Har Magazine official website | Members area : Register | Sign in

UMKM Primadona Ekonomi Indonesia

Thursday, March 31, 2011

55% (lima puluh lima prosen) Pendapatan Perkapita dan Pendapatan Nasional Indoneisa di sumbangkan oleh sektor UMKM

1297139512867874931

Aldy, pemilik usaha katering & percetakan (elha.doc)

—oooOooo—

UMKM tentu bukan kata yang asing ditelinga kita. UMKM merupakan salah satu barometer perekonomian nasional. Pengusaha kecil, wiraswastawan, wirausahawan serta pedagang-pedagang kecil masuk dalam kelompok ini.

Ketika krisis ekonomi meluluh-lantakan ekonomi Indonesia pada tahun 1997 -1998, banyak pengusaha besar -tak terkecuali para konglomerat– yang gulung tikar. Sebagian pengusaha menengah juga kolaps. Bahkan sektor perbankan yang menjadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi nasional turut ‘ambruk’, khususnya bank-bank swasta nasional kecil yang berelaborasi dengan group usahanya.

Bagaimana dengan UMKM?

UMKM, khususnya Usaha Kecil dan Mikro tetap bertahan hidup. Bahkan diantarnya mampu menembus pasar yang selama ini ‘dikuasai’ kalangan atas. Konon kabarnya di salah satu wilayah di Timur Indonesia, pelaku UKM melemparkan ‘joke’ seandainya Indonesia teus berada dalam suasana krisis……..

Tahun 2009 - 2010, saat dunia dihebohkan oleh resesi ekonomi yang bermula dari ‘krisis mortgage’ di Amerika, Indonesia terkena imbasnya. Krisis keuangan yang bermula dari ‘batuknya’ pasar saham di Negeri Uncle Sam, dalam waktu cepat menggoyang ekonomi dunia. Bursa saham rontok. Bursa Efek Indonesia, BEI-pun melakukan suspend perdagangan setelah menyaksikan terjungkalnya harga saham hingga menurunkan point Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 10%.

Sektor Perbankan lagi-lagi menjadi korban. Sektor yang menjadi penyalur, perantara serta receiver dana pembangunan ini ikut terpuruk bersama sektor lainnya seperti pertanian, pertambangan, perindustrian dan telekomunikasi.

Bagaimana dengan UMKM?

Sektor ini, khususnya Mikro dan usaha Kecil kembali mendemonstrasikan eksistensinya. Usaha Kecil dan Mikro mampu bertahan hidup dan nyaris tak terpengaruh oleh dampak krisis ekonomi dunia. Termasuk ketika nilai rupiah (Rp) anjlok ke posisi Rp. 11.000/ USD 1.

Keunggulan UKM

Pemerintah seolah tak berkedip melihat dengan nyata bahwa sektor yang selama ini menjadi ‘anak kedua’ dari tulang punggung ekonomi Indonesia mampu betahan dan berkembang diterpa badai krisis. Hatta krisis ekonomi yang mendunia (meski belum menjadi malaise) yang meluluhkan pasar ekonomi negara adidaya.

Banyak pengamat dan praktisi yang meneliti serta menteorikan bahwa keberhasilan Usaha Kecil dan Mikro yang terus bertahan dan berkembang antara lain dikarenakan :

  1. Pengusaha dan pengelola yang bergerak di bidang ini sebagian besar tidak memiliki hutang perbankan.
  2. Sektor Usaha Kecil dan Menengah tak memiliki tanggungan hutang Luar Negeri
  3. UMKM dapat dipastikan tidak melakukan transaksi via Bills Payment yang menggunakan kontrak kerja dan Letter of Credits, kecuali sedikit.
  4. Tidak menggunakan Mata Uang Asing sebagai alat pembayaran, baik sebagai Bank Notes ataupun Payment, kecuali sedikit.

    12971400291328719768

    Bubur Mang Toha di Cirebon, mampu bertahan dari terjangan krisis (elha.doc)

(berdasarkan data, hanya 8,8 % UKM yang berhubungan langsung dengan pihak LN, atau dapat dikatakan hanya 8,8% yang menggunakan perantara Valas atau LC)

Efeknya, seburuk apapun kinerja Bank di Indonesia dan sebesar apapun kondisi keuangan yang melanda sektor perbankan, Usaha Kecil dan Menengah tak terkena imbasnya. Bahkan negara sekelas Amerika jatuh karena hantaman Loan Performing dan Motgage yang berimbas pada Perbankan dan Bursa Dunia, sektor ini juga tak terjebak dalam lingkup krisis tersebut.

Keunggulan dan kekuatan daya hidup UMKM inilah yang kemudian mampu membuka mata dunia, khususnya Indonesia untuk menjadikannya sebagai PRIMADONA baru dalam perekonomian nasional.

Berdasarkan data yang dilansir dari Departemen Koperasi dan UKM dapat diketahui bahwa jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada tahun 2008 sebesar 51,26 juta unit, atau meningkat 1,44 juta dibandingkan dengan tahun 2007 yang baru mencapai angka 49,82 juta unit

Dari angka tersebut, 99% adalah usaha mikro, yaitu usaha yang memiliki kekayaan bersih s.d Rp. 50 juta dan memiliki nilai penjualan s.d Rp. 300 juta/tahun. Artinya dari 51,26 juta unit UMKM, sebanyak 50,75 juta unit adalah usaha mikro.

Data terbaru dari Kamar Dagang & Industri Indonesia (Kadin), UMKM mampu menyumbangkan 53% dari Produk Domestik Buro (PDB) tahun 2009. Mengalahkan usaha besar dan asing yang ada di Indonesia….Bukankah PDB melibatkan usaha Asing…??

Data ini menunjukkan betapa sector informasi cukup mendominasi mata pencaharian penduduk Indonesia. Bila dirata-ratakan setiap unit usaha mikro (diluar usaha kecil dan menengah) dikelola oleh dua orang, maka jumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya pada usaha ini mencapai angka 101,5 juta jiwa. Belum terhitung anak dan atau anggota keluarga yang menjadi salah satu konsideran dari usaha ini.

Bagaimana dengan usaha kecil dan menengahnya?

Dari data yang sama dapat ditrasir bahwa usaha kecil, yang memiliki kekayaan bersih antara Rp. 50 juta s.d Rp. 500 juta dan dengan nilai penjualan berkisar antara Rp. 300 juta s.d Rp. 2,5 milyar/tahun mencapai angka 520 ribu unit. Sedangkan usaha menengah mencapai angka 40 ribu unit. (kategori usaha menengah adalah usaha yang memiliki nilai kekayaan bersih antara Rp. 500 juta hingga Rp. 10 milyar dan dengan penjualan > Rp. 2,5 milyar s,d Rp. 50 milyar / tahun)

Artinya, meski UMKM Indonesia terbilang besar, namun omzet penjualannya masih relatif kecil, atau dapat dibilang unit usahanya adalah usaha yang kecil-kecil.

Pendapatan Perkapita

Dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2008, sektor UMKM mencapai angka Rp 2.609 trilun, di mana sebesar Rp 1.505 triliun di antaranya disumbangkan oleh unit-unit usaha mikro. Artinya Usaha Kecil dan Menengah hanya menyumbangkan sebesar Rp. Rp. 1.104 trilyun saja.

Sementara bila dibandingkan dengan usaha besar pada PDB tahun yang sama, sektor UMKM memiliki nilai 125% atau 55% dari seluruh PDB pada periode tersebut. Dapat dibayangkan, 55% Pendapatan perkapita atau pendapatan nasional Indonesia disumbangkan oleh UMKM. Sangat beralasan bila sektor ini kemudian menjadi primadona untuk menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

1297140215744552085

Mampu menciptakan peluang (photo peluangusaha-oke.com)

Data terbaru dari Kamar Dagang & Industri Indonesia (Kadin), UMKM mampu menyumbangkan 53% dari Produk Domestik Buro (PDB) tahun 2009. Mengalahkan usaha besar dan asing yang ada di Indonesia….Bukankah PDB melibatkan usaha Asing…??

Bagaimana dengan prospek pertumbuhan UMKM di Indonesia?

Meski mendominasi ekonomi Indonesia, employee yang bergerak dalam bidang ini sangat minim pengetahuan, informasi dan teknologi, sehingga pergerakan kemajuannya realtif tidak terlalu tinggi.

Menurut salah seorang Branch Manager Usaha Mikro pada salah satu Bank Terbesar di Tanah Air, sangat sedikit pengelola Usaha Mikro yang mengerti Teknologi Internet. Apalagi untuk usaha yang menjual produk makanan rumahan seperti Gado-gado, ketoprak, Nasi Uduk dan lain-lain.

Tidak ada jalan lain untuk menumbuhkan ekonomi UMKM (baca Mikro) berikut pengelolanya, selain meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan informasi, jaring komunitas dan penyuluhan terpadu. Termasuk sosialisasi teknologi seperti internet, email dan sarana komunikasi lainnya

Salam ekonomi Indonesia

elha / pengamat ekonomi pinggiran

financial planner

www.jangankedip.blogspot.com

Model ARCS Keller

Sunday, March 20, 2011

By hamoraon
guru23 Salah satu permasalahan pokok dalam proses pembelajaran saat ini yaitu kesulitan siswa dalam menerima, merespon, serta mengembangkan materi yang diberikan oleh guru. pembelajaran konvensional yang selama ini berpusat pada guru terkesan merugikan siswa terutama siswa yang berkemampuan rendah. siswa terlihat cenderung jenuh dalam pembelajaran dan kurangnya motivasi untuk belajar. untuk itu, maka perlu kiranya sekolah mengembangkan suatu model pembelajaran yang mampu memotivasi siswa.
Saat ini telah banyak muncul model-model pembelajaran hasil karya para filosof pendidikan. salah satunya model pembelajaran ARCS (attention, relevance, confidence, dan satisfaction).
Model pembelajaran ARCS merupakan suatu bentuk pendekatan pemecahan masalah untuk merancang aspek motivasi serta lingkungan belajar dalam mendorong dan mempertahankan motivasi siswa untuk belajar (Keller, 1987). Model pembelajaran ini berkaitan erat dengan motivasi siswa terutama motivasi untuk memperoleh pengetahuan yang baru.
Menurut Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (2008:28) motivasi sangat penting dalam belajar karena motivasi dapat mendorong siswa mempersepsi informasi dalam bahan ajar. Sebagus apa pun rancangan bahan ajar, jika siswa tidak termotivasi maka tidak akan terjadi peristiwa belajar karena siswa tidak akan mempersepsi informasi dalam bahan ajar tersebut. Sebagai upaya meningkatkan motivasi belajar siswa guna meningkatkan prestasi/hasil belajar siswa khususnya dalam mata pelajaran akuntansi dengan pokok bahasan jurnal umum, maka penerapan model pembelajaran ARCS ini sangat efektif dipergunakan karena model pembelajaran ARCS ini disesuaikan dengan kebutuhan ataupun minat siswa.
ARCS sendiri adalah akronim dari bentuk sikap siswa yakni attention (perhatian), relevance (relevansi), confidence (percaya diri), dan satisfaction (kepuasan). Jadi, penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran ARCS adalah suatu bentuk pembelajaran yang mengutamakan perhatian siswa, menyesuaikan materi pembelajaran dengan pengalaman belajar siswa, menciptakan rasa percaya diri dalam diri siswa, dan menimbulkan rasa puas dalam diri siswa tersebut. Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori dan pengalaman nyata intsruktur sehinga mampu membangkitkan semangat belajar siswa secara optimal dengan memotivasi diri siswa sehingga didapatkan hasil belajar yang optimal. Menurut Awoniyi, dkk (1997:30) model pembelajaran ARCS ini mempunyai kelebihan yaitu sebagai berikut:
  1. Memberikan petunjuk: aktif dan memberi arahan tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa
  2. Cara penyajian materi dengan model ARCS ini bukan hanya dengan teori yang penerapannya kurang menarik
  3. Model motivasi yang diperkuat oleh rancangan bentuk pembelajaran berpusat pada siswa
  4. Penerapan model ARCS meningkatkan motivasi untuk mengulang kembali materi lainnya yang pada hakekatnya kurang menarik
  5. Penilaian menyeluruh terhadap kemampuan-kemampuan yang lebih dari karakteristik siswa-siswa agar strategi pembelajaran lebih efektif
Selanjutnya Awoniyi, dkk (1997:31) menjelaskan bahwa selain mempunyai kelebihan, model pembelajaran ARCS ini juga mempunyai kekurangan. Kekurangan model pembelajaran ARCS ini yaitu:
  1. Hasil afektif siswa sulit dinilai secara kuantitatif
  2. Perkembangan secara berkesinambungan melalui model ARCS ini sulit dijadikan penilaian
2.3.2 Komponen Model Pembelajaran ARCS
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, model pembelajaran ARCS terdiri dari empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran ARCS tersebut yaitu sebagai berikut:
A.  Attention (perhatian)
Perhatian adalah bentuk pengarahan untuk dapat berkonsultasi/ pemusatan pikiran  dalam menghadapi siswa dalam peristiwa proses belajar mengajar di kelas.
Perhatian dapat berarti sama dengan konsentrasi, dapat pula menunjuk pada minat ”momentain” yaitu perasaan tertarik pada suatu masalah yang sedang dipelajari (WS. Winkel, 100).
Konsentrasi/perasaan siswa dan minat dalam belajar bisa dilihat dari siswa yang perasaannya senang akan membantu dalam konsentrasi belajarnya dan sebaliknya siswa dalam kondisi tidak senang maka akan kurang berminat dalam belajarnya dan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi terhadap pelajaran yang sedang berlangsung.
Gangguan belajar siswa ini biasanya bersumber  dari dua faktor yaitu faktor eksternel dan faktor internal. Faktor internal yaitu faktor dari luar diri siswa dan faktor internal yaitu faktor yang timbul dari dalam diri siswa. Perhatian diharap dapat menimbulkan minat yaitu kecenderungan subjek yang menetap untuk merasa tertarik pada pelajaran/pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu yang baru dan dapat berperan positif dalam proses belajar mengajar selanjutnya.
Menurut Keller (1987) strategi untuk menjaga dan meningkatkan perhatian siswa yaitu sebagai berikut:
1)      Gunakan metode penyampaian dalam proes pembelajaran yang bervariasi (kelas, diskusi kelompok, bermain peran, simulasi, curah pendapat, demontrasi, studi kasus).
2)      Gunakan media (media pandang, audio, dan visual) untuk melengkapi penyampaian materi pembelajaran.
3)      Bila merasa tepat gunakan humor dalam proses pembelajaran.
4)      Gunakan peristiwa nyata, dan contoh-contoh untuk memperjelas konsep yang digunakan.
5)      Gunakan teknik bertanya untuk melibatkan siswa.






B.   Relevance (relevan)
Relevance yang dimaksud di sini dapat diartikan sebagai keterkaitan atau kesesuaian antara materi pembelajaran yang disajikan dengan pengalaman belajar siswa. Dari keterkaitan atau kesesuaian ini otomatis dapat menumbuhkan motivasi belajar di dalam diri siswa karena siswa merasa bahwa materi pelajaran yang disajikan mempunyaai manfaat langsung secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari siswa. Motivasi siswa akan bangkit dan berkembang apabila mereka merasakan bahwa apa yang dipelajari itu memenuhi kebutuhan pribadi, bermanfaat serta sesuai dengan nilai yang diyakini atau dipegangnya.suciati dan udin syarifuddin winatasyaputra (R. Angkowo dan A. Kosasi, 2007:40-41) mengemukaan bahwa strategi untuk menunjukan relevensi adalah sebagai berikut:
1)      Sampaikan kepada siswa apa yang dapat mereka peroleh dan lakukan setelah mempelajari materi pembelajaran ini bearti guru harus menjelaskan tujuan intruksional.
2)      Jelaskan manfaat pengetahuan, keterampilan atau sikap serta nilai yang akan dipelajari dan bagaimana hal tersebut dapat diaplikasikan dalam pekerjaan dan kehidupan nanti.
3)      Berikan contoh, latiha atau tes yang lansung berhubungan dengan kondisi siswa.
  1. Confidence (percaya diri)
Demi membangkitkan kesadaran yang kuat di dalam proses belajar mengajar siswa yang selama ini lebih banyak dikuasai guru (teacher’s centered) dan lebih memproduk penghafal kata-kata bukan pada kemampuan bagaimana belajar dan akhirnya setelah siswa tamat tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak ada kemampuan “problem solving” di tengah masyarakat yang plural heterogen dan banyak masalah, maka guru harus menggunakan strategi yang efektif.
Menurut Keller (1987) strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa adalah sebagai berikut:
1)      Meningkatkan harapan siswa untuk berhasil dengan memperbanyak pengalaman siswa, misal dengan menyusun materi pembelajaran agar dengan mudah difahami, di urutkan dari materi yang mudah ke sukar. Dengan demikian, siswa  merasa mengalami keberhasilan sejak awal proses pembelajaran.
2)      Susunlah kegiatan pembelajaran ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, sehingga siswa tidak dituntut untuk mempelajari terlalu banyak konsep baru dengan sekaligus.
3)      Meningkatkan harapan untuk berhasil, hal ini dapat dilakukan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan kriteria tes pada awal pembelajaran. Hal ini akan membantu siswa mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang diharapkan.
4)      Meningkatkan harapan untuk berhasil dengan menggunakan strategi yang memungkinkan kontrol keberhasilan di tangan siswa sendiri.
5)      Tumbuh kembangkan kepercayaan diri siswa dengan menganggap siswa telah memahami konsep ini dengan baik serta menyebut kelemahan siswa sebagai hal-hal yang masih perlu dikembangkan.
6)      Berilah umpan balik yang relevan selama proses pembelajaran agar siswa mengetahui pemahaman dan prestasi belajar mereka sejauh ini
  1. Satisfaction (kepuasan)
Kepuasan yang dimaksud di sini adalah perasaan gembira, perasaan ini dapat menjadi positif yaitu timbul kalau orang mendapatkan penghargaan terhadap dirinya. Perasaan ini dapat meningkat kepada perasaan percaya diri siswa nantinya dengan membangkitkan semangat belajar diantaranya dengan:
1)      Mengucapkan “baik”, “bagus” dan seterusnya bila peserta didik menjawab /mengajukan pertanyaan.
2)      Memuji dan memberi dorongan, dengan senyuman, anggukan dan pandangan yang simanatik atas partisipasi siswa.
3)      Memberi tuntunan pada siswa agar dapat memberi jawaban yang benar.
4)      Memberi pengarahan sederhana agar siswa memberi jawaban yang benar.
(Keller, 1987)
2.3.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran ARCS
Adapun langkah-langkah model pembelajaran ARCS adalah sebagai berikut:
1)      Mengingatkan kembali siswa pada konsep yang telah dipelajari
Pada langkah ini, guru menarik perhatian siswa dengan cara mengulang kembali pelajaran atau materi yang telah dipelajari siswa dan mengaitkan materi tersebut dengan materi pelajaran yang akan disajikan. Dengan cara ini, siswa akan merasa tertarik serta termotivasi untuk memperoleh pengetahuan yang baru yaitu materi pelajaran yang akan disajikan.
2)      Menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran (R)
Pada langkah ini, guru mendeskripsikan tujuan dan manfaat pembelajaran yang akan disajikan. Penyampaian tujuan dan manfaat pembelajaran ini dapat dilakukan dengan cara yang bervariasi tapi masih tetap mengacu pada prinsip perbedaan individual siswa sehingga keseluruhan siswa dapat menangkap tujuan dan manfaat pembelajaran yang akan disajikan serta dapat mengetahui hubungan atau keterkaitan antara materi pembelajaran yang disajikan dengan pengalaman belajar siswa tersebut.
3)      Menyampaikan materi pelajaran (R)
Pada langkah ini, guru menyampaikan materi pembelajaran secara jelas dan terperinci. Penyampaian materi ini dilakukan dengan cara atau strategi yang dapat memotivasi siswa yaitu dengan cara menyajikan pembelajaran tersebut dengan menarik sehingga dapat menumbuhkan atau menjaga perhatian siswa; memberikan keterkaitan antara materi pembelajaran yang disajikan dengan pengalaman belajar siswa ataupun berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa; menumbuhkan rasa percaya diri siswa dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, memberikan tanggapan, ataupun mengerjakan soal/latihan; dan menciptakan rasa puas di dalam diri siswa dengan cara memberikan penghargaan atas kinerja atau hasil kerja siswa.
4)      Menggunakan contoh-contoh yang konkrit (A dan R)
Pada langkah ini, guru memberikan contoh-contoh yang nyata serta ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Adapun manfaat yang didapatkan dari penggunaan contoh yang konkrit ini adalah siswa mudah memahami materi yang disajikan dan mudah mengingat materi tersebut. Tujuan penggunaan contoh yang konkrit ini adalah untuk menumbuhkan atau menjaga perhatian siswa (attention) dan memberikan kesesuaian antara pembelajaran yang disajikan dengan pengalaman belajar siswa ataupun kehidupan sehari-hari siswa (relevance).
5)      Memberi bimbingan belajar (R)
Pada langkah ini, guru memotivasi dan mengarahkan siswa agar lebih mudah dalam memahami materi pembelajaran yang disajikan. Secara langsung, langkah ini dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa sehingga siswa tidak merasa ragu dalam memberikan respon ataupun mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan oleh guru. Pemberian bimbingan belajar ini juga bermanfaat bagi siswa-siswa yang lambat dalam memahami suatu materi pembelajaran sehingga siswa-siswa tersebut merasa termotivasi untuk memahami materi pembelajaran yang disajikan.
6)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi dalam pembelajaran (C dan S)
Pada langkah ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, menanggapi, ataupun mengerjakan soal-soal mengenai materi pembelajaran yang disajikan. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi ini, siswa akan berkompetensi secara sehat dan aktif dalam mengikuti pembelajaran. Pemberian kesempatan kepada siswa untuk berparisipasi dalam pembelajaran ini juga dapat menumbuhkan ataupun meningkatkan rasa percaya diri siswa dan akhirnya juga dapat menimbulkan rasa puas di dalam diri siswa karena merasa ikut terlibat dalam proses pembelajaran tersebut.
7)      Memberi umpan balik (S)
Pada langkah ini, guru memberikan suatu umpan balik yang tentunya dapat merangsang pola berfikir siswa. Setelah pemberian umpan balik ini, siswa secara aktif menanggapi feedback dari guru tersebut. Pemberian feedback ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan menimbulkan rasa puas dalam diri siswa.
8)      Menyimpulkan setiap materi yang telah disampaikan di akhir pembelajaran (S)
Pada langkah ini, guru menyimpulkan materi pembelajaran yang baru saja disajikan dengan jelas dan terperinci. Langkah ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk membuat kesimpulan tentang materi yang baru mereka pelajari dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Secara tidak langsung, langkah ini dapat menciptakan rasa puas di dalam diri siswa.

Pendidikan karakter dalam dunia pendidikan

Oleh : SUWARDI LUBIS *)
image Dunia pendidikan kita masa kini menghadapi persoalan kualitas pendidikan. Contoh yang paling sering dijadikann wacana adalah perbandingan kondisi pendidikan Indonesia dan Malaysia. Kalau dulu orang Malaysia banyak belajar ke negeri kita, sekarang justru sebaliknya orang Indonesia yang menimba ilmu ke Malaysia.
Berbagai pendapat menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Salah satu penyebabnya tidak efektifnya pendidikan, disebutkan karena  tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan penyebab masalah tidak efisiennya pendidikan disebutkan sebagai  mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan serta mutu pegajar.
Masalah yang terjadi ini bukan tanpa upaya mencari solusinya. Berbagai kebijakan pemerintah telah dijalankan untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih baik. Misalnya dengan menerapkan kompetensi pendidikan tertentu atau model pendidikan karakter. Kemudian ada kebijakan standarisasi pendidikan. Kebijakan ini ditandai dengan dibentuknya badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)
Di sisi lain, persoalan kemiskinan juga berdampak pada masalah pendidikan. Di samping tentunya persoalan-persoalan lain seperti kualitas pengajaran, sistim pendidikan dan lainnya, kesenjangan ekonomi akan melahirkan apa yang disebut social deprivation atau seperti disebutkan David Myers (1998) sebagai; perception that one is worse off relative to those with whom one compares oneself. Seseorang yang mengalami suatu kondisi buruk dan membandingkan dengan kondisi orang lain yang lebih baik, maka kondisi yang terjadi adalah lebih buruk lagi.
Inilah yang terjadi ketika anak-anak dari keluarga miskin menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya yang hidup enak dengan menikmati berbagai kemewahan.  Kondisi inilah yang disebut dengan depripasi sosial itu.
Deprivasi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat  individualistis seperti di daerah perkotaan. Bila relasi sosial antarwarga masyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap egosentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas.
Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi mental dan psikologis seorang peserta didik. Di bangku sekolah yang seharusnya mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal: kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal), bisa terkendala hambatan depripasi sosial itu.
Kemampuan dasar itu mestinya bisa berlangsung optimal karena sangat penting bagi proses perkembangan jenjang pendidikan anak. Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia. Namun hambatan yang terjadi akan menyebabkan seorang anak tidak akan menjadi seperti yang diharapkan.
Indikator keberhasilan
Salah satu upaya mengentaskan masalah pendidikan di Indonesia seperti disinggung di atas adalah dengan menerapkan pendidikan karakter. Upaya ini malah telah menjadi trend dan isu penting dalam sistim pendidikan kita.  Upaya ini merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter itu sendiri adalah suatu sistim penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) memberikan definisi pendidikan karakter: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Kemudian dijelaskan dalam buku panduan Pembinaan Pendidikan Karakter  di Sekolah Menengah Pertama, bahwa sejumlah indikator keberhasilan program pendidikan karakter  oleh peserta didik, di antaranya mencakup: 1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan sikap percaya diri; 4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas; 5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional; 6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif; 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; 10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; 12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; 13. Menghargai karya seni dan budaya nasional; 14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; 15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik; 16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; 17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; 18. Menghargai adanya perbedaan pendapat; 19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; 20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; 21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; 22. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Melihat kompleksnya indikator keberhasilan pendidikan karakter ini, tentunya bukan hal yang mudah untuk mengimplementasikannya. Tapi tentu saja jika indikator keberhasilan ini benar-benar bisa tercapai maka hal tersebut adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Penutup

Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya.
*) Penulis adalah Dosen USU dan STIK-P Medan

Pendidikan karakter dalam dunia pendidikan

Oleh : SUWARDI LUBIS *)
image Dunia pendidikan kita masa kini menghadapi persoalan kualitas pendidikan. Contoh yang paling sering dijadikann wacana adalah perbandingan kondisi pendidikan Indonesia dan Malaysia. Kalau dulu orang Malaysia banyak belajar ke negeri kita, sekarang justru sebaliknya orang Indonesia yang menimba ilmu ke Malaysia.
Berbagai pendapat menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Salah satu penyebabnya tidak efektifnya pendidikan, disebutkan karena  tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan penyebab masalah tidak efisiennya pendidikan disebutkan sebagai  mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan serta mutu pegajar.
Masalah yang terjadi ini bukan tanpa upaya mencari solusinya. Berbagai kebijakan pemerintah telah dijalankan untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih baik. Misalnya dengan menerapkan kompetensi pendidikan tertentu atau model pendidikan karakter. Kemudian ada kebijakan standarisasi pendidikan. Kebijakan ini ditandai dengan dibentuknya badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)
Di sisi lain, persoalan kemiskinan juga berdampak pada masalah pendidikan. Di samping tentunya persoalan-persoalan lain seperti kualitas pengajaran, sistim pendidikan dan lainnya, kesenjangan ekonomi akan melahirkan apa yang disebut social deprivation atau seperti disebutkan David Myers (1998) sebagai; perception that one is worse off relative to those with whom one compares oneself. Seseorang yang mengalami suatu kondisi buruk dan membandingkan dengan kondisi orang lain yang lebih baik, maka kondisi yang terjadi adalah lebih buruk lagi.
Inilah yang terjadi ketika anak-anak dari keluarga miskin menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya yang hidup enak dengan menikmati berbagai kemewahan.  Kondisi inilah yang disebut dengan depripasi sosial itu.
Deprivasi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat  individualistis seperti di daerah perkotaan. Bila relasi sosial antarwarga masyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap egosentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas.
Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi mental dan psikologis seorang peserta didik. Di bangku sekolah yang seharusnya mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal: kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal), bisa terkendala hambatan depripasi sosial itu.
Kemampuan dasar itu mestinya bisa berlangsung optimal karena sangat penting bagi proses perkembangan jenjang pendidikan anak. Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia. Namun hambatan yang terjadi akan menyebabkan seorang anak tidak akan menjadi seperti yang diharapkan.
Indikator keberhasilan
Salah satu upaya mengentaskan masalah pendidikan di Indonesia seperti disinggung di atas adalah dengan menerapkan pendidikan karakter. Upaya ini malah telah menjadi trend dan isu penting dalam sistim pendidikan kita.  Upaya ini merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter itu sendiri adalah suatu sistim penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) memberikan definisi pendidikan karakter: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Kemudian dijelaskan dalam buku panduan Pembinaan Pendidikan Karakter  di Sekolah Menengah Pertama, bahwa sejumlah indikator keberhasilan program pendidikan karakter  oleh peserta didik, di antaranya mencakup: 1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan sikap percaya diri; 4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas; 5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional; 6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif; 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; 10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; 12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; 13. Menghargai karya seni dan budaya nasional; 14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; 15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik; 16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; 17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; 18. Menghargai adanya perbedaan pendapat; 19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; 20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; 21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; 22. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Melihat kompleksnya indikator keberhasilan pendidikan karakter ini, tentunya bukan hal yang mudah untuk mengimplementasikannya. Tapi tentu saja jika indikator keberhasilan ini benar-benar bisa tercapai maka hal tersebut adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Penutup

Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya.
*) Penulis adalah Dosen USU dan STIK-P Medan

Teori Belajar Konstruktivisme

Saturday, March 19, 2011

Oleh : Dr. Hamzah, M.Ed.
A.Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
*) Dr. Hamzah, M.Ed. adalah dosen pada FMIPA Universitas Negeri Makassar

MULTIPLE INTELEGENSI (KECERDASAN MAJEMUK)

TEORI MULTIPLE INTELEGENSI (KECERDASAN MAJEMUK) DALAM PEMBELAJARAN
A. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba mengakomodasi kebutuhan siswa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta yang mulai melirik dunia pendidikan dalam mengembangkan usahanya. Sarana untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih dirasakan sangat kurang dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan.
Hal ini terlihat dengan semakin menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi. Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas adalah masih banyaknya sekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak, bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi.
Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut, di atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musical, visual-spatial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Kompas, 6 Agustus 2003). Jenisjenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner padan tahun 1983. Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orangorang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orangorang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain.
Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Insan Kancil (Kompas, 13 Oktober 2003), pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah Dasar. Sekitar 99 persen, Taman Kanak-Kanak mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Artinya, pendidikan Taman Kanak-Kanak telah menekankan pada kecerdasan akademik, tanpa menyeimbanginya dengan kecerdasan lain. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh guru-guru masih tetap mementingkan akan kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Menurut Moleong, dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), guru dan orang tua hendaknya bersinergi dalam mengembangkan berbagai jenis kecerdasan, terutama terhadap anak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak gagap dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Anak-anak usia 0 – 8 tahun harus diperkenalkan dengan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences). Guru hendaknya tidak terjebak pada kecerdasan logika semata.
Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003). Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika (matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerjasama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan?
Kecerdasan (Inteligensi) secara umum dipahami pada dua tingkat yakni : Kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi pencapaian sasaran yang lebih baik dari orang yang kurang cerdas. Artinya orang yang cerdas mestinya lebih sukses dari orang yang kurang cerdas. Yang sering membingungkan ialah kenyataan adanya orang yang kelihatan tidak cerdas (sedikitnya di sekolah) kemudian tampil sukses, bahkan lebih sukses dari dari rekan-rekannya yang lebih cerdas, dan sebaliknya.
Prestasi seseorang ditentukan juga oleh tingkat kecerdasannya (Inteligensi). Walaupun mereka memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan orang tuanya memberi kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan prestasinya, tetapi kecerdasan mereka yang terbatas tidak memungkinkannya untuk mencapai keunggulan. Tingkat Kecerdasan Tingkat kecerdasan (Intelegensi) bawaan ditentukan baik oleh bakat bawaan (berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh faktor lingkungan (termasuk semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh seseorang; terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan mempunyai dampak kuat terhadap kecersan seseorang). Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kemampuan untuk berpikir abstrak.
2. Untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar.
3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
Perumusan pertama melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir. Perumusan kedua sebagai kemampuan untuk belajar dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ketiga-tiganaya menunjukkan aspek yang berbeda dari intelegensi, namun ketiga aspek tersebut saling berkhaitan. Keberhasilan dalam menyesuaikan diri seseorang tergantung dari kemampuannya untuk berpikir dan belajar. Sejauhmana seseorang dapat belajar dari pengalaman-pengalamannya akan menentukan penyesuaian dirinya. Ungkapan-ungkapan pikiran, cara berbicara, dan cara mengajukan pertanyaan, kemampuan memecahkan masalah, dan sebagainya mencerminkan kecerdasan. Akan tetapi, diperlukan waktu lama untuk dapat menyimpulkan kecerdasan seseorang berdasarkan pengamatan perilakunya, dan cara demikian belum tentu tepat pula. Oleh karena itu, para ahli telah menyusun bermacam-macam tes inteligensi yang memungkinkan kita dalam waktu yang relatif cepat mengetahui tingkat kecerdasan seseorang. Inteligensi seseorang biasanya dinyatakan dalam suatu kosien inteligensi Intelligence Quotient(IQ).
Apakah hanya kecerdasan (yang diukur dengan tes intelegensi dan menghasilkan IQ) yang menentukan keberbakatan seseorang ? barangkali untuk bakat intelegtual masih tepat jika IQ menjadi kriteria (patokan) utama, tetapi belum tentu untuk bakat seni, bakat kreatif-produktif, dan bakat kepemimpinan. Memang dulu para ahli cenderung untuk mengidentifikasi bakat intelektual berdasarkan tes intelegensi semata-mata, dalam penelitian jangka panjangnya mengenai keberbakatan menetapkan IQ 140 untuk membedakan antara yang berbakat dan tidak. Akan tetapi, akhir-akhir ini para ahli makin menyadari bahwa keberbakatan adalah sesuatu yang majemuk, artinya meliputi macam-macam ranah atau aspek, tidutak hanya kecerdasan.
Keberbakatan dan Anak Berbakat Renzulli, dkk.(1981) dari hasil-hasil penelitiannya menarik kesimpulan bahwa yang menentukan keberbakatan seseorang adalah pada hakekatnya tiga kelompok (cluster) ciri-ciri, yaitu : kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri (tangung jawab terhadap tugas). Seseorang yang berbakat adalah seseorang yang memiliki ketiga ciri tersebut. Masing-masing ciri mempunyai peran yang sama-sama menentukan. Seseorang dapat dikatakan mempunyai bakat intelegtual, apabila ia mempunyai intelegensi tinggi atau kemampuan di atas rata-rata dalam bidang intelektual yang antara lain mempunyai daya abstraksi, kemampuan penalaran, dan kemampuan memecahkan masalah). Akan tetapi, kecerdasan yang cukup tinggi belum menjamin keberbakatan seseorang. Kreatifitas sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya, adalah sama pentingnya. Demikian juga berlaku bagi pengikatan diri terhadap tugas yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet meskipun mengalami macam-macam rintangan dan hambatan, melakukan dan menyelesaikan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya, karena ia telah mengikatnya diri terhadap tugas tersebut atas kehendaknya sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan anak berbakat adalah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi yang tinggi. Anak-anak ini membutuhkan program pendidikan yang berdeferensiasi atau pelayanan yang di luar jangkauan program sekolah biasa, agar dapat mewujudkan bakat-bakat mereka secara optimal, baik bagi pengembangan diri maupun untuk dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi kemajuan masyarakat dan negara. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan psikomotor, kemampuan psikososial seperti bakat kepemimpinan. Keberbakatan itu meliputi bermacam-macam bidang, namun biasanya seseorang mempunyai bakat istimewa dalam salah satu bidang saja. Dan tidak pada semua bidang. Misalnya : Si A menonjol dalam matematika, tetapi tidak dalam bidang seni. Si B menunjukkan kemapuan memimpin, tetapi prestasi akademiknya tidak terlalu menonjol. Hal ini kadang-kadang dilupakan oleh pendidik. Mereka menganggap bahwa seseorang telah diidentifikasi sebagai berbakat harus menonjol dalam semua bidang. Selanjutnya perumusan tersebut menekankan bahwa anak berbakat mampu memberikan prestasi yang tinggi. Mampu belum tentu terwujud. Contoh Ada anak-anak yang sudah dapat mewujudkan bakat mereka yang unggul, tetapi ada pula yang belum. Bakat memerlukan pendidikan dalam latihan agar dapat terampil dalam restasi yang unggul.
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Multiple Intelegenci
Konsep Multiple Intelegensi (MI), menurut Gardner (1983) dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple intelegences, ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu yaitu linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Melalui delapan jenis kecerdasan ini, setiap individu mengakses informasi yang akan masuk ke dalam dirinya. Karena itu Amstrong (2002) menyebutkan, kecerdasan tersebut merupakan modalitas untuk melejitkan kemampuan setiap siswa dan menjadikan mereka sebagai sang juara, karena pada dasarnya setiap anak cerdas. Sebelum menerapkan MI sebagai suatu strategi dalam pengembangan potensi seseorang, perlu kita kenali atau pahami ciri-ciri yang dimiliki seseorang.
1. Kecerdasan Linguistik, umumnya memiliki ciri antara lain (a) suka menulis kreatif, (b) suka mengarang kisah khayal atau menceritakan lelucon, (c) sangat hafal nama, tempat, tanggal atau hal-hal kecil, (d) membaca di waktu senggang, (e) mengeja kata dengan tepat dan mudah, (f) suka mengisi teka-teki silang, (f) menikmati dengan cara mendengarkan, (g) unggul dalam mata pelajaran bahasa (membaca, menulis dan berkomunikasi).
2. Kecerdasan Matematika-Logis, cirinya antara lain: (a) menghitung problem aritmatika dengan cepat di luar kepala, (b) suka mengajukan pertanyaan yang sifatnya analisis, misalnya mengapa hujan turun?, (c) ahli dalam permainan catur, halma dsb, (d) mampu menjelaskan masalah secara logis, (d) suka merancang eksperimen untuk membuktikan sesuatu, (e) menghabiskan waktu dengan permainan logika seperti teka-teki, berprestasi dalam Matematika dan IPA.
3. Kecerdasan Spasial dicirikan antara lain: (a) memberikan gambaran visual yang jelas ketika menjelaskan sesuatu, (b) mudah membaca peta atau diagram, (c) menggambar sosok orang atau benda persis aslinya, (d) senang melihat film, slide, foto, atau karya seni lainnya, (e) sangat menikmati kegiatan visual, seperti teka-teki atau sejenisnya, (f) suka melamun dan berfantasi, (g) mencoret-coret di atas kertas atau buku tugas sekolah, (h) lebih memahamai informasi lewat gambar daripada kata-kata atau uraian, (i) menonjol dalam mata pelajaran seni.
4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, memiliki ciri: (a) banyak bergerak ketika duduk atau mendengarkan sesuatu, (b) aktif dalam kegiatan fisik seperti berenang, bersepeda, hiking atau skateboard, (c) perlu menyentuh sesuatu yang sedang dipelajarinya, (d) menikmati kegiatan melompat, lari, gulat atau kegiatan fisik lainnya, (e) memperlihatkan keterampilan dalam bidang kerajinan tangan seperti mengukir, menjahit, memahat, (f) pandai menirukan gerakan, kebiasaan atau prilaku orang lain, (g) bereaksi secara fisik terhadap jawaban masalah yang dihadapinya, (h) suka membongkar berbagai benda kemudian menyusunnya lagi, (i) berprestasi dalam mata pelajaran olahraga dan yang bersifat kompetitif.
5. Kecerdasan Musikal memiliki ciri antara lain: (a) suka memainkan alat musik di rumah atau di sekolah, (b) mudah mengingat melodi suatu lagu, (c) lebih bisa belajar dengan iringan musik, (d) bernyanyi atau bersenandung untuk diri sendiri atau orang lain, (e) mudah mengikuti irama musik, (f) mempunyai suara bagus untuk bernyanyi, (g) berprestasi bagus dalam mata pelajaran musik.
6. Kecerdasan Interpersonal memiliki ciri antara lain: (a) mempunyai banyak teman, (b) suka bersosialisasi di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya, (c) banyak terlibat dalam kegiatan kelompok di luar jam sekolah, (d) berperan sebagai penengah ketika terjadi konflik antartemannya, (e) berempati besar terhadap perasaan atau penderitaan orang lain, (f) sangat menikmati pekerjaan mengajari orang lain, (g) berbakat menjadi pemimpin dan berperestasi dalam mata pelajaran ilmu sosial.
7. Kecerdasan Intrapersonal memiliki ciri antara lain: (a) memperlihatkan sikap independen dan kemauan kuat, (b) bekerja atau belajar dengan baik seorang diri, (c) memiliki rasa percaya diri yang tinggi, (d) banyak belajar dari kesalahan masa lalu, (e) berpikir fokus dan terarah pada pencapaian tujuan, (f) banyak terlibat dalam hobi atau proyek yang dikerjakan sendiri.
8. Kecerdasan Naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka, (c) suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang, (d) menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan alam, (e) suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam lainnya, (f) berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup.
Keunikan yang dikemukakan Gardner adalah, setiap kecerdasan dalam upaya mengelola informasi bekerja secara spasial dalam sistem otak manusia. Tetapi pada saat mengeluarkannya, ke delapan jenis kecerdasan itu bekerjasama untuk menghasilkan informasi sesuai yang dibutuhkan.
2. Mendidik Anak Cerdas dan Berbakat
Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Apa itu kecerdasan majemuk ? Sebagai orang tua masa kini, kita sering kali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita ingin mereka menjadi juara dengan harapan ketika dewasa mereka bisa memasuki perguruan tinggi yang bergengsi. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci utama untuk kesuksesan hidup di masa depan. Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengingkari bahwa sangat sedikit orang-orang yang sukses di dunia ini yang menjadi juara di masa sekolah. Bill Gates (pemilik Microsoft), Tiger Wood (pemain golf) adalah beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil di bidangnya. Kemudian di sinilah muncul pertanyaan sebagai berikut :
Kalau IQ ataupun prestasi akademik tidak bisa dipakai untuk meramalkan sukses seorang anak di masa depan, lalu apa ? Apa yang harus dilakukan orang tua supaya anak-anak mempunyai persiapan cukup untuk masa depanya ?
Kemudian jawabannya adalah :
Prestasi dalam kecerdasan majemuk (multiple Intelligence)dan bukan hanya prestasi akademik. Kecerdasan majemuk Kemungkinan anak untuk meraih sukses menjadi sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdannya yang majemuk itu. Membangun seluruh kecerdasan anak adalah ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongkat sebagai penyangganya. Semakin sama tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin kokoh pulalah tenda itu berdiri. Untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas berarti memiliki skor yang tinggi pada seluruh kecerdasan majemuk tersebut. Walaupun sangat jarang seseorang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang, biasanya orang yang benar-benar sukses memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol. Albert Einstein, beliau sangat terkenal jenius di bidang sains, ternyata juga sangat cerdas dalam bermain biola dan matematika. Demikian pula Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang olah tubuh, seni arsitektur, matematika, dan fisika. Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup lagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi untuk menjamin anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses sekolah semata. Kedua orang tua harus berusaha sebaik mungkin untuk menentukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang memiliki oleh masing-masing anak.
3. Sukses dan Kecerdasan
Kecerdasan memang bukan satu-satunya elemen sukses. John Wareham (1992), mengatakan ada 10 (sepuluh) unsur pokok untuk menjadi eksekutif yang sukses yaitu :
1. Kemampuan menampilkan pesona diri yang tepat
2. Kemampuan mengelola energi diri yang baik
3. Kejelasan dan kesehatan sistem nilai pribadi dan kontrak-kontrak batin
4. Kejelasan sasaran-sasaran hidup yang tersurat maupun yang tersirat
5. Kecerdasan yang memadai (dalam arti penalaran)
6. Adanya kebiasaan kerja yang baik
7. Keterampilan antar manusia yang baik
8. Kemampuan adaptasi dan kedewasaan emosional
9. Pola kepribadian yang tepat dengan tuntutan pekerjaan
10. Kesesuaian tahap dan arah kehidupan dengan espektasi gaya hidup.
Dale Carnegie (1889-1955), bahkan tidak menyebutkan kecerdasan secara eksplisit (dalam pengertian umum) sebagai elemen keberhasilan. Beliau mengatakan bahwa untuk berhasil dibutuhkan 10 (sepuluh Kualitas) yaitu :
1. Rasa percaya diri yang berlandaskan konsep diri yang sehat,
2. Keterampilan berkomunikasi yang baik,
3. Keterampilan antar manusia yang baik,
4. Kemampuan memimpin diri sendiri dan orang lain,
5. Sikap positip terhadap orang, kerja dan diri sendiri,
6. Keterampilan menjual ide dan gagasan,
7. Kemampuan mengingat yang baik,
8. kemampuan mengatasi masalah, stres dan kekuatiran,
9. Antusiasme yang menyala-nyala, dan
10. Wawasan hidup yang luas.
Jadi jelaslah bahwa kecerdasan, yang biasanya diukur dengan skala IQ, memang bukan elemen tunggal atau tiket menuju sukses. John Wareham, menyimpulkan hal di atas sesudah ia mewawancarai puluhan ribu calon eksekutif dan mensuplai ribuan eksekutif ke banyak perusahaan, dalam peranannya sebagai ” head Hunter ”. Begitu juga Dale Carnegie tiba pada kesimpulannya sesudah ia mewawancarai banyak tokoh sukses kontemporer pada jamannya dan sesudah membaca ribuan biografi dan otobiografi orang-orang sukses dari segala macam lapangan kehidupan.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien. Kecerdasan merupakan suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Tingkat kecerdasan (Intelegensi) ditentukan oleh bakat bawaan berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya. Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kemampuan untuk berpikir abstrak.
2. Kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar
3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
Ciri-ciri keberbakatan seseorang adalah, kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri. Anak berbakat adalah mereka yang karena memiliki kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi yang tinggi. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan psikomotor, kemampuan psikososial. Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak.
2. Saran
Pemerintah hendaknya mengadakan seminar tentang kecerdasan oleh seorang pakar psikologi sehingga dapat memotivasi baik orangtua maupun guru dalam memberikan bimbingan kepada anaknya. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci utama untuk kesuksesan hidup di masa depan. Maka perlu adanya pembinaan para guru agar bisa mencerdaskan siswa terutama pendidikan yang ada di lingkungan sekolah.
Daftar Pustaka
http//:gemasastrin.htm. Teori Multiple Intelligences dalam Pendidikan Anak. Des. 2008
Jurnal Pendidikan Penabur,No 04/Th IV/Juli 2005
Http//renggani.blogspot.com/2007/07 Multiple Intelligences-Kecerdasan Mejemuk.html
http:sepia.blogsome.com/muthahari-career-day. Multiple Intelegensi (Kecerdasan Majemuk) januari-2007.
http//:unhalu.ac.id/staff/blog.latahang. Penerapa Multiple Intelegency dalam Pembelajara Fisika, Pebruari. 2009
Wikipedia, File///F./Theory_of_Multiple_Intelligences.htm
disalin dari : myfortuner.wordpress.com

Mengintegrasikan Fungsi Blog Dalam Proses Belajar Mengajar

Penulis: Dr. Ferry Hadary, M. Eng. *)
image
Proses belajar mengajar adalah inti aktivitas dalam pendidikan. Proses ini terjadi antara dosen dan mahasiswa serta dipengaruhi oleh hubungan yang ada dalam proses tersebut. Ini menyebabkan metode belajar mahasiswa juga dipengaruhi oleh metode pengajaran dari dosennya. Seiring dengan pesatnya perkembangan di dunia telekomunikasi yang ditandai dengan era digitalisasi, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tentunya proses belajar mengajar juga menuntut adanya penyesuaian atau linearitas institusi pendidikan dalam penggunaan metode proses belajar mengajar.
Adanya realita tersebut, perguruan tinggi jelas memerlukan sarana dan prasarana TIK untuk menunjang kegiatan Tri Dharma sehingga dapat menjawab tantangan-tantangan yang ada, khususnya untuk peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Konsep pendidikan yang semakin berkembang dan banyak diadopsi belakangan ini adalah berbasis pada learning approach dan sedikit demi sedikit meninggalkan format sebelumnya yang berbasis teaching approach. Pada konsep learning approach penyampaian ilmu pengetahuan, dan juga termasuk proses pembelajaran adalah berbasis multimedia dan elektronik. Konsep ini kemudian dikenal dengan sebutan e-learning yang membawa pengaruh terjadinya proses transformasi pendidikan konvensional ke dalam bentuk digital, baik secara isi (content) maupun sistemnya. Konsep ini menjadi alternatif yang sepadan dengan konsep teaching approach yang berbasis kampus.
Conventional Learning dan e-Learning
Menyikapi perkembangan TIK tersebut menyebabkan adanya perubahan metode konvensional dalam proses belajar mengajar yang digantikan dengan metode e-learning. Metode conventional learning yang mengharuskan dosen dan mahasiswa harus bertatap muka langsung di ruangan kelas memiliki beberapa ciri, yaitu: 1) pembelajaran tergantung pada dosen; 2) seluruh kegiatan belajar mengajar terpusat di kampus; 3) dosen merupakan sumber ilmu; 4) dibatasi jarak, ruang dan waktu; dan 5) harus memiliki sarana dan prasarana belajar mengajar yang memadai serta sdm dosen yang memahami setiap materi kuliah yang akan diajarkan. Sedangkan ciri-ciri e-learning adalah: 1) pembelajaran tidak tergantung kepada dosen; 2) banyaknya sumber materi dan kemudahan akses; 3) peran dosen hanya sebagai mediator atau pembimbing; 4) proses belajar tidak terkendala jarak, ruang dan waktu.
Merujuk dari ciri-ciri kedua metode di atas, maka nge-blog adalah sebuah alternatif metode proses belajar mengajar yang bersifat e-learning dan juga student centered. Perguruan tinggi yang ingin menggunakan TIK untuk penerapan e-learning biasanya menggunakan Learning Management System (LMS) untuk menyediakan virtual classroom (ruang kelas virtual) di internet. Virtual classroom yang dimiliki biasanya memiliki banyak metafora ruang kelas konvensional seperti forum diskusi, pengumpulan tugas, katalog/perpustakaan bahan ajar, katalog hyperlink dan lain sebagainya.
Haruskah Dosen nge-Blog?
Jika pertanyaan tersebut diajukan, maka jawaban atas pertanyaan tersebut sesungguhnya telah tergambar jelas pada sebuah acara seminar. Selain untuk peningkatan proses belajar mengajar, “keharusan” dosen untuk nge-blog juga didasari pada beberapa alasan yang dirangkum oleh Yuyun Estriyanto (2008) dalam sebuah tulisan. Menurut pandangannya, nge-blog itu adalah untuk alasan sebagai berikut: 1) personal branding, 2) soft marketing, 3) mengenalkan core kompetensi kepada publik, 4) memberikan pencerahan pemikiran kepada masyarakat.
Dari sejumlah alasan tersebut, butir 1 sampai dengan 3 pada intinya sama dan saling berkaitan. Personal branding dibutuhkan untuk pembentukan citra diri. Hal ini dilakukan untuk mengenalkan core kemampuan dosen tersebut kepada masyarakat. Tujuannya apa? Menjual diri, menjual profesionalitas. Ketika telah ditanamkan kepada masyarakat bahwa dosen tersebut adalah ahli dalam suatu bidang, maka dengan sendirinya jika memerlukan tenaga ahli pada bidang tersebut maka dosen itu yang akan dipercaya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sedangkan pada butir ke-4, sebenarnya dilandasi dari suatu image yang ada pada masyarakat bahwa dosen adalah profesi dengan strata sosial tinggi di masyarakat. Bukan pada kemampuan finansialnya, melainkan pada kompetensi akademiknya atau intelektualitasnya. Oleh karena itu, sangat pantas jika dosen seharusnya bisa memberikan sumbang pemikiran mengenai kondisi sosial masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berdasarkan pada latar belakang keilmuan yang dimilikinya.
Fungsi Blog dalam Sistem Terintegrasi
Jika dosen sudah memiliki blog, maka bagaimanakah mengintegrasikannya dalam proses belajar mengajar? Ada beberapa cara, diantaranya para dosen dapat menggunakan blog untuk menampilkan informasi perkuliahan yang diampu, bahan ajar yang siap diunduh mahasiswa, daftar hyperlink sebagai referensi, memberikan tugas dan menampilkan hasil penelitan dosen. Karena fitur pada blog memungkinkan memberikan pertanyaan dan komentar atas artikel atau bahan ajar yang tersedia, maka komunikasi pun akan berjalan dua arah dan interaktif, baik dari dosen ke mahasiswa dan juga sebaliknya.
Cara yang lain adalah ketika memberikan tugas kepada mahasiswa, maka dosen tersebut menerangkannya secara lisan dan kemudian menampilkannya pada blog. Mahasiswa yang akan mengumpulkan tugas diminta untuk menampilkan jawaban dari tugas dalam blog pribadi mahasiswa tersebut. Penilaian diberikan dengan cara dosen tersebut mengunjungi blog mahasiswa untuk kemudian memberikan komentar tentang jawaban tugas yang telah dibuat mahasiswa. Cara ini memberikan arti bahwa mahasiswa tidak hanya bertanggung jawab atas jawaban tugas kepada dosen saja, melainkan bertanggung jawab pula kepada publik/pengguna internet sebagai pembaca.
Integrasi blog dalam aktifitas proses belajar mengajar seperti ini secara otomatis meningkatkan waktu “tatap muka” dosen dan mahasiswa. Diskusi yang terekam dalam fasilitas komentar yang tersedia pada blog juga dapat menjadi referensi tambahan bagi para pembaca blog dan dapat dilihat serta dibaca kapan saja. Selain mendidik dan mengenalkan mahasiswa menulis melalui media internet, cara-cara ini juga mampu mendongkrak nama institusi pendidikan di dunia maya serta melatih mahasiswa untuk berbagi ilmu dengan orang lain.
Ketika membicarakan blog dalam sebagai suatu sub-sistem yang terintegrasi, maka akan ada pula beberapa sub-sistem yang saling berkaitan serta saling memengaruhi. Proses belajar mengajar merupakan sebuah input dan output yang diharapkan adalah proses belajar mengajar yang berkualitas. Tentunya sistem tersebut harus memiliki karakteristik sebagai sistem yang memiliki umpan balik (feedback system). Fungsi Pusat Penjamin Mutu (PPM) baik di tingkat fakultas bahkan universitas diharapkan dapat menjamin mutu atau kualitas dari proses belajar mengajar yang dihasilkan. Tentunya objek yang akan dikendalikan, atau disebut plant adalah content yang ada pada blog tersebut. Konsep ini juga menjelaskan bahwa blog yang merupakan salah salah satu sub-sistem sebenarnya digerakkan (actuator) oleh dosen dan mahasiswa selaku pelaku aktivitas proses belajar mengajar. Sedangkan kurikulum yang berbasis pada capaian rumusan kompetensi merupakan pengendalinya (controller).
Dengan adanya integrasi antar sub-sistem tersebut diharapkan akan menghasilkan proses belajar mengajar yang tidak hanya melibatkan dosen, tetapi juga mahasiswa, untuk menghasilkan proses belajar mengajar yang lebih berkualitas. Oleh karena itu, adakah alasan seorang dosen untuk tidak segera memulai nge-blog?
*) Penulis adalah dosen di Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura.