenanya, secara ideal, sebuah organisasi pendidikan mampu memberikan kepastian kepada stakeholder, bahwa pegawai sebagai guru dan semua tenaga kependidikan telah melewati proses penilaian kinerja yang rasional. Mungkin tidak ada orangtua/wali murid yang mau di dalam sekolah terdapat pegawai pendidikan (guru) yang dinilai secara tidak akurat.

Secara umum, sekolah secara sadar menyematkan berbagai prinsip dan spirit keagamaan yang luhur dan mengandung nilai-nilai virtue (kesholehan), seperti prasangka baik, kasih sayang, saling menghormati, membantu, dan tenggang rasa. Sehingga dari semula, patut dicurigai bahwa organisation goals dari kebanyakan sekolah adalah membina dan mempertahankan para pegawainya atas dasar kasih sayang dan belas kasih (leniency).

Penulis menduga sampai sejauh ini, proses majemen kinerja di kebanyakan sekolah dipengaruhi oleh tujuan organisasi tadi dan kerap menghasilkan pendekatan politis, bukan didasarkan pada angka-angka, prestasi, dalam proses employee appraisal.

Meskipun demikian, atas kesadaran organisasi akan pentingnya mencapai standar kualitas mutu layanan pendidikan yang telah ditentukan, sering terjadi pembahasan yang panjang untuk menjalankan sebuah pendekatan politis terhadap hasil penilaian kinerja. Oleh karenanya, perlu dibuat sebuah mekanisme yang mengakomodir sisi pembinaan pegawai dan pemenuhan standar kinerja.

Mekanisme manajemen kinerja yang digagas adalah berdasarkan filosofi nilai keislaman, di mana kesholehan pribadi dan komunitas harus dapat menghasilkan kinerja yang tinggi. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an Allah berfirman tentang nilai bekerja bagi seorang muslim, ”Bekerjalah kamu maka Allah dan Rasulnya dan Orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian”, ”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bebuat ihsan (melakukan sesuatu dengan sempurna)” dan Hadits Nabi ”Sesungguhnya Allah lebih menyukai seorang muslim yang kuat dibanding muslim yang lemah”. Dari sini dapat dirumuskan bahwa, orang yang disukai Allah danagama adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan hasil optimal dan tidak memberi ruang bagi kemalasan dan sifat gampang menyerah (lemah)”.

Lalu bagaimana usaha dalam menciptakan kesadaran di benak setiap pegawai bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara kesholehan dengan kinerja yang optimal? Karena faktanya banyak pegawai yang sholeh (rajin sholat, mengaji, kata-katanya bijak, santun) tapi tidak rajin dan menunjukkan kinerja yang rendah (selalu terlambat masuk, pulang lebih cepat, tidak memenuhi kelengkapan administrasi, mengabaikan aturan, dsb.).

strateginya adalah membuat sebuah kontrol yang dapat menjamin kesesuaian antara perilaku sholeh pegawai dengan pencapaian standar kinerja. Kontrol yang dimaksud adalah menjadikan standar kinerja seperti kehadiran yang sesuai dengan jam kerja, kelengkapan administrasi, pemenuhan SOP (standar operation procedure), dll., sebagai bagian dari perilaku kesholehan seperti tutur kata, aktifitas ibadah, dan kesantunan dalam berinteraksi, yang dimasukkan sebagai item penilaian yang akan diberikan rating.
Organisasi dapat menetapkan nilai-nilai kesholehan meliputi pencapaian standar kinerja, karena sesuai dengan tuntutan beragama dalam Islam.

Dengan demikian, pendekatan politis atas dasar tujuan organisasi dibatasi dengan tuntutan agama yang hanya menginginkan orang yang bersungguh-sungguh, optimal, dan pantang menyerah. Setiap pegawai yang tidak dapat menunjukkan kriteria seperti itu, dapat dengan mudah diberikan pendekatan rasional terhadap hasil penilaian kinerjanya yang rendah. Dengan kata lain, manajer atau kepala sekolah dapat memberhentikan pegawai/guru yang tidak kunjung memenuhi standar kualitas dengan cara yang santun, terhormat, dan jujur. Hal itu tentu saja dapat dilakukan manajer dengan mudah, karena itu adalah amanat Allah (dan juga organisasi).

Download : instrumen monitoring dan evaluasi kinerja sekolah standar nasional

Menetapkan Standar Kinerja Sekolah

Transaksi Kompetensi Akademik

image Berdasarkan pengalaman berkunjung ke beberapa sekolah pada tahun 2008-2009, banyak sekolah yang masih keragu-raguan untuk menentukan penjaminan mutu lulusan kepada masyarakat. Contoh, dalam menetapkan mutu akademik dengan indikator nilai UN lebih tinggi daripada standar nasional.

Target mutu akademik lebih tinggi daripada batas minimal nilai UN akan ditafsirkan menjadi kriteria kelulusan sehingga sekolah tidak berani menetapkan target idealnya. Padahal dalam hal ini sekolah setidaknya dapat menetapkan kriteria pencapaian nilai UN menurut beberapa aspek. Pertama batas, patokan, kriteria atau standar kelulusan, nilainya bisa sama dengan standar kelulusan nasional. Kedua, patokan atau standar rata-rata nilai perlolehan. Ketiga, kriteria batas minimum nilai perolehan. Ketiga standar itu dapat berbeda. Misalnya, sekolah menetapkan batas kelulusan 5,25, rata-rata nilai siswa dalam UN 70, target batas terendah pada mata pelajaran matematika 65.

“Batas Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) menjadi objek penjaminan. Guru-guru menghadapi beberapa kendala. Pada umumnya kepala sekolah berkehendak menetapkan KKM jauh lebih tinggi daripada batas minimal kelulusan. Asumsinya semakin tinggi batas KKM ditetapkan, semakin bermutu pelayan belajar yang guru laksanakan dan semakin tinggi pula prestasi belajar siswa. Tentu asumsi itu tidak selalu benar. Masalahnya, secara empirik di tiap kelas selalu ada siswa yang tingkat daya serapnya lambat sehingga sulit memperoleh batas nilai yang terlalu tinggi. Contoh, guru menetapkan KKM 75 berdasarkan tingkat intake, kompleksitas materi, dan ketersediaan sumber daya penunjang yang terukur, maka otomatis setiap siswa harus mendapatkan nilai minimal 75 secara empirik dapat terjadi 50% siswa tidak tuntas. Logikanya, semakin tinggi KKM ditetapkan semakin banyak pula siswa yang tidak tuntas. Jika program perbaikan atau remedial tidak mengangkat nilai siswa pada batas yang diharapkan maka situasi ini dapat menjebak guru utuk melakukan mark up. Tidak ada jalan lain sehingga salah-salah pada akhir semester menjadi ajang obral nilai.

Oleh karena itu sebaikya KKM tidak ditetapkan tinggi-tinggi agar guru memiliki kelonggaran memberi nilai dengan rentang yang normal antara 6 sampai 10 untuk nilai rapot. Namun rata-rata nilai dan batas minimal target ideal dapat saja ditetapkan tinggi-tinggi karena dokumen ini cukup menjadi bagian dari transaksi kinerja guru dengan siswa dan kepala sekolah.

Beda Pejaminan Mutu SNP dengan RSBI

Jika sekolah rintisan bertaraf internasional menetapkan penjaminan pada nilai lulusan maka sesungguhnya dari dulu banyak sekolah mampu melahirkan lulusan dengan nilai yang sangat tinggi. Waktu istilah NEM digunakan untuk menyatakan kemurnian hasil ujian siswa, banyak siswa dari Denpasar, Surabaya, Jogjakarta, Bandung, dan Jakarta memperoleh nilai 10 pada matematika sehingga mereka menjadi peraih NEM terbaik di republik ini. Lalu setelah sekolah-sekolah itu menjadi RSBI apa bedanya dengan dulu? Dan, sekarang banyak lulusan bukan sekolah rintisan bertaraf internasional meraih NUN matematika 10, jadi bukan RSBI pun bisa!!!

Pertanyaan itu datang dari orang tua siswa yang bertanya apa yang dapat anak saya dari RSBI? Logikanya with and without RSBI mestinya berbeda. RSBI harus memiliki kriteria nilai lebih. Ketika orang tua siswa itu tahu bahwa siswa RSBI itu mampu menguasai bahasa Inggris dan dapat mendayagunakan internet sebagai alat komunikasi, media belajar, dan bertransaksi. Dia menjawab, wah….pak itu dari dulu bisa siswa peroleh dari tempat kursus bahasa Inggris dan komputer. Bahkan dalam bidang seni anak-anak sudah lebih dulu terintegrasi pada jaringan hiburan dunia, dan mereka berbahasa Inggris.

Bagaimana dengan halnya dengan kompetisi. Menurutnya itu tidak dapat dijadikan standar prestasi RSBI. Pertama karena jumlah ajang kompetisi internasional telalu sedikit sehingga pada tiap tahun akan jauh lebih banyak sekolah yang gagal daripada yang sukses.Kedua, peserta lomba terlalu sedikit sehingga untuk dijadikan sampel dari populasi siswa di satu sekolah terlalu kecil. Lalu, bagaimana kalau kompetisi itu seperti pada olimpiada MIPA mengakumulasikan peristiwa dari mulai tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional dan internasional. Wah Pak, sama saja, karena anak yang pandai itu akan meraih kejuaraan itu dari mulai kabupaten/kota sehingga terlalu banyak anak yang tersisihnya daripada yang menang? Lagi pula, apakah kita menjamin bahwa yang akan menjadi pemenang lomba itu dari RSBI?

Saya pun menjelaskan lebih lanjut, anak Bapak yang lulus RSBI itu akan dapat bersaing masuk perguruan tinggi bertaraf internasional. Dan jawabnya semakin memeras pikiran, katanya, dari dulu juga pak kita dapat melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi di mana pun, tanpa melalui RSBI, Pak. Coba Bapak hitung berapa banyak anak-anak kita yang data lulus bahkan dengan predikat cumloude, lihat pengalaman jamannya Pak Habibi menjadi menristek. Sejak dulu banyak anak kita pintar-pintar karena anaknya, pak, jadi sekali lagi apa yang dapat anak saya peroleh “with” RSBI?

Fokus Pada Kompetensi Siswa

Program RSBI adalah bagian dari strategi nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Nilai lebihnya adalah pada kompetensinya dalam beradaptasi dalam persaingan global.

Dengan demikian objek penjaminan itu harus tetap mengacu pada terpenuhinya kriteria seputar : (1) iman dan takwa, (2) ahlak mulai, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, dan (9) bertanggung jawab. Performa ke-9 aspek penjaminan itu harus terintegrasi pada diri siswa yang tercermin dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya. Oleh karena itu dilihat dari aspek tujuan seharusnya kelebihan RSBI itu ada pada kinerja.

Tujuan Khusus

Meningkatnya kecerdasan lembaga dalam beradaptasi pada persaingan global melalui penerapan standar pada berbagai komponen sistem di bawah ini :

Perolehan nilai akreditasi di atas 95.

  1. Pemenuhan standar isi dengan kriteria kebervariasian sumber belajar, keragaman teknologi, dan merujuk pada sumber belajar bertaraf internasional.
  2. Menetapkan Standar Kompetensi Lulusan yang setara dengan mutu lulusan dari sekolah unggul dari berbagai negara yang berkeunggulan dalam bidang ekonomi dengan indikator:
    • Memperoleh nilai UN dalam mata pelajaran IPA dan Matematika lebih tinggi daripada standar nasional.
    • Memiliki daya komunikasi pada komunitas dunia dengan menggunakan bahasa Inggris secara lisan yang ditunjukkan dengan dokumen rekaman hasil belajar.
    • Memiliki daya komunikasi pada komunitas dunia dengan menggunakan bahasa Inggris secara tertulis yang ditunjukan dengan dokumen interaksi siswa pada komunitas dunia melalui internet.
    • Memperoleh sertifikasi internasional minimal dalam bentuk tes TOEFL dengan hasil minimum 400;
    • Bertukar informasi atau bekerja sama dalam berbagai kegiatan dengan komunitas pelajar, komunitas lain, atau dengan lembaga internasional yang terdokumenkan dalam jaringan internet.
    • Menggunakan sumber belajar yang setara dengan siswa di sekolah unggul dari berbagai negara berkeunggulan dalam bidang ekonomi dengan menunjukan dokumen pengalaman belajar pada jaringan internet.
    • Melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan bertaraf internasional
    • Berkompetensi memamerkan keunggulan budaya nasional melalui penguasaan salah satu bentuk kesenian atau keterampilan.
    • Meraih medali tingkat lokal, nasoinal, regional, internasional dalam mata pelajaran tertentu.
    • Menjadi umat beragama yang taat beribadat.
  3. Meningkatnya efektivitas proses pembelajaran melalui: Menggunakan pengantar dwi bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dengan indikator siswa aktif, (bertanya, menjawab, meneliti, menganalisis, membaca, menulis, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan), inovatif ( menggunakan pengetahuan, keterampilan dan daya kreativitasnya untuk menghasilkan produk baru yang merupakan penyempurnaan dari model yang sudah ada), kreatif ( menggagas pikiran-pikiran baru dari pangalaman belajar yang dilaluinya), menyenangkan sehingga memotivasi siswa untuk memerankan diri sebagai seorang pembelajar dengan menetapkan target belajar berdaya saing internaisonal. Keseluruhan proses mengembangkan proses pembelajaran yang memenuhi kriteria paikem + berbahasa inggris + TIK. Dalam melaksanakan kegiatan mengajar guru menetapkan standar sebagai berikut:
    • Mengajar berdasarkan RPP yang telah disahakan kepala sekolah.
    • Memiliki daftar nilai
    • Memiliki catatan penilaian proses
    • Memiliki daftar Absen
    • Memiliki agenda guru
    • Membawa alat peraga
    • Membawa buku sumber
    • Memiliki dokumen KKM
  4. Meningkatnya daya adaptasi sekolah dalam mewujudkan pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kompetensi sebagai berikut:
    • Menguasai bahasa Inggris dengan indikator meraih nilai TOEFL di atas 400.
    • Menguasai materi pelajaran yang diampunya dengan yang ditunjukan dengan standar nilai uji kompetensi minimal 80.
    • Menggunakan referensi sumber belajar yang digunakan guru-guru pada lembaga pendidikan bertaraf internasional.
    • Mengembangkan kurikulum, silabus dan RPP dengan memadukan muatan standar nasional serta memadukan dengan konsep belajar satuan pendidikan bermutu dari negara yang berkeunggulan di bidang ekonomi.
    • Terampil menggunakan alat peraga berbasis TIK yang ditandai dengan kemampuan menggunakan internet dan alat peraga digital dalam kegiatan pembelajaran.
    • Menggunakan internet sebagai media komunikasi.
    • Menggunakan internet sebagai media pengelolaan dokumen materi belajar siswa, media pamer hasil belajar, dan media penyimpanan hasil belajar siswa.
    • Memiliki blog atau web site sebagai media belajar siswa.
    • Berkomunikasi dengan guru-guru sedunia melalui jaringan internet yang dengan bukti fisik catatan kegiatan dalam internet.
    • Menggunakan sumber belajar dunia sebagai sumber belajar siswa.
    • Berkolaborasi melasanakan pengembangan profesi melalui kegiatan MGMP, Pelatihan, Workshop, Seminar, dan Penelitian Tindakan Kelas.
    • Berpartisipasi dalam penelitian tingkat dunia melalui jaringan kerja sama bermedia internet.
    • Menjadi pembimbing dan pelatih siswa dalam meraih kejuaraan pada kompetisis tingkat lokal, nasional, dan internasional.
    • Menunjukan keteladanan dalam membaca, menulis, berkarya, belajar, bertindak, berinteraksi.
    • Menjamin siswa memperoleh nilai minimal ketuntasan di atas standar nasional.
  5. Meningkatkan mutu belajar siswa melalui peningkatan standar penilaian dengan indikator sebagai berikut:
    • Terwujudnya sistem penilaian untuk mengevaluasi ketercapain standar kompetensi siswa sesuai dengan tujuan.
    • Menggunakan kisi-kisi dan perangkat penilaian yang mengacu pada teori sistem penilaian.
    • Menggunakan model evaluasi yang digunakan sekolah unggul yang bertaraf internasional.
    • Menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi sebagai pendukung efektivitas penilaian.
    • Menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam pelaksanaan penilaian.
    • Terujinya multi kecerdasan siswa.
    • Penilaian meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
    • Mengintegrasikan hasil ulangan dengan hasil penilaian proses, dan nilai tugas/tagihan .
    • Adanya standar dalam penentuan jadwal penilaian, pemeriksaan hasil, dan pengumuman hasil penilaian.
    • Adanya hasil analisis butir soal untuk menentukan validitas dan tingkat kesulitan soal.
    • Hasil penilaian digunakan untuk menentukan program remedial dan pengayaan.
    • Target minimal penilaian adalah KKM dan rata-rata target nilai siswa.
  6. Pemenuhan standar sarana dan prasarana
    • Lingkungan sekolah yang kondusif, aman, bersih, indah, dan nyaman sebagai tempat belajar.
    • Memiliki ruang kepala sekolah dengan ukuran luas dan perangkat teknologi bertaraf internasional.
    • Memiliki ruang kelas yang sebanding jumlahnya dengan jumlah rombongan belajar.
    • Memiliki jaringan internet ke seluruh kelas.
    • Ruang kelas dilengkapi AC, komputer dan LCD projector.
    • Per siswa per satu meja belajar.
    • Memiliki labolatorium IPA, IPS, Komputer, Bahasa dan ruang milti media.
    • Memiliki perpustakaan dengan dukungan perpustakaan manual dan virtual.
    • Memiliki ruang TU yang dilengkapi dengan SIM sekolah berbasis TIK.
    • Memiliki ruang rapat yang dilengkapi dengan perangkat multi media.
    • Memiliki ruang server LAN dan arsip sekolah.
    • Memiliki ruang pameran karya siswa dan ruang serba guna
    • Memiliki ruang masjid
    • Memiliki ruang guru yang dilengkapi dengan perangkat multi media
    • Memiliki ruang inovasi dan produksi perangkat pembelajaran.
    • Memiliki ruang Bimbingan Konseling.
    • Memiliki kantin sekolah yang didukung makanan bergizi standar.
    • Memiliki perangkat kopetisi cerdas cermat.
    • Memiliki web sekolah tempat seluruh komunitas sekolah berkomunikasi.
    • Memiliki WC setara denganjumlah ruang kelas
  7. Pemenuhan standar pengelolaan
    • Memiliki merumusan dan menetapkan visi&misi lembaga yang disosialisasikan
    • Miliki tujuan lembaga dengan indikator target pencapaian terukur.
    • Memiliki dan melaksanakan rencana kerja jangka menengah (empat tahunan).
    • Memiliki dan menerapkan rencana kerja tahunan.
    • Menyusun RAPBS dengan tranasparan dan menetapkannya dengan berbagai pihak pemangku kepentingan.
    • Merumuskan struktur organisasi dengan jelas uraian tugas
    • Memiliki dan melaksanakan program kegiatan kesiswaan.
    • Memiliki dan melaksanakan kegiatan pengembangan kurikulum dan pembelajaran
    • Memiliki program dan melaksanakan pembinaan profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
    • Mengelola administrasi secara berkelanjutan
      1. Administrasi persuratan
      2. Buku induk kepegawaian
      3. Buku induk siswa
      4. Buku Klaper
      5. Buku Induk siswa
      6. Buku Mutasi Siswa
      7. Leger dan nilai akademik siswa
    • Menyelenggarakan pengelolaan sarana dan prasarana pembelajaran
    • Melaksanakan dan mengelola administrasi anggaran
      1. Program pengembangan sumber dana
      2. RAPBS
      3. Buku Tabelaris
      4. Buku Catantan Pembantu
      5. Laporan Keuangan
    • Menciptakan suasana, iklim, dan lingkungan pembelajaran yang kondusif.
    • Memiliki program dan melaksanakan pengawasan
    • Mempersiapkan akreditasi berkelanjutan
      1. Memiliki instrumen akreditasi sekolah
      2. Memiliki buktif fisik dalam model kohort hasil akreditasi
      3. Memiliki program persiapan pelaksanaan akreditasi
      4. Memiliki susunan petugas pengembang kesiapan akreditasi
      5. Memiliki tim evaluasi kinerja persiapan akreditasi
    • Memiliki program peningkatan kualifikasi pendidikan pendidik dan tenaga kependidikan
    • Memiliki sistem informasi manajemen (SIM) untuk mendukung administrasi pendidikan
      1. Memiliki site plan bidang teknologi informasi
      2. Memiliki program pengembang sumber daya manusia bidang TIK
      3. Memiliki program pengembangan hardware
      4. Memiliki program pengembangan software
      5. Memiliki dokumen evaluasi pelaksanaan program
    • Mengembangkan inovasi pembelajaran
    • Melakukan evaluasi pencapaian standar pengelolaan
    • Mengembangkan sistem pembinaan guru dan siswa berprestasi secara sistematis dan terprogram.

    Selanjutnya sekolah dalam mencapai target-target di atas akan menetapkan strategi, program, dan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana diuraikan di atas.

sumber : http://gurupembaharu.com

Sistem Pendidikan Nasional

Thursday, August 19, 2010

image Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

.: Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas:
1. pendidikan formal,
2. nonformal, dan
3. informal.

Jalur Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. pendidikan dasar,
2. pendidikan menengah,
3. dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup:
1. pendidikan umum,
2. kejuruan,
3. akademik,
4. profesi,
5. vokasi,
6. keagamaan, dan
7. khusus.

Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Pendidikan dasar berbentuk:

  1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
  2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

Pendidikan menengah terdiri atas:
1. pendidikan menengah umum, dan
2. pendidikan menengah kejuruan.

Pendidikan menengah berbentuk:
1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. institut, atau
5. universitas.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi:
1. pendidikan kecakapan hidup,
2. pendidikan anak usia dini,
3. pendidikan kepemudaan,
4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
5. pendidikan keaksaraan,
6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7. pendidikan kesetaraan, serta
8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pendidikan Informal

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1. Taman Kanak-kanak (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

.: Pendidikan Kedinasan

Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

.: Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan keagamaan berbentuk:
1. pendidikan diniyah,
2. pesantren,
3. pasraman,
4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

.: Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.

Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Istilah

Pendidikan
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional
Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peserta didik
Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Jalur pendidikan
Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenjang pendidikan
Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenis pendidikan
Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Satuan pendidikan
Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan formal
Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal
Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal
Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan anak usia dini
Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan jarak jauh
Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Standar nasional pendidikan
Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib belajar
Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Warga Negara
Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat
Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pemerintah
Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

Menteri
Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

Sumber: Depdiknas

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

image Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. File tersedia dalam format PDF, bagi rekan guru yang belum memiliki tool tersebut dapat mendownload Acrobat Reader 9 disini.
Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :
1. Standar Kompetensi Lulusan
2. Standar Isi
3. Standar Proses
4. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
5. Standar Sarana dan Prasarana
6. Standar Pengelolaan
7. Standar Pembiayaan Pendidikan
8. Standar Penilaian Pendidikan

(UU No. 20/2003 Pasal 35 ayat 1 dan PP No.19/2005 Pasal 2 Ayat 1)

Standar Pendidikan Nasional digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,tenaga kependidikan,sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.UU No. 20/2003 Pasal 35 Ayat. 2)

Fungsi dan Tujuan Standar Nasional Pendidikan, Menurut PP 19/2005 :

  1. Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
  2. Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
  3. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Untuk lebih jelasnya silahkan membaca file-file berikut:

1. Permendiknas No. 22 thn 2006 SI.pdf

2. Permendiknas No. 23 thn 2006 SKL.pdf

3. Permendiknas No.6 tahun 2007 Perubahan Permen 24 thn 2006 SI-SKL.pdf

4. Permendiknas No.24 tahun 2006 SK_Pelaksanaan_SI-SKL.pdf

5. Permendiknas No. 12 Tahun 2007.pdf

6. Permendiknas No. 12 Tahun 2007 [lampiran].pdf

7. Permendiknas No. 13 Tahun 2007.pdf

8. Permendiknas No. 13 Tahun 2007 [lampiran].pdf

9. Permendiknas No. 16 Tahun 2007.pdf

10. Permendiknas No. 16 Tahun 2007[lampiran].pdf

11. Permendiknas No. 18 Tahun 2007.pdf


Sumber : http://www.bsnp-indonesia.org

RSBI vs sekolah Jepang

oleh : MURNI RAMLI

image Selama seminggu saya harus mendampingi rombongan kepsek dari Jateng berkunjung ke sekolah-sekolah di Jepang sebaga translator.

Saya tidak sempat menulis banyak di blog ini dan banyak komentar yang terabaikan, mohon maaf sebesarnya.

Kedatangan kepsek yang sebagian besar adalah kepsek Rintisan SMA/SMP bertaraf internasional bertujuan untuk menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school.

Saya pribadi berpendapat bahwa sister school bukan milik RSBI atau SBI semata, tetapi sekolah dengan embel-embel nama apapun bebas untuk melakukannya.

Saya mendapat kesan bahwa Kepsek yang datang  memang agak terbebani dengan keharusan untuk membentuk sister school tersebut sebagai salah satu syarat RSBI.

Salah satu konsep RSBI yaitu mengacu kepada standar negara-negara OECD, termasuk Jepang dianggap oleh sebagian pemikir Jepang sebagai konsep yang tidak jelas. Apalagi dengan keinginan untuk mendapatkan akreditasi dari badan khusus di Jepang tentang  status keinternasioanalan RSBI tersebut mendapat tanggapan yang sangat kritis karena tidak ada Badan Akreditasi Sekolah di Jepang atau lembaga akreditasi-akrediatasian di level pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana yg dikehendaki oleh pengelola RSBI. Pun tidak ada kurikulum universitas semacam Cambridge yang bisa diadopsi dan dibeli hak patennya lalu lulusan RSBI diakui setara dengan lulusan-lulusan sekolah yang menerapkan sistem Cambridge.

Jepang sama sekali tidak mengenal istilah sekolah internasional maupun nasional. Menurut pandangan pakar pendidikan di sini, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak yang pandai peru difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar internasional mengikuti standar negara lain.

Seorang prof Jepang menceritakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sama dengan kondisi Jepang di tahun 60an-70an, saat itu APK SD dan SMP di Jepang telah mencapai 95-97%, sementara APK SMA masih 50%. Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan. Yang karenanya dapat disaksikan fasilitas sekolah Jepang hampir sama dengan kualitas yang memadai proses pembelajaran.

Prof tersebut kemudian menanyakan mengapa Indonesia tidak mencoba untuk mempersiapkan pendidikan untuk semua warganya dengan kualitas yang sama seperti halnya Jepang ? Seandainya dana negara sedikit, dana itu harus dinikmati bersama oleh rakyat. Barangkali itu akan lebih baik bagi rakyat Indonesia, daripada membuat sekolah internasional.

Saya pribadi yang meneliti RSBI ini dari aspek latar belakang hukum dan penerapannya di lapang, sungguh sepakat dengan ide beliau. Dana yang disalurkan pemerintah untuk proyek ini sungguh besar semoga tidak menjadi sia-sia karena ketidakmatangan konsep yang kita punyai. Saya merasa agak sedih bahwa pada kenyataannya konsep RSBI hanya menjadi pembicaraan yang hanya dipahami oleh pembuat kebijakannya dan kepala sekolah di level pelaksana tidak memahami latar belakang pemikiran dan apa makna kata pendidikan berstandar bagi warga negara selain yang tertera di lembaran UU. Sedih sekali bahwa kepala sekolah ternyata belum diberi otonomi luas selain hanya menjadi pengikut kebijakan pusat.

Kunjungan ke sekolah-sekolah Jepang yang dilakukan oleh para kepsek mudah-mudahan menyadarkan kita bahwa sebuah sekolah yang menghasilkan lulusan yang baik di Jepang, ruang kelasnya masih berpapantuliskan papan tulis kayu,dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Bahwa setiap siswa belum mengakses internet secara bebas di sekolah, dan setiap siswa tidak dapat membawa laptop sendiri-sendiri ke sekolah dan bebas mengakses internet. Di seantero Jepang belum ada sekolah semacam ini, sebagaimana yang menjadi kriteria RSBI.

Tetapi tidak berarti bahwa pendidikan anak-anak Jepang tidak menginternasional, dan teknologi serta kecanggihan IT tidak mereka pahami dengan baik. Dengan bangganya kita memamerkan bahwa RSBI di Indonesia sudah memiliki ruang lab canggih, lab bahasa, pelajaran berbahasa pengantar berbahasa Inggris, sementara guru-guru di Jepang dan pemikir di Jepang mengernyitkan dahi, seperti apa gerangan pendidikan ala internasional itu ? Sebab fasilitas sekolah di Jepang diadakan karena memang itu dibutuhkan, dan mereka beranggapan bahwa fasilitas internet yang bebas akses tidak dibutuhkan di sekolah, maka tidak diadakan.

Saya menangkap kesan guru-guru di Jepang dan pemikir pendidikannya yang mendengarkan uraian RSBI agak sulit memahami kelogisannya.

Para pemegang kebijakan di Indonesia barangkali dapat berpikir ulang tentang konsep RSBI ini.Saya yakin bukan pendidikan mercu suar dan bukan pendidikan untuk orang berkantong tebal yang kita usung lewat program RSBI (semoga keyakinan saya benar)

Perenungan mendalam dan rasa keberpihakan kepada anak-anak yang dididik harus kita lakukan. Bahwa pendidikan itu adalah untuk anak-anak, agar mereka menjadi manusia dewasa dan berakhlak di lingkungannya, bukan pendidikan agar negara diakui oleh negara lain sebagai negara maju, atau agar diakui sebagai anggota OECD. Juga bukan barang jualan yang harus dijual mahal kepada rakyat. Pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat.

Setelah SBI, lalu apa ?

image Bagaimana perkembangan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) di Indonesia sekarang ya ? Lama saya tak mempelajari dan mengamatinya selain membaca-baca di koran dan di milis-milis, suara-suara pro dan kontra hilir mudik.

Semestinya sejak didengungkan di tahun 2003, dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2005, RSBI sudah layak dievaluasi. Atau mungkin evaluasi sudah dikerjakan oleh Diknas atau lembaga non pemerintah, dan saya saja yang ketinggalan cerita

Kalau mau dirangkumkan beberapa pendapat yang pro menggunakan alasan sebagai berikut :
1. SBI harus dilaksanakan karena itu tuntutan UU SISDIKNAS 2003
2. SBI perlu karena sekolah-sekolah di Indonesia jauh tertinggal
3. SBI perlu diselenggarakan karena banyak (ada ?) siswa yang ingin lanjut ke perguruan tinggi di luar negeri
4. SBI perlu karena Indonesia harus sepadan dengan negara-negara di Astengg yang level sekolah-sekolahnya sudah internasional.
5. SBI membawa manfaat salah satunya, guru-guru menjadi sadar pentingnya memahami bahasa asing
6. ………

Silahkan tambahkan sendiri

Alasan yang kontra :
1. SBI tidak perlu karena menimbulkan elitisme baru dalam pendidikan
2. SBI tidak perlu karena menelan biaya besar, sementara masih banyak sekolah yang ambruk
3. SBI tidak bermanfaat karena yang terpenting adalah pemahaman materi belajar dan bukan mengajar dengan bahasa asing
4. SBI tidak perlu karena definisi kata “internasional” pada namanya tidak jelas
5. SBI tidak perlu karena sekolah reguler pun lulusannya banyak yang keluar negeri
6. SBI adalah bentuk penjajahan baru karena keharusan mengacu pada kurikulum institusi di negara maju
7. SBI adalah model baru privatisasi pendidikan, sebab 99% orang behave yang bisa menikmatinya.

Alasan pertama bahwa SBI harus diselenggarakan karena itu adalah tuntutan UU membawa kita pada pertanyaan baru, mengapa DPR menyetujui ini atau tepatnya mengapa hal seperti ini perlu dimasukkan dalam sebuah UU Sisdiknas?

Mengingat perubahan Fundamental Law di negara kita berlangsung per 30-20 tahunan (UU 1950, UU 1989, UU 2003), maka jika naga-naganya proyek SBI tak sukses, akan ada statement baru tentang penghapusannya di UU 2020-an, atau sebuah konsep baru sekolah unggul akan dimasukkan. Tetapi melihat perkembangan dunia begitu pesat, kelihatannya tidak harus menunggu 20 tahun untuk menilai ini laik atau tidaknya.

Saya cenderung pada kelompok yang kontra. Tetapi saya menyadari niat baik pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Saya mungkin kurang sepakat dengan pemerintah tentang definisi pendidikan bermutu jika pemerintah berkesimpulan bahwa SBI adalah model pendidikan unggulan bermutu.

Ciri-ciri SBI yang saya tangkap dari tiga buah sekolah yang saya kunjungi di Pulau Jawa adalah : gedung mewah, ruang kelas beraudio visual, laboratorium lengkap, lisensi dari Universitas A di luar negeri (bahkan ada yang memasangnya di dinding sekolah, mengingatkan saya pada perusahaan yang sudah mendapatkan ISO), kurikulum sebuah universitas di luar negeri, pelajaran dalam bahasa inggris, kunjungan (pertukaran budaya) siswa ke luar negeri, dan  sister school.

Orang bijak memperkenalkan kata bijaksana, bahwa kesuksesan dapat diraih melalui peniruan (mane suru kata orang Jepang). Saya pikir SBI adalah upaya meniru yang dilakukan bangsa kita terhadap sistem persekolahan yang dianggapnya unggul yang ada di negara maju. Negara maju pun dibatasi hanya anggota OECD. Saya tertarik untuk mengkritisi konsep negara maju yang didefinisikan pemerintah dalam hal ini. Perlu diingat bahwa sebagian besar anggota OECD adalah negara yang terlibat dalam WW II sebagai penjajah dan mereka memperoleh kemajuan saat ini karena keuntungan yang didapatnya dari penjajahan. Jadi, untuk meniru dengan baik, negara kita perlu menjadi penjajah

Tetapi meniru banyak gayanya.Meniru 100%, meniru 50% atau meniru 10% nya saja. Entah meniru gaya yang mana yang dipilih untuk program SBI ini.

Karena setiap melakukan riset, seseorang harus mampu memahami definisi dengan baik, maka mari kita tinjau SBI dari segi definisinya terlebih dahulu. Sekolah Bertaraf Internasional memunculkan bentuk lain sebagai antitesis, yaitu Sekolah Bertaraf Nasional, dan selanjutnya jika kata “bertaraf” disepadankan dengan tingkatan (wilayah), maka akan ada Sekolah Bertaraf Daerah yang masih boleh dipersempit lagi dengan sekolah bertaraf lebih rendah.

Masyarakat kita sering menyematkan istilah sekolah kampung pada sekolah yang ada di perkampungan. Misalnya teman yang menyekolahkan anaknya di pinggiran Jakarta, mengatakan : “si kecil saya sekolahkan di sekolah kampung”.Yang dia maksud dengan sekolah kampung adalah SD negeri yang ada di pinggiran kota. Tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan istilah sekolah kota sebagai antitesis sekolah kampung.

Dulu pernah ada eranya ketika masyarakat ramai menggunakan istilah plus. Semua sekolah terutama sekolah swasta ramai-ramai menambahkan embel-embelan plus jika sekolah tersebut menambahkan misalnya mata pelajaran lain di luar kurikulum, atau fasilitas lain di luar fasilitas sekolah pada umumnya. Menurut riset yang saya kerjakan istilah ini muncul di tahun 70-an, tepatnya ketika pemerintah menghapuskan semua bentuk SMP Kejuruan dan mengubahnya menjadi SMP. Kata “plus” ditambahkan sebab sekolah ini dilengkapi dengan pelajaran kejuruan, sehingga nomenklaturnya menjadi SMP Plus (lih. Djoyonegoro 1996, 50 th Pembangunan Pendidikan Indonesia).

Berdasarkan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikenal pula istilah Sekolah Standar dan Sekolah Mandiri.Dalam penjelasan ps 11 ayat 2 dan 3 disebutkan sebagai berikut :

Pemerintah mengkategorikan sekolah/ madrasah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori mandiri, dan sekolah/ madrasah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori standar.

Kata “hampir memenuhi” adalah pernyataan yang tidak jelas. Apakah 60%, 70%,80% atau 99% memenuhi. Mengapa pemerintah menggunakan istilah mandiri untuk sekolah yang sudah memenuhi standar? Mengapa tidak menggunakan istilah Sekolah Berstandar untuk kategori ini ? Dan mengapa sekolah yang belum memenuhi standar nasional disebut berkategori standar?

Kata “mandiri” biasanya digunakan untuk menyatakan kondisi ketidaktergantungan.Oleh karena itu sekolah berkategori mandiri adalah sekolah yang tidak tergantung kepada pemerintah atau tidak memerlukan lagi biaya dari pemerintah karena bisa membiayai dirinya sendiri. Tetapi jangan lupa, sekolah bukan perusahaan yang bisa mendatangkan profit. Memutus kebergantungannya kepada pemerintah sama artinya dengan memindahkan ketergantungan tersebut kepada pihak ketiga, dan siapa lagi itu kalau bukan masyarakat/orang tua.

Istilah “standar” sering dipakai oleh kawula muda ketika menilai penampakan luar lawan jenisnya. “Bagaimana cewek itu ?”, pertanyaan seperti ini bisa dijawab : “Ah, standar !”  Artinya dia biasa saja, sama dengan cewek-cewek kebanyakan. Tidak minus, tetapi juga tidak plus. Jadi, sekolah berkategori standar adalah sekolah yang biasa-biasa saja

Lalu, kembali kepada istilah internasional pada penamaan SBI. Mengapa internasional ? Harapannya barangkali dengan istilah ini, sekolah tersebut dapat diterima oleh dunia dan diakui sebagai tempat belajar yang memenuhi syarat bagi siswa-siswa asing yang ingin bersekolah di Indonesia. Tetapi apakah perlu seperti itu ? Jika siswa asing ingin bersekolah di luar negaranya, maka adalah lumrah dia harus mengikuti pola dan sistem negara bersangkutan. Jadi, mungkin saya salah dengan pemikiran ini, yaitu SBI untuk mengundang siswa asing.

Atau seperti alasan pemerintah, bahwa SBI akan mencetak lulusan yang dipersiapkan untuk menembus universitas di negara maju.Tetapi bukankah sekolah biasa pun banyak yang bisa menghasilkan lulusan yang bisa tembus universitas luar tanpa harus mengikuti kelas internasional ?

Melihat program-program dan ciri SBI yang ada, tampaknya istilah internasional sama dengan istilah eksekutif  pada tiket pesawat, kereta, dan bis

Lalu, pertanyaannya sekarang, setelah sebuah sekolah digelari SBI, selanjutnya apa lagi gelar yang berhak disandang sekolah tersebut, jika suatu saat nanti sekolah tersebut telah melewati standar internasional.

Banyak model persekolahan yang dikutip dari sana sini kemudian disampaikan sebagai sebuah kebijakan yang mesti diterapkan di negara kita. Tetapi, sayangnya banyak yang tidak menyentuh basis permasalahannya.

Saya membaca referensi bahwa di awal-awal kemerdekaan dibetuk Panitia Penyelidikan Pendidikan pada tahun 1946 (1947) yang bertugas untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan. Saya pikir tim seperti itu perlu dibentuk untuk mendata permasalahan pendidikan di Indonesia. Tetapi tim tersebut jangan cuma melaporkan : guru kurang professional, fasilitas sekolah kurang memadai, kurikulum terlalu gemuk, manajemen sekolah korup, dll, sebab hal-hal seperti itu orang awam pun mengetahuinya. Tim perlu menampilkan data yang akurat yang bisa dianalisis, sehingga dapat menghasilkan pemecahan yang baik.

Dan tentu saja, tidak ada yang lebih penting daripada semuanya selain, moral pelakunya. Moral sangat bermain dalam kecantikan dan ketepatan kebijakan yang akan dihasilkan untuk membangun pendidikan di bumi pertiwi.

sumber : http://murniramli.wordpress.com/

Sister School ala Indonesia

image Setuju atau tidak, salah satu ciri yang dikembangkan atau kelihatannya menjadi trade marknya Sekolah Bertaraf Internasional adalah punya sekolah saudara (sister school) di negara lain.

Tujuannya untuk apa ? Ya tentu saja untuk saling berkunjung, berbagi pengalaman sebagaimana layaknya saudara barangkali. Karena institusi yang bersaudara adalah sekolah, maka personal yang ada di dalamnya yang akan saling berinteraksi, dimulai dari kepala sekolah, wakasek, guru dan murid-murid.

Mencari dan mengajak sebuah sekolah untuk menjadi saudara bukan pekerjaan yang gampang, sebab butuh biaya, energi, arah yang jelas dan tentu saja melibatkan pemerintahan setempat. Di Indonesia dengan dialihkannya wewenang pengelolaan pendidikan ke daerah, maka program sister school menjadi program di bawah arahan Diknas provinsi.

Demikian pula Jepang. Kekuasaan dan wewenang pengelolaan sekolah dibebankan kepada daerah, yaitu pengelolaan SMA di bawah pemerintah tingkat prefektur, dan pengelolaan SD dan SMP di bawah pemerintahan tingkat kota atau distrik. Kedua pihak inilah yang perlu menjembatani lahirnya persaudaraan dua sekolah.

Program yang sering dikemas dalam kegiatan sister school adalah pertukaran budaya, memperkenalkan seni tari, permainan, atau sekedar kompetisi olah raga, dan bagi sebagian orang, pengalaman ke luar negeri adalah sebuah kebanggaan.

Lebih dari sekedar sebagai sebuah pertukaran seni budaya antara dua saudara, program sister school sebenarnya akan lebih menarik apabila dikemas menjadi sebuah pertukaran ilmu dan budaya yang lebih menitikberatkan empati dan peningkatan motivasi untuk maju siswa, guru dan kepsek.

Oleh karena itu, ketimbang menjadi ajang pentas kesenian, akan lebih baik jika siswa yang saling berkunjung diberi kesempatan untuk memahami kebiasaan belajar, semangat dan pola masyarakat setempat dengan lebih baik, ketimbang diajak untuk mengunjungi tempat wisata.

Selama ini sister school karena sudah dijudge sebagai program sekolah internasional, maka sangat jarang menyentuh sekolah-sekolah desa yang masih sederhana. Padahal pertemuan siswa-siswa yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda adalah sebuah wahana untuk melatih kepekaan siswa terhadap fakta kehidupan manusia yang beragam.

Sayangnya program sister school, sesuai dengan namanya yang ngebule, hanya dimaksudkan sebagai persaudaraan antara sekolah di dua negara yang berbeda.

Negeri dengan keragaman suku A sampai Z seperti Indonesia seharusnya lebih jeli mengembangkan program persaudaraan antarsekolah yang khas. Sebelum mengirimkan anak-anak itu untuk bersaudara dengan orang-orang berkulit sipit di Jepang atau anak-anak berambut emas di tanah Eropa atau anak-anak bermata biru di daratan Australia, atau anak-anak Melayu di seberang , mengapa tidak mempersaudarakannya dengan “saudara-saudara” hakikinya yang tinggal di Manokwari, di Lombok, di Gorontalo, di pegunungan Dieng ???

Padahal anak-anak di daerah tersebut sungguh ingin sedikit saja belajar sesuatu yang unggul dan baik dari saudaranya yang tinggal seberang pulau.
Padahal guru-guru di pelosok Kalimantan, Sumatera, Sulawesi ingin sekali sekedar  berguru kepada saudara-saudara guru di tanah yang lebih duluan maju.

sumber : http://murniramli.wordpress.com

Sertifikat Cambridge Untuk Apa dan Siapa?

Satria Dharma (Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia)

image Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh menegaskan bahwa pihaknya akan membeli lisensi akreditasi sekolah dasar dan menengah dari luar negeri yang berafiliasi dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal ini menurutnya terpaksa dilakukan, karena berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, penyebab mahalnya biaya pendidikan di RSBI adalah akibat sekolah membeli sendiri lisensi akreditasi dari luar negeri, contohnya dari Cambridge.
Mendiknas mengungkapkan hal itu ketika ditemui usai membuka ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (13/7). "Kita akan membeli sendiri lisensinya. Nanti akan kami sebarkan ke setiap RSBI," jelasnya. (JPNN.com, 13 Juli 2010 )
Berita ini sungguh mengejutkan dan sekaligus mengherankan. Bagaimana mungkin Kemendiknas akan membeli lisensi akreditasi sekolah dari luar negeri? Apakah pemerintah Indonesia tidak mampu membuat akreditasi dari sekolahnya sendiri?
Pertanyaannya adalah UNTUK APA akreditasi tersebut? Apa yang hendak dicapai dari adanya akreditasi tersebut? Pertanyaan ini SANGAT PERLU untuk dijawab dan lepas dari mahal atau murahnya harga lisensi akreditasi tersebut. Apakah dengan adanya lisensi dari Cambridge (CIE) maka siswa kita akan menjadi lebih mudah untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, umpamanya? Apakah dengan adanya akreditasi dari CIE maka kualitas pendidikan kita akan naik ratingnya di mata internasional, umpamanya? Apakah jika kita menggunakan akreditasi Cambridge maka kualitas pendidikan kita akan dianggap setara dengan negara-negara maju, umpamanya? Apa sebenarnya urgensi dari akreditasi Cambridge tersebut?
Saya ingin membuat analoginya dengan lisensi TOEFL. Mana kira-kira yang lebih perlu bagi pendidikan kita antara lisensi ujian CIE (Cambridge International Examination) dengan lisensi ujian TOEFL? Mana yang lebih umum penggunaannya dan mana yang lebih banyak dibutuhkan bagi siswa yang hendak melanjutkan ke LN antara sertifikat Cambridge dengan TOEFL? Kita tahu bahwa sertifikat TOEFL (atau TOEIC) sangat dibutuhkan jika siswa ingin melanjutkan belajar ke LN dan merupakan prasyarat utama biasanya. Tapi apakah pemerintah pernah BERPIKIR untuk membeli lisensi TOEFL agar biaya testnya menjadi lebih murah bagi siswa-siswa kita yang hendak belajar ke LN? Tidak kan?!
Seperti juga ujian TOEFL, ujian sertifikat Cambridge tidak selalu berhubungan dengan materi yang dipelajari. Maksudnya, bisa saja kita belajar bahasa Inggris dan menguasainya tanpa perlu harus mengikuti ujian TOEFL. Saya sendiri seorang guru bahasa Inggris yang pernah bekerja sebagai guru bhs asing di sekolah Internasional tapi tak pernah mengikuti ujian TOEFL karena tidak pernah menjadi syarat.
Sertifikat Cambridge juga demikian. Seorang siswa bisa saja melanjutkan studinya ke LN tanpa memiliki sertifikat Cambridge (atau sertifikat internasional apa pun). Tidak ada persyaratan secara internasional bahwa siswa harus memiliki sertifikat Cambridge agar bisa diterima di perguruan tinggi tertentu. Jika kita memiliki sertifikat Cambridge juga bukan merupakan jaminan bahwa kita akan diterima di perguruantinggi yang akan kita tuju. Seperti juga sertifikat TOEFL, sertifikat Cambridge hanya merupakan sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kita telah mengikuti sebuah tes dengan hasil nilai tertentu. Singkatnya, sertifikat Cambridge tidak memberi jaminan apa pun kepada pemiliknya untuk bias mulus melanjutkan studi ke LN.
Jadi apa sebenarnya tujuan dari sertifikasi Cambridge tersebut? Apalagi jika sampai harus dibeli oleh sebuah kementerian pendidikan? Pemerintah juga tidak pernah mengeluarkan ide untuk membeli lisensi TOEFL agar digunakan oleh siswa-siswa dan dosen-dosen yang ingin melanjutkan studinya ke LN kan? Untuk apa dan untuk siapa pemerintah harus membeli lisensi akreditasi program Cambridge tersebut? Analoginya Adalah : Apa gunanya ikut ujian dan memperoleh sertifikat TOEFL jika kita tidak memerlukannya? Apakah untuk iseng-iseng saja? Tentu tidak kan!
Jelas ini merupakan sebuah kesalahan LOGIKA beruntun yang dilakukan karena mengikuti logika program SBI yang sudah sejak dari konsepnya saja sudah salah kaprah. Untuk dapat menjadi bangsa yang memiliki kualitas pendidikan yang setara dengan negara-negara maju lainnya tidak berarti bahwa kita harus mengikuti standar akreditasi sebuah lembaga yang dianggap internasional sekali pun. Lagipula tak ada gunanya mengikuti sertifikasi Cambridge jika kurikulumnya sendiri tidak digunakan. Logika yang digunakan oleh Kemendiknas dalam hal ini nampaknya terjebak oleh pemikiran sekolah-sekolah swasta mahal yang menawarkan kurikulum dan ujian sertifikat internasional macam Cambridge. Sekolah-sekolah swasta mahal tersebut memang menggunakan kurikulum dan sertifikat Cambridge karena ditujukan bagi golongan menengah atas yang ingin agar anaknya nantinya bisa meneruskan ke LN. pertimbangan sekolah-sekolah tersebut adalah semata EKONOMI dan bisnis. Ketika demand tinggi maka
supply pun diadakan. Karena banyak orang tua yang ingin anaknya mudah melanjutkan studi ke LN maka bertebaranlah sekolah-sekolah swasta menawarkan program yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan orang tua tersebut. Tapi masak sebuah pemerintahan mau mengikuti cara berpikir sekolah swasta! Ingat bahwa sekolah yang hendak di SBI-kan pemerintah itu adalah sekolah public yang smestinya mengikuti KURIKULUM DAN AKREDITASI (atau evaluasi) NASIONAL. Untuk apa pemerintah ikut-ikutan bermain di ladang sekolah internasional yang hanya akan dinikmati oleh anak-anak klas atas? Tidakkah lebih baik bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah dan siswa-siswa yang miskin dan tak mampu bahkan menikmati pendidikan dasar? Tidak sadarkah pemerintah bahwa dengan menetapkan program SBI ini berarti pemerintah telah melegalkan komersialisasi bagi sekolah-sekolah publiknya?
Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan kecemasan yg sama akan kualitas pendidikan yg dianggap merosot pemerintah AS di bawah George Bush kemarin justru mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yg justru menyasar pada siswa-siswa di level terbawah yg diberi penanganan khusus agar tak ada lagi yg tertinggal secara akademik. Dengan mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yg 'left behind' maka diharapkan akan mengangkat agregat kualitas pendidikan secara makro.
Bandingkan ini dengan program RSBI yg justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat (cream of the cream) dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak memerlukan bantuan dibandingkan siswa yg tertinggal. Program RSBI ini malah mengabaikan siswa yg secara ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program RSBI ini adalah program yg memalukan bangsa dan mengkhianati rakyat kecil. Ingat bahwa ini adalah program pemerintah yg dibiayai oleh pajak dan hutang negara dan bukan program swasta
Saran saya : Evaluasi menyeluruh program SBI tersebut dan kalau perlu cabut pasal-pasal dalam UU Sisdiknas yang melegalkannya. Jika tidak maka kita akan jatuh dalam kesalahan demi kesalahan.

sumber : http://www.klubguru.com/

PETISI : IKATAN GURU INDONESIA (IGI) HENTIKAN PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)

Hendro Gendho Murdiyantono

image PETISI :
IKATAN GURU INDONESIA (IGI)
HENTIKAN PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ADALAH PROGRAM YANG SALAH KONSEP DAN 90% PASTI GAGAL
MENGAPA PROGRAM SBI HARUS DIHENTIKAN?
Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.Mengapa?
Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini dan kelemahan ini begitu mendasar sehingga program ini memang harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu untuk dihentikan sampai hal-hal mendasar tersebut ditangani.
KONSEPNYA LEMAH
* Pertama, program ini jelas tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Sampai saat ini tak ada satu pun petunjuk apa yang dimaksud dengan “X” tsb. Konsep “X” ini benar-benar misterius dan dibiarkan tetap misterius.
APA ITU ‘BERTARAF INTERNASIONAL’?
Program ini sudah SALAH KONSEP sejak dari awalnya. UU yang mencantumkan tentang program ini harus di judicial review. Coba perhatikan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan satuan pendidikan yang bertaraf internasional tersebut? Istilah ini tidak pernah dikenal sebelumnya dan tidak jelas apa acuan, kriteria dan apalagi rujukan akademiknya. Istilah ini muncul begitu saja dari langit dan dimasukkan ke dalam UU Sisdiknas. Bagaimana mungkin sebuah UU memuat sebuah rumusan yang sama sekali tidak memiliki acuan, kriteria, dan rujukan akademiknya?
APA RUJUKAN AKADEMIK ‘SNP + X’?
Apakah sebenarnya satuan pendidikan yang bertaraf internasional itu? Apakah kalau menggunakan bahasa Inggris, berbasis IT, berfasilitas wah, dlsbnya maka sekolah tersebut bisa disebut satuan pendidikan yang bertaraf internasional? Apa rujukan akademik yang digunakan ketika menyatakan bahwa sekolah yang begini dan begitu adalah ‘bertaraf intenasional’? Apa rujukan ilmiah yang digunakan ketika merumuskan bahwa SNP + X = bertaraf internasional? Apakah jika standar yang kita gunakan itu sama atau setara dengan standar yang digunakan oleh negara-negara OECD, umpamanya, maka itu akan membuat satuan pendidikan kita menjadi ‘bertaraf internasional’? Apa sebenarnya yang ada dalam benak si pembuat UU ketika ia memasukkan istilah ‘bertaraf internasional’ tersebut? Rumusan “SNP + X” adalah rumusan misterius yang bahkan tidak dipahami oleh pencetusnya.
SALAH MODEL
* Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1).
* Sebagai contoh, jika sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk memiliki guru berkategori hard science seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas minimal 15.000 m, dll persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini ibarat meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol!
Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah ‘favorit’ kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, padahal mereka adalah guru-guru bahasa Inggris yang telah mendapat pendidikan khusus tentang pembelajaran bahasa Inggris selama minimal 4 tahun di kampus dengan tenaga dosen mumpuni,. Tapi toh hanya sedikit di antara mereka (para guru bahasa Inggris) yang mampu memperoleh skor TOEFL >500. Apalagi jika itu dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science. Maka itu jelas tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat Dikdasmen berresiko gagal total dalam mencapai tujuannya.

SALAH ASUMSI
Ketiga, konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL bahkan tidak bisa dijadikan sebagai ukuran keberhasilan seorang GURU BAHASA INGGRIS dalam mengajarkan bahasa Inggris di kelas. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang untuk belajar di luar negeri, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya di kelas, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik. Menghubungkan nilai TOEFL dengan keberhasilan pengajaran hard science pada program SBI adalah sebuah kesalahan asumsi yang menyedihkan.
KETIDAKPAHAMAN
* Keempat, penggagas ide ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru-guru kita di daerah-daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.
KEMUSTAHILAN
* Berdasarkan pendapat para guru bahasa Inggris senior susah sekali untuk menjadikan orang dewasa yang tidak berbahasa Inggris sama sekali untuk menguasai bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari apalagi untuk meminta mereka untuk mentransfer konsep pengajaran dalam bahasa Inggris. Jadi untuk mengubah guru yang tidak berbahasa Inggris untuk mengajar dalam bahasa Inggris dengan mengirimkan mereka ke institusi/kursus bahasa Inggris yang terbaik sekalipun adalah HAL YANG MUSTAHIL. Ini menyangkut teori otak juga dimana Bahasa akan mudah dipelajari oleh otak dari usia dini 0-6 tahun. Di usia 6-12 untuk mempelajari suatu bahasa akan memakan waktu lebih lama dan sulit, sedangkan diatas 12 tahun lebih sulit lagi untuk menguasai suatu bahasa.
Banyak Master dan PhD lulusan luar negeri kita yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih rendah dan masih terbata-bata dalam menyampaikan pendapat. Padahal mereka telah hidup dan belajar menggunakan bahasa Inggris selama mereka belajar di luar negeri.
KEGAGALAN DIDAKTIK
* Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Program ini sangat beresiko. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
Fakta : Hasil Ujian Nasional baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak sekolah-sekolah berstatus RSBI ternyata hasil UN-nya lebih rendah daripada sekolah-sekolah reguler lainnya. Banyak siswa RSBI yang bahkan tidak lulus dalam Ujian nasional tahun 2010. Ini adalah fakta keras yang menunjukkan bahwa program RSBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah RSBI.

PROGRAM“SBI” TELAH GAGAL DI MALAYSIA
* Keenam, Satu hal yang perlu diketahui oleh Kemendiknas adalah bahwa program “SBI” semacam ini TELAH DIPRAKTEKKAN di negara-negara lain dan ternyata GAGAL. Sudah selayaknya bahwa kita belajar dari kegagalan orang lain dan tidak perlu harus melakukan kesalahan yang sama dan terperosok di lobang yang sama dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain. Baca hasil studi Hywell Coleman dan John Clegg dari British Council tentang penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di negara-negara lain dan hasil yang diperolehnya.
Negara Malaysia telah lebih dahulu membuat program semacam ini dan program “SBI” di Malaysia telah GAGAL. Pengalaman negara Malaysia dengan program pengajaran sains dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia dengan menggunakan bahasa pengantar bhs Inggris[disebut PPSMI] yang telah dimulai sejak tahun 2003 dan akan dihentikan pada 2012 nanti karena dianggap GAGAL. Dari satu hasil riset skala besar yang melibatkan pakar dari sembilan universitas negeri di Malaysia dan lebih dari 15 ribu siswa, PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Jadi alih-alih akan meningkatkan mutu pembelajaran Matematika dan IPA yang terjadi justru sebaliknya. Yang terjadi adalah kemerosotan kualitas pembelajaran MIPA pada siswa. Jadi sungguh salah besar jika kita justru akan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh negara Malaysia.
KESALAHAN ASUMSI (LAGI)
* Ketujuh, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional.Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bhs Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)?
PROSES, DAN BUKAN ALAT
* Kedelapan, Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Sekolah-sekolah di Amerika sendiri sampai saat ini masih menggunakan papan tulis dan kapur (bukan spidol). Program SBI ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.
Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang berorientasikan pada proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.
PENDIDIKAN BERMUTU BUKAN HANYA UNTUK ANAK CERDAS BERBAKAT
* Kesembilan, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.
BERTARAF INTERNASIONAL HANYA 2%?
Lagipula, jika kita menganggap bahwa sekolah-sekolah SBI-lah sekolah yang nantinya akan dianggap bertaraf internasional dan SETARA dengan sekolah-sekolah di negara maju maka itu sama artinya dengan menyatakan bahwa hanya 2% dari sekolah kita yang mutunya setara dengan sekolah-sekolah mereka. Ini jelas ‘menghinakan’ sistem pendidikan kita dan program SBI ini jelas merendahkan sistem pendidikan kita secara nasional.
SBI = PEMBOHONGAN PUBLIK
Kesepuluh, dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggungjawab pemerintah yang mengeluarkan program ini. Saat ini sudah banyak keluhan dan gugatan akan kualitas sekolah RSBI ini dan hal tersebut akan semakin banyak dan pada suatu saat akan mencapai kulminasinya. Kemendiknas sebaiknya segera mengambil langkah preventif sebelum kekecewaan masyarakat memuncak. Terlebih lagi bahwa para orang tua siswa RSBI adalah dari kelompok kalangan menengah ke atas yang kritis dan mampu menggalang pengaruh.
MENCIPTAKAN KESENJANGAN SOSIAL
* Kesebelas, Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Sekolah publik TIDAK boleh berprilaku seperti sekolah swasta.
Hal ini juga akan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dalam hati para orang tua kalangan bawah yang tidak mampu masuk ke dalam sekolah eksklusif ini. Mereka akan merasa sengaja dipinggirkan dalam sebuah sistem pendidikan yang dianggap ‘terbaik’ dan yang akan menjamin masa depan anak-anak mereka. Kekecewaan dan rasa frustrasi yang menumpuk akan dapat meledak jika telah mencapai kulminasinya juga.

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
* Keduabelas, Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial.
BERTARAF INTERNASIONAL UJIANNYA NASIONAL?
* Ketigabelas, Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan sebuah istilah ‘bertaraf internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi bagaimana sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam sebuah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai standar tertinggi?
* Selain itu, Meski menyandang nama ‘bertaraf internasional’ tapi siswanya masih harus ikut ujian nasional. Alangkah ganjilnya jika sebuah sekolah yang bertaraf INTERNASIONAL tapi kemudian masih harus mengikuti sebuah UJIAN NASIONAL!
Tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti DUA SISTEM UJIAN yang berbeda (nasional dan internasional) karena itu SANGAT MEMBERATKAN guru dan siswa serta tidak bermanfaat
BAGAIMANA DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 9 TAHUN?
* Keempat belas, Pemerintah telah menetapkan Wajib Belajar 9Tahun sebagai programnya. Maka sebagai konsekuensinya SEMUA pembiayaan pendidikan bagi siswa mulai dari pendidikan dasar maupun menengah HARUS dipenuhinya dan tidak boleh ada pungutan pada siswa. Pungutan pada orang tua siswa, meski melalui komite, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas itu sendiri.
Pasal yang memuat aturan tentang diperbolehkannya pungutan bagi siswa sekolah bertaraf internasional HARUS DIAMANDEMEN karena bertentangan satu sama lain.
SISWA BUKAN GLADIATOR!
* Kelimabelas, salah satu tujuan dari dicetuskannya program SBI ini adalah agar pendidikan kita mampu menelurkan siswa-siswa yang akan mampu mewakili dan mampu menjadi pemenang dalam berbagai olimpiade bidang studi dan adu kecerdasan tingkat regional dan internasional. Ini jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri dan sama artinya dengan membuat sekolah-sekolah gladiator yang akan menghasilkan para gladiator untuk diadu ke sana kemari demi menutupi kelemahan sistem pendidikan pemerintah secara umum.
Ini bisa dianggap sebagai penyalahgunaan tujuan pendidikan atau education abuse. Pendidikan berfungsi untuk menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya dan bukan untuk menjadi gladiator di bidang ilmu pengetahuan.
APA GANTINYA?
* Program SBI jelas salah konsep, tidak sesuai dengan semangat nasionalisme, dan tidak sesuai untuk semua kalangan. Untuk itu bangsa kita hanya memerlukan SATU standar yaitu SSN (Sekolah Standar Nasional) yg bermutu tinggi dan GRATIS. Pemerintah perlu mengembangkan SSN menjadi sebuah standar pendidikan yang terbaik yang bisa dicapai oleh bangsa Indonesia. Kita tidak memerlukan LABEL ‘internasional’ untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
HENTIKAN PROGRAM SBI
* Mari kita hentikan program SBI yang konsepnya asal-asalan ini karena justru akan merugikan kualitas pendidikan kita. Program ini tidak akan mungkin berhasil meski diguyur dengan dana seberapa pun dan dalam jangka waktu berapa pun karena memang sudah SALAH DESAIN dan juga telah TERBUKTI GAGAL di negara lain. Dalam prakteknya program SBI ini juga mengkhianati rakyat kecil yang justru lebih membutuhkan pendanaan dan perhatian yang lebih besar ketimbang anak-anak cerdas kita. Anak-anak cerdas kita SELALU bisa menunjukkan kehebatan maupun kompetensinya di mana pun dan kapan pun tanpa harus dijadikan ‘gladiator’ di sekolah.

Jakarta, 19 Juli 2010
Satria Dharma
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI)