Har Magazine official website | Members area : Register | Sign in

Menjadi Dosen Yang Profesional

Thursday, September 30, 2010

       Written by Arief Furchan

Menjadi dosen yang profesional adalah impian setiap dosen.  Mengapa?  Karena itu akan meningkatkan harga dirinya sebagai manusia.  Dosen adalah peneliti dan pendidik.  Ia bekerja di perguruan tinggi yang sering disebut sebagai garba ilmiah, tempat bersemai dan berkembang ilmu pengetahuan.  Ada yang mengatakan bahwa dosen adalah peneliti yang mengajar.  Ia meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ia juga mengajar atau mendidik calon-calon praktisi dan ilmuwan yang akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerapkan hasil-hasil penelitian untuk memecahkan berbagai persoalan masyarakat.  Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah ciri-ciri dosen yang ideal itu? 

       Berikut ini adalah sepuluh ciri yang telah digambarkan melalui karya Milton Hildebrand dan Kenneth Feldman.  Dosen yang memiliki semua ciri tersebut dianggap sebagai dosen yang “hebat” oleh mahasiswa dan teman sejawat mereka serta para staf administrasi.  Dosen yang memiliki kekuatan di sebagian bidang ini (dan lemah di sebagian yang lain) dianggap sebagai dosen yang baik oleh sebagian pengamat dan sebagai dosen yang jelek oleh pengamat yang lain.

1.  Gaya Mengajar Yang Merangsang Belajar

  • Menyajikan kuliah dengan cara yang menarik dan melibatkan mahasiswa.
  • Menggunakan humor untuk membantu mempertahankan perhatian mahasiswa
  • Memperkuat setiap poin utama dengan memberikan rujukan, contoh, dan ilustrasi yang bermakna
  • Mengaitkan materi kuliah dengan dunia mahasiswa
  • Mengaitkan materi kuliah pada pengalaman sebenarnya dalam dunia nyata
  • Memusatkan perhatian pada pelajaran yang akan menjadi bagian permanen dari kehidupan seseorang dan akan digunakan berulang kali di luar kampus
  • Mengembangkan rasa ingin tahu 
  • Menyediakan waktu untuk membuat mahasiswa secara psikologis siap untuk belajar

2. Kemampuan Untuk Berkomunikasi Secara Jelas

  • Menyampaikan informasi dengan cara yang jelas dan dapat difahami
  • Mampu mereduksi pengetahuan sampai pada komponen-komponennya yang paling sederhana
  • Mengaitkan satu sama lain informasi yang diberikan
  • Mengaitkan teori, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep pada penerapan praktis
  • Merumuskan tujuan belajar dengan jelas dan memberitahukannya keapda mahasiswa
  • Menjawab pertanyaan secara tuntas dan bebas
  • Memberikan umpan balik secara teratur dengan cara yang mendorong mahasiswa belajar
  • Menjelaskan kritik yang diberikan kepada mahasiswa

3.  Menguasai Materi Kuliah Yang Dipegangnya

  • Memiliki pengetahuan yang cukup luas dan mendalam di bidang ilmu yang dikuliahkan
  • Memiliki pengetahuan yang mutakhir di bidang ilmu yang dikuliahkan
  • Memiliki komitmen terhadap bidang yang menjadi spesialisasinya (selalu membaca literatur, menghadiri pertemuan profesional, dsb.)
  • Memelihara kontak dengan teman-teman sejawat di bidangnya (di dalam dan di luar kampus)
  • Dapat mendemonstrasikan dan menggambarkan aspek-aspek yang penting, serta menjelaskannya
  • Mengetahui materi kuliahnya dengan cukup baik sehingga dapat menekankan aspek-aspeknya yang paling penting
  • Menunjukkan dan perbedaan dan implikasi berbagai teori dan prinsip di bidang ilmu itu
  • Menghubungkan fakta-fakta dan konsep-konep yang lebih penting kepada bidang studi yang berkaitan

4.  Siap dan Terorganisir

  • Merencanakan dengan baik kegiatan kuliah untuk satu semester, unit, minggu, sehari
  • Memberikan silbaus yang berisi tujuan mata kuliah, bibliografi, tugas, laporan laboratorium, pekerjaan rumah, jadwal tes, tugas khusus, penilaian, dan pedoam
  • Datang ke ruang kuliah siap untuk mengajarkan topik tersebut
  • Menggunakan waktu kuliah secara efektif dan efisien
  • Menyajikan kuliah sedemikian rupa sehingga mahasiswa dapat melihat hubungan-hubungan yang ada di dalam materi kuliah itu
  • Menggaris bawahi ide-ide yang utama
  • Menggunakan alat bantu belajar secara efektif
  • Memubat rangkuman untuk membantu mahasiswa mempelajari dan mengingat materi kuliah

5.  Memiliki Antusiasme Yang Dinamis

  • Merasa tertarik dan senang mengajar, dan menunjukkan hal itu
  • Secara tulus tertarik pada mata kuliah itu
  • Membuat belajar itu menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan
  • Memancarkan sikap yang positif ke arah kehidupan secara umum
  • Mengembangkan gaya kemanusiaannya sendiri yang unik
  • Mau berusaha lebih keras untuk membuat mahasiswa melakukan apapun yang diperulukan untuk belajar.

6.  Memiliki Kepedulian Pribadi Terhadap Mahasiswa

  • Secara tulus menghormati mahasiswa dan menunjukkan sikap peduli dan siap membantu ini
  • Menunjukkan dengan jelas bahwa ia ingin membantu mahasiswa belajar
  • Menyediakan waktu dan berusaha untuk mengenal mahasiswa dan kebutuhan mereka
  • Bekerja dengan setiap mahasiswa sebagai pribadi
  • Berbicara dengan mahasiswa, baik di dalam maupun di luar kelas
  • Membantu mahasiswa menemukan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri
  • Dihargai karena nasihat-nasihatnya pada hal-hal selain masalah kuliah, serta dalam kegiatan di dalam kelas

7.  Ketrampilan Berinteraksi

  • Melihat kebutuhan mahasiswa dan selalu mengikuti perkembangan kemajuan setiap mahasiswa
  • Menggunakan reaksi dan umpan balik dari mahasiswa untuk meningkatkan danmemandu tindakannya
  • Secara akurat membaca dan mengomunikasikan sinyal-sinyal non-verbal
  • Mengetahui ketika para mahasiswa tidak mengerti
  • Memandang mahasiswa ketika berbicara kepada mereka, di dalam atau di luar ruang kuliah—kontak mata menunjukkan adanya kesadaran sebenarnya
  • Berusaha agar mahasiswa saling mengenal
  • Memuji prestasi mahasiswa yang berhasil untuk memotivasi belajar mereka di masa mendatang

8.  Fleksibilitas, Kreativitas, Keterbukaan

  • Menggunakan berbagai ragam gaya dan metode penyajian kuliah
  • Membagi setiap jam kuliah menjadi setidaknya tiga kegiatan yang terpisah
  • Bekerja dengan berbagai mahasiswa secara bebeda
  • Mengubah pendekatan mengajar untuk menyesuaikan dengan situasi baru
  • Secara berkala, mencoba ide-ide baru dan berbeda
  • Terus meneus mencari ide-ide, pendekatan dan metode mengajar yang baru
  • Terbuka terhadap saran mahasiswa mengenai isi, metode perkuliahan, dan tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa
  • Menggunakan individualitas dan originalitas dalam mengatur kegiatan belajar mengajar

9.  Memiliki Kepribadian Yang Kuat

  • Memiliki integritas dan krjujuran dalam semua hubungannya dengan mahasiswa
  • Mengemukakan di depan semua peraturan dan persyaratan khusus tanpa ada harapan yang disembunyikan
  • Tidak mengubah peraturan tanpa persetujuan mahasiswa
  • Sangat berhati-hati dan bertindak adil dalam memberikan nilai dan ujian
  • Menjaga kerahasiaan mahasiswa
  • Bersedia mengambil resiko untuk berbuat salah dan kemudian memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya
  • Memiliki kesabaran dan pengertian bagi mahasiswa baru

10.  Komitmen

  • Menunjukkan keingingan tulus untuk mengajar
  • Menjadikan mengajar sebagai poritas nomor satu
  • Menerima pembatasan dan kerja yang diperlukan menjalankan tugas secara benar
  • Melakukan segala apa yang diperlukan untuk selalu memberi tahu mahasiswa tentang kemajuan, keberhasilan, dan kebutuhannya
  • Meminta masukan dari mahasiswa, teman sejawat, dan pegawai administrasi untuk tujuan perbaikan
  • Menerima kritik dan saran sebagai tanda perubahan yang positif
  • Selalu mencari cara-cara mengajar yang baru dan lebih baik
  • Berbagi ide-ide terbaik dengan teman sejawat demi peningkatan profesional mereka

Memang akan sangat membantu kalau dosen itu terlahir sudah memiliki karisma, sifat bijak, kehangatan, gemerlap, dan antusiasme yang dinamis.  Tetapi ini bukanlah satu-satunya ciri bagi pengajaran yang baik sekali, dan kita dapat memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang telah kita miliki. 

Mahasiswa tidak hanya termotivasi oleh antusiasme,  tetapi juga termotivasi oleh organisasi, kejelasan, keilmuan, dan teknik mengajar yang baik.  Hal ini difahami oleh setiap dosen yang benar-benar peduli dan benar-benar ingin mengajar dengan baik!

Yang juga menggembirakan adalah bahwa, bahkan perbedaan kecil pun sering cukup untuk mempertahankan perhatian sedikit lebih baik atau menyampaiakn ide dengan lebih jelas.  Kita harus percaya pada diri kita sendiri dan bekejra keras untuk menjadi dosen sebaik mungkin, sesuai dengan ciri-ciri kita masing-masing.

“Tidak banyak dosen yang hebat; mungkin tidak ada dosen yang selalu baik.  Tetapi, banyak dosen yang kadang-kadang hebat.”  (Milton Hildebrand, 1973)  Kita perlu berusaha keras untuk membuat kehebatan yang kadang-kadang ini terjadi lebih sering!
Sumber: Principles of College Teaching seperti dimuat dalam http://www.k-state.edu/catl/teach/gtahandbook/effectv.htm diakses tanggal 6 Juli 2009.

Profil Buku 8 Etos Keguruan

image “Mendidik bukan pertama-tama urusan membuat murid pintar pelajaran matematika atau ekonomi tetapi urusan kesetiaan menemani murid untuk menghasrati api yang luhur dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan hidup yang luhur. Kesetiaan mendampingi murid untuk mencapai keluhuran itulah ‘jalan guru.’ Buku ini berkisah tentang ‘jalan guru’ itu.”

Kalimat di atas adalah petikan dari endorsement dosen dan Ketua Program Studi Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara, Dr. B. Herry Priyono untuk buku 8 Etos Keguruan karya Jansen Sinamo. Dan bagi pembaca yang bertanya-tanya dan penasaran ingin mengetahui apa saja isi buku ini, petikan di atas telah dengan tepat menunjukkan kedudukan buku ini dalam dunia keguruan secara khusus dan di dunia pendidikan pada umumnya.

Seperti judulnya, buku ini secara fokus dan komprehensif membicarakan etos kerja para guru, yakni etos bagi semua orang yang memilih dan menekuni pekerjaan dalam rumpun keguruan. Itu berarti menyangkut pekerjaan dari tak kurang tiga juta orang di negeri ini, yang mencari nafkah sekaligus mengabdikan keahliannya sebagai profesor, dosen, pengajar, pamong belajar, guru, pendidik, pelatih, penatar, penceramah dan predikat lain dalam dunia keguruan.

Etos kerja sendiri dirumuskan sebagai semangat, pola pikir dan mentalitas yang mewujud menjadi seperangkat perilaku kerja yang khas dan berkualitas. Dengan demikian etos Keguruan dapat dimaknai sebagai semangat khas yang menjadi vitalitas kerja, kegembiraan hati yang menjadi semangat kerja dan gairah batin yang menjadi stamina kerja seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Penulis buku ini berpendapat membangun etos keguruan adalah upaya untuk memperkuat karakter para guru. Sebab, ibarat otot, karakter akan memadat dengan semakin kokohnya perilaku karena terus-menerus digunakan secara tekun dan bertujuan.

Diawali dengan pendalaman akan pengertian etos, lalu dilanjutkan dengan survei persepsi masyarakat tentang guru, penulis kemudian mengelaborasi dan mengetengahkan perumusannya tentang apa yang dinamainya etos keguruan. Dan bila diringkaskan etos keguruan tersebut terhimpun dalam delapan kredo:

1. Keguruan adalah rahmat, aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur.
2. Keguruan adalah amanah, aku mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab.
3. Keguruan adalah panggilan, aku mengajar tuntas penuh integritas.
4. Keguruan adalah aktualisasi, aku mengajar dengan serius penuh semangat.
5. Keguruan adalah ibadah, aku mengajar dengan cinta penuh dedikasi.
6. Keguruan adalah seni, aku mengajar dengan cerdas penuh kreativitas.
7. Keguruan adalah kehormatan, aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan
8. Keguruan adalah pelayanan, aku mengajar sebaik-baiknya penuh kerendahan hati.

Buku ini ditulis dengan gaya bertutur yang mengalir. Penjelasan-penjelasannya merupakan perpaduan antara elaborasi konsep dengan kisah-kisah inspiratif tentang tokoh-tokoh keguruan yang patut diteladani. Tak ketinggalan pula pemanfaatan dunia internet lewat jejaring sosial facebook untuk menghimpun opini dan gagasan masyarakat yang kemudian digunakan memperkaya isi buku ini.

Buku ini akan menjangkau pembacanya melalui jalur distribusi yang unik. Buku ini tidak dijual di toko buku melainkan hanya dapat diperoleh di Institut Darma Mahardika, Jl Pulogebang Permai Blok G 11/12 Jakarta, 13950; telp. 021 480 1514; faks 021 480 0429; website: www.8etos.com. Menurut Jansen Sinamo, jalur semacam ini dipakai untuk mengefektifkan jangkauan buku ini kepada mereka yang paling memerlukannya dan memetik manfaatnya.

Tidak kurang dari delapan tokoh pendidikan di Tanah Air –formal mau pun nonformal—turut memberikan endorsement-nya pada buku ini. Selain Herry B. Priyono yang sudah dikutip di atas, buku ini juga direkomendasikan oleh Prof Yohannes Surya, rektor Universitas Multimedia Nusantara; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rekto UIN Syarif Hidayatullah; Prof.Dr. Hariadi Supangkat, gurubesar Fisika ITB dan rektor ITB 1980-1988; Kusmayanto Kadiman, rektor ITB 2001-2004 dan Menristek RI 2004-2009; Dumaria R. Tampubolon Ph.D, dosen Matematika ITB; Ayah Eddy, penggagas Program Indonesian Strong from Home dan Andrias Harefa, penulis 37 buku bestseller, pembicara, trainer dan pendiri www.pembelajar.com.

Berikut ini sebagian dari pendapat mereka tentang buku 8 Etos Keguruan

“Menjadi guru adalah panggilan yang mulia. Guru yang baik tidak hanya mampu mengajar tetapi juga memberi inspirasi pada murid-muridnya. Jansen Sinamo, si Mr. Etos, dalam buku ini membahas secara menarik bagaimana etos kerja seorang guru yang mampu memberikan inspirasi bagi muridnya. Inspiratif! Perlu dibaca oleh setiap guru! “
Prof. Yohanes Surya Ph.D
Founder Surya Institute
School of Education/ STKIP Surya
Rektor Universitas Multimedia Nusantara

“Jangan lewatkan! Buku ini sebaiknya dibaca baik oleh guru maupun orangtua sebagai panduan menjadi guru yang professional dan orangtua yang efektif. Ditulis dengan pendekatan filosofis disertai dengan puluhan contoh riil sehingga mudah difahami, buku ini dapat digunakan sebagai vademekum bagi kaum guru khususnya, untuk memajukan kualitas pendidikan Indonesia agar mampu bersaing secara terhormat dalam percaturan dunia.”
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Pendiri Sekolah Madania
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

“Jansen Sinamo menawarkan perangkat 8 Etos Keguruan yang dirangkumnya dari sumber yang ekstensif, ditelaah secara mendalam berdasarkan pengalamannya yang luas dalam mengembangkan sumber daya manusia, dan diilhami visi tak terbantahkan bahwa keguruan merupakan unsur hakiki dalam membangun peradaban.

Penulis buku ini meyakini bahwa soal guru adalah induk persoalan pendidikan nasional, dan karenanya penegakan etos keguruan merupakan suatu keniscayaan. Perangkat 8 Etos Keguruan yang dirangkum Jansen Sinamo serta bukunya patut dibaca. Penulisannya gamblang dan jelas serta menangkap ihwal aktual dalam bidang keguruan kita.”
Prof. Dr. Hariadi Soepangkat
Guru Besar Fisika, Rektor ITB 1980-1988

“Guru adalah kata yang berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu gabungan kata ‘gu’ dan ‘ru’ yang berarti kegelapan (darkness) dan terang (light). Guru kemudian kita tafsirkan sebagai penerang kegelapan. Seorang guru membawa kita dari ketidaktahuan menjadi tahu. Ia mengubah kita dari tidak paham menjadi mengerti.

Buku ini ditulis dengan gaya bertutur cerita. Bagi yang mengenal sang penulis, maka membaca buku ini serasa mendengar ia berbagi cerita. Senantiasa ceria bersemangat dengan pancaran sinar mata antusias dan raut muka bernuansa persahabatan. Mulai dari ide sampai pada cerita-cerita terkait untuk membuat kita paham tentang ide yang digagasnya. (….) Tak berlebihan jika ia dinobatkan sebagai Guru Etos baik guru dalam artian luas sebagai teacher ataupun guru dalam perspektif empu.”
Kusmayanto Kadiman
Rektor ITB 2001-2004, Menristek RI 2004-2009

“Membaca judul buku ini, seolah-olah buku ini “hanya” perlu dibaca oleh seorang guru maupun mereka yang bercita-cita menjadi guru. Sesungguhnya buku ini juga perlu dibaca oleh mereka yang duduk di pemerintahan, yang menjadi pengusaha dan politikus, dan masyarakat pada umumnya. Dengan memahami bahwa untuk menjadi seorang guru diperlukan seseorang yang tidak saja cerdas, tetapi juga mampu menerapkan kedelapan etos guru yang dibahas di buku ini, diharapkan suatu bangsa akan sadar betapa pentingnya seseorang yang berkualitas holistik yang mendidik generasi muda bangsa ini.

Salut kepada “Guru Etos Indonesia”, Jansen Sinamo, yang telah menulis buku 8 Etos Keguruan ini, yang saya rekomendasikan sebagai salah satu bacaan yang perlu dibaca oleh mereka yang ingin mengentaskan kemiskinan, yang ingin membangun dan memajukan bangsa.”
Dumaria R. Tampubolon, Ph.D
Dosen Matematika, Institut Teknologi Bandung

“Kalau mau menghasilkan selebriti, undanglah event organizer. Kalau mau mengarbit politisi dadakan, panggillah makelar konsultan politik. Tetapi kalau kita mau mendidik warga negara yang punya watak, pendirian, dan prinsip, tanyakan kepada para guru.

Mengapa para guru jarang kita tanyai? Karena pendidikan di negeri ini sibuk dengan urusan yang bukan pendidikan. Mendidik bukan pertama-tama urusan membuat murid pintar pelajaran matematika atau ekonomi, tetapi urusan kesetiaan menemani murid untuk menghasrati apa yang luhur dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan hidup yang luhur. Pelajaran fisika ataupun geografi, sastra ataupun ekonomi adalah sarana mendidikkan hasrat dan kebiasaan luhur itu.

Kesetiaan mendampingi murid untuk mencapai keluhuran itulah “jalan guru”. Buku ini secara rinci berkisah tentang “jalan guru” itu. Bacalah buku ini, dan Anda akan mengerti mengapa bangsa ini kehilangan keluhuran, dan Anda sekaligus akan memahami bagaimana “jalan guru” dapat menjadi pandu kita ke depan.”
Dr. B. Herry-Priyono
Dosen dan Ketua Program Studi Pascasarjana
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

“Saya sudah membaca lebih dari 500 judul buku yang ditulis oleh pakar-pakar dari mancanegara yang berhubungan dengan pendidikan dan keguruan, namun ternyata tidak mudah untuk bisa menemukan buku yang benar-benar berkualitas. Baru kali ini saya mendapat sebuah buku, yang di tulis oleh seorang putera bangsa yang begitu lengkap dan membumi.

Saya tidak hanya bersyukur bisa memperoleh kesempatan untuk mempelajari dan mendapatkannya, namun pada kesematan ini saya pun sekaligus ingin mendapat izin langsung dari Pak Jansen untuk boleh menggunakan kisah, filosofi, teknik dan semua yang berguna di buku ini untuk saya sharing-kan dengan para guru di seluruh pelosok tanah air tercinta. Mari kita bangun Indonesia yang kuat melalui para guru yang berkualitas!”
Ayah Edy
Penggagas Program Indonesian Strong from Home (disiarkan melalui jaringan Radio Smartfm Jakarta). www.ayahkita.blogspot.com

“Dalam pemahaman saya yang sederhana, Indonesia yang lebih baik bisa diharapkan jika benih-benih cinta makin banyak bermekaran dalam konteks pembelajaran formal, non-formal, maupun informal. Itu sebabnya buku 8 Etos Keguruan ini menempati posisi yang strategis di hati saya.

Sebab, jika dengan membaca buku ini makin banyak orang menyadari, menginginkan, dan memperjuangkan dirinya menjadi guru profesional sebagaimana ramai dicontohkan dalam buku ini, maka setidaknya akan lahir tiga cinta: pertama, kecintaan pada profesi mengajar-belajar agar orang muda menjadi insan-insan yang siap-belajar; kedua, kecintaan belajar itu sendiri (love for learning, agar pembelajar mendapatkan air jernih yang kaya mineral dari gurunya yang terus belajar); dan ketiga, kegemaran untuk berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan (love for sharing knowledge and ignorance).

Mereka yang tertarik untuk dan yang sudah terlanjur menekuni profesi keguruan dalam berbagai variannya—dosen, pengajar, pembicara, trainer, fasilitator pembelajaran, dsb—akan mendapat banyak inspirasi dengan menikmati buku ini. Bacalah!”
Andrias Harefa
Penulis 37 Buku Best-seller, termasuk Menjadi Manusia Pembelajar (Kompas, 2000). Pembicara dan Trainer Berpengalaman 20 Tahun. Pendiri www.pembelajar.com

Selamat membaca!

MENUMBUHKAN TECHNOPRENEURSHIP MAHASISWA

Tuesday, September 28, 2010

MENUMBUHKAN TECHNOPRENEURSHIP MAHASISWA : KOLABORASI KOMPETENSI DAN APLIKASI TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN

by Kharisma Putra

Dalam peradaban manusia, dari tatanan global hingga tatanan rumah tangga, ekonomi merupakan sektor yang sangat penting dalam menunjang keberlangsungan hidup individu di dalamnya. Oleh karena itu, upaya pengembangan perekonomian, yang bertujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, selalu menjadi fokus dalam perencanaan ke depan setiap unit masyarakat dari struktur hierarki terendah hingga yang tertinggi. Secara konseptual, pengembangan perekonomian selalu berkaitan erat dengan ekonomi makro dan keberlakuan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Akan tetapi, pengembangan perekonomian dalam skala nyata pada umumnya berkisar pada ekonomi mikro: sektor informal, industri kecil-menengah, koperasi, dan usaha distribusi. Sektor-sektor tersebut selalu berkorelasi dengan sebuah karakter individual dan komunitas yang secara langsung diperlukan oleh subjek pengembang usaha tersebut, entrepreneurship.

Di sisi lain, kehidupan masyarakat juga memerlukan sebuah instrumen yang dapat memudahkan setiap aktivitasnya. Rekayasa instrumen-instrumen tersebut, yang juga dipergunakan dalam mengeksplorasi sumber daya kebutuhan manusia, membutuhkan suatu pembaharuan dan fleksibilitas agar mampu mengimbangi perubahan keadaan yang begitu cepat. Oleh karena itu, penerapan sains dan pengetahuan sebagai sebuah teknologi nyata merupakan sebuah keniscayaan yang konsekuensional.

Teknologi sebagai Alat

Secara sederhana, teknologi merupakan aplikasi langsung dari ilmu pengetahuan yang kita miliki. Tujuan perekayasaan teknologi ini adalah sebuah alat untuk memudahkan kerja manusia dalam memenuhi kebutuhannya.

Model teknologi

Di era modern, pengembangan teknologi akan sangat berpengaruh terhadap daya saing suatu negara dalam kompetisi global. Inovasi teknologi yang kontinu dan tepat guna membutuhkan sebuah penguasaan kompetensi serta otoritas ilmiah dalam implementasi teknologi tersebut. Untuk itulah, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni sebagai ahli-praktisi dalam masing-masing bidang keilmuan dan aplikasinya. Di sinilah peran universitas dan institusi pendidikan tingkat tinggi.

Universitas dan/atau instusi pendidikan lain memiliki peran dalam menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kepahaman ilmiah dan penguasaan teknis dalam rekayasa teknologi tersebut. Proses pembentukan kompetensi ini harus ditempuh melalui proses pendidikan yang paripurna. Pihak universitas yang bertanggung jawab dalam tatanan kurikuler harus dapat meramu sebuah hidangan kurikulum pendidikan yang lezat dan bergizi. Disamping itu, organisasi kemahasiswaan yang bergerak pada zona co-kurikuler dan ekstrakurikuler juga perlu memberikan dukungan pengembangan untuk  dapat menghasilkan profil mahasiswa yang memiliki kapabilitas yang tinggi (high-capable) dalam bidangnya masing-masing.

Enterpreneurship sebagai Kebutuhan

Kewirausahaan, dalam konteks apapun, selalu berdampingan erat dengan karakter entrepreneurship. Pengembangan usaha yang mandiri membutuhkan jiwa dan semangat entrepreneurship yang juga mumpuni. Entrepreneurship adalah sebuah karakter kombinatif yang merupakan fusi antara sikap kompetitif, visioner, kejujuran, pelayanan, pemberdayaan, pantang menyerah, dan kemandirian. Karakter ini bersatu dan menjadi kebutuhan langsung dalam proses wirausaha. Secara sederhana, entrepreneurship memiliki ciri-ciri swadaya usaha serta mengandung komponen manajemen pemasaran, produksi, dan finansial.Model Entrepreneurship

Entrepreneurship tidak hanya berkaitan dengan pengembangan unit usaha. Dalam bukunya ”Innovation and Entrepreneurship”, Peter F. Drucker menyebutkan bahwa entrepreneur bukan hanya seseorang yang membangun unit bisnis pribadi yang kecil dan baru. Menjadi pegawai korporasi pun kita tetap bisa memiliki jiwa entrepreneurial. Karena, menurut Drucker, entrepreneurship adalah the practice of consistently converting good ideas into profitable commercial ventures. Jadi, inti dari entrepreneurship adalah konsistensi usaha (consistent work), inovasi ide (innovative idea), dan hasil yang menguntungkan (profitable output).

Technopreneurship : Sebuah Kolaborasi Integral

Di era persaingan global yang sangat ketat, inovasi usaha harus diiringi dengan berbagai macam rekayasa teknologi agar dapat melipatgandakan performa dari usaha tersebut. Pemanfaatan teknologi mutakhir tepat guna dalam pengembangan usaha yang berdasarkan pada jiwa entrepreneur yang mapan akan dapat mengoptimalkan proses sekaligus hasil dari unit usaha yang dikembangkan. Inilah yang disebut technopreneurship: sebuah kolaborasi antara penerapan teknologi sebagai instrumen serta jiwa usaha mandiri sebagai kebutuhan. Technopreneurship adalah suatu karakter integral antara kompetensi penerapan teknologi serta spirit membangun usaha. Dari sini, tumbuhlah unit usaha yang teknologis: unit usaha yang memanfaatkan teknologi aplikatif dalam proses inovasi, produksi, marketisasi, dan lain sebagainya.

Model pengembangan technopreneurship

Menanamkan jiwa entrepreneurship bukan perkara yang mudah, karena ini berhubungan dengan dua hal kompleks yang perlu ditanamkan, yakni kesadaran teknologi, dan semangat entrepreneurship. Dua hal ini memiliki karakteristik yang spesifik dalam masing-masing pengembangannya. Oleh karena itu, untuk membentuk ketiga hal tersebut, penulis membaginya menjadi tiga tahapan:

1. Teknologi

    Seperti yang dijelaskan di awal, teknologi memiliki kebutuhan yang erat dalam penguasaan keilmuan dan penerapannya. Proses ini diperlukan untuk mendapatkan otoritas teknologi yang diakui eksistensinya. Penyaluran keilmuan serta teknis rekayasa ini didapatkan melalui proses pendidikan di universitas. Proses pendidikan hingga memiliki kompetensi yang mumpuni inilah yang disebut authorization. Setelah memiliki kompetensi yang memadai, ilmu dan berbagai macam teori harus bisa dimanfaatkan, baik secara luas maupun sempit. Pemanfaatan ini tidak harus menghasilkan produk nyata, namun dapat berupa konsep dan ide pengembangan dari teori tersebut. Proses ini disebut utilization.

    Berdasarkan sifatnya yang aplikatif, untuk dapat menjadi teknologi, ilmu-ilmu yang dipelajari harus dapat diimplementasikan. Implementasi ini berupa karya nyata yang dapat dimanfaatkan secara langsung dalam usaha keseharian manusia. Proses rekayasa teknologi menjadi produk yang bisa dimanfaatkan secara langsung merupakan tujuan akhir dari pengaplikasian sains dan keilmuan. Tahap ini disebut implementation. Lalu, teknologi yang telah dihasilkan harus dapat dikolaborasikan dengan kebutuhan yang ada, agar tepat guna dan bermanfaat secara luas sekaligus spesifik. Proses ini disebut collaboration.

2. Entrepreneurship

    Untuk mengembangkan jiwa entrepreneurship diperlukan beberapa tahapan, antara lain internalization, paradigm alteration, spirit initiation, dan competition. Internalization adalah tahapan penanaman jiwa entrepreneurship melalui konstruksi pengetahuan tentang jiwa entrepreneurial serta medan dalam usaha. Tahap ini berkutat pada teori tentang kewirausahaan dan pengenalan tentang urgensinya. Setelah itu, paradigm alteration, yang berarti perubahan paradigma umum. Pola pikir pragmatis dan instan harus diubah dengan memberikan pemahaman bahwa unit usaha riil sangat diperlukan untuk menstimulus perkembangan perekonomian negara, dan jiwa entrepreneurship berperan penting dalam membangun usaha tersebut. Di tahap ini diberikan sebuah pandangan tentang keuntungan usaha bagi individu maupun masyarakat. Setelah pengetahuan telah terinternalisasi dan paradigma segar telah terbentuk, diperlukan sebuah inisiasi semangat untuk mengkatalisasi gerakan pembangunan unit usaha tersebut. Inisiasi ini dengan memberikan bantuan berupa modal awal yang disertai monitoring selanjutnya. Lalu, perlu digelar sebuah medan kompetisi untuk dapat mengembangkan usaha tersebut dengan baik.

3. Technopreneurship

    Setelah memiliki kompetensi teknologi dan jiwa entrepreneurship, hal terakhir yang perlu dilakukan adalah mengintegrasikannya. Teknologi yang telah dimiliki kita kreasikan dan inovasikan untuk menyokong pengembangan unit usaha. Hal ini dapat dilakukan secara nyata dalam proses produksi (contoh: Microsoft), marketing (contoh: e-Bay), accounting, dan lain sebagainya. Kreativitas dan pemanfaatan teknologi dengan tepat adalah hal utama dalam mengembangkan jiwa technopreneurship.

Sumber : http://gibranhuzaifah.wordpress.com

MENUMBUHKAN JIWA dan KOMPETENSI KEWIRAUSAHAAN

image Oler : Herwan Abdul Muhyi

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Harapan untuk diterima di dunia kerja tentunya tidaklah keliru, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesempatan kerja pun sangat terbatas dan tidak berbanding linear dengan lulusan lembaga pendidikan baik dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Oleh sebab itu semua pihak harus terus berpikir dan mewujudkan karya nyata dalam mengatasi kesenjangan antara lapangan kerja dengan lulusan institusi pendidikan. Kesenjangan ini merupakan penyebab utama peningkatan angka pengangguran. Sedangkan pengangguran adalah salah satu permasalahan pembangunan yang sangat kritis khususnya di negara Indonesia termasuk di daerah-daerah di pelosok nusantara. Salah satu solusinya adalah dengan mencetak lulusan lembaga pendidikan yang memiliki potensi untuk mengembangkan keterampilannya menjadi usaha mandiri. Selain menjadi solusi bagi dirinya, seringkali usaha mandiri ini mendatangkan berkah bagi orang lain yang direkrut sebagai karyawan ataupun buruh pada usaha yang dirintisnya.
Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Telekomunikasi memaksa terbukanya kran persaingan global yang tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Setiap kita dituntut untuk dapat berkompetisi secara global diberbagai bidang, tak terkecuali bidang Sumber Daya Manusia yang merupakan pondasi dari sebuah negara untuk dapat bercatur pada tataran Internasional.
Kemampuan sumber daya manusia yang harus dimiliki tidak cukup sebatas mampu bersaing dalam memperebutkan peluang kerja yang ada namun bagaimana kita dapat menciptakan peluang pekerjaan tersebut bagi banyak orang. Dengan itu setiap kita dituntut untuk mampu dan mau berjiwa wirausaha sehingga menjadi kreatif dan inovatif dalam memunculkan ide-ide dan gagasan baru.
Kewirausahaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah fil-ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik (QS. 11/Hud : 61). Namun kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk memulai terjun berwirausaha. Kendala, rintangan dan kesukaran senantiasa menghampiri aktifitas didalamnya, namun demikian berbagai permasalahan yang datang adalah lembaran utama berupa proses menuju pendewasaan dan kematangan seorang entrepreneurship yang bermuara pada kesuksesan dalam mengelola suatu bidang usaha.
Dalam mencari bidang untuk berwirausaha, kita harus melihat peluang keuntungan yang di berikan bidang tersebut minimal dalam jangka 10 tahun kedepan. Salah satunya yakni di bidang pertanian, sebab di Indonesia sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi meski pada kenyataanya kemajuan dan perbaikan masih pelu di lakukan padasektor pertanian ini. Namun, pada periode pemerintahan sekarang fokus kepada kemajuan dan perbaikan pada sektor pertanian telah ditampakkan. Oleh sebab itu memilih bidang pertanian sebagai lapangan untuk berwirausaha tidaklah salah, hanya tergantung lagi pada kemampuan berwirausaha pihak-pihak yang ingin berkecimpung di bidang ini.
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah
Dalam mengkaji pokok bahasan dalam makalah “Menumbuhkan Jiwa dan Kompentesi Kewirausahaan” maka Penulis memberikan rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
a)Apa sikap dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan?
b)Bagaimana menumbuhkan jiwa dan kompetensi kewirausahaan?
TELAAH PUSTAKA
2.1. Inti dan Hakikat Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berfikir kreatif dan inovatif (Suryana, 2003). Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda melalui :
a). Pengembangan teknologi baru
b). Penemuan teknologi ilmiah baru
c). Perbaikan produk barang dan jasa yang ada
d). Penemuan cara-cara baru untuk menghasilkan barang yang lebih banyak dengan sumber daya yang efisien
Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang. Sedangkan inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang. Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda, sedangkan inovasi merupakan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baru dan berbeda (Meredith, 2002).
2.2. Jiwa dan Sikap Kewirausahaan
Jiwa dan sikap hakiki dari seorang wirausaha, adalah sebagai berikut: (Meredith, 2002)
1. Percaya diri (self confidence) Merupakan paduan sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan, yang bersifat internal, sangat relatif dan dinamis dan banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk memulai, melaksanakan dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Kepercayaan diri akan mempengaruhi gagasan, karsa, inisiatif, kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja, kegairahan berkarya. Kunci keberhasilan dalam bisnis adaalh untuk memahami diri sendiri. Oleh karena itu wirausaha yang sukses adalah wirausaha yang mandiri dan percaya diri. 2. Berorientasi tugas dan hasil Seseorang yang selalu mengutamakan tugas dan hasil, adalah orang yangselalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan kerja keras. Dalam kewirausahaan peluang hanya diperoleh apabila ada inisiatif. Perilaku inisiatif biasanya diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman bertahun-tahun dan pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis, tanggap, bergairah dan semanga berprestasi.
3. Keberanian mengambil risiko Wirausaha adalah orang yang lebih menyukai usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau kegagalan daripada usaha yangkurang menantang. Wirausaha menghindari situasi risiko yang rendah karena tidak ada tantangan dan menjauhi situasi risiko yang tinggi karena ingin berhasil. Pada situasi ini ada dua alternatif yang harus dipilih yaitu alternatif yang mengangung risiko dan alternatif yang konservatif .
4. Kempemimpinan Seorang wirausaha harus memiliki sifat kepemimpinan, kepeloporan, keteladanan. Ia selalu menampilkan produk dan jasa-jasa baru dan berbeda sehingga ia menjadi pelopor baik dalam proses produksi maupun pemasaran. Dan selalu memanfaatkan perbedaan sebagai suatu yang menambah nilai. 5. Berorientasi ke masa depan Wirausaha harus memiliki perspektif dan pandangan ke masa depan, kuncinya adalah dengan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dari yang ada sekarang. 6. Keorisinilan, Kreativitas dan Inovasi Wirausaha yang inovatif adalah orang yang memiliki ciri-ciri :
a). Tidak pernah puas dengan cara-cara yang dilakukan sat ini, meskipun cara tersebut cukup baik
b). Selalu menuangkan imajinasi dalam pekerjaannya
c). Selalu ingin tampil berbeda atau selalu memanfaatkan perbedaan
Menurut Everett E. Hagen (2003), ciri-ciri Innovational Personality sebagai berikut :
a.Openness to experience, terbuka terhadap pengalaman
b.Creative imagination, memiliki kemampuan untuk bekerja penuh imajinasi.
c.Confidence and content in one’s own evaluation, memiliki keyakinan atas penilaian dirinya dan teguh pendirian
d.Satisfiction in facing and attacking problems and in resolving confusion or inconsistency, selalu memiliki kepuasan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan
e. Has a duty or responsibility to achieve, memiliki tugas dan rasa tanggung jawab untuk berprestasi
f. Inteigence and energetic, memiliki kecerdasan dan energik
Sedangkan menurut Alma (2003), jalan menuju wirausaha sukses adalah mau kerja keras, bekerjasama, berpenampilan menarik, yakin, pandai membuat keputusan, mau menambah ilmu pengetahuan, ambisi untuk maju, dan pandai berkomonikasi.
Proses kreatif dan inovatif (Suryana: 2003) hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan yaitu :
a.Percaya diri (yakin, optimis dan penuh komitmen)
b.Berinisiatif (energik dan percaya diri)
c.Memiliki motif berprestasi (berorientasi hasil dan berwawasan ke depan)
d.Memiliki jiwa kepemimpinan (berani tampil berbeda dan berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan)
e.Suka tantangan Faktor pribadi yang mempengaruhi kewirausahaan : motif berprestasi, komitmen, nilai-nilai pribadi, pendidikan dan pengalaman. Sedangkan dari faktor lingkungan adalah peluang, model peran dan aktivitas (Alma, 2003).
PEMBAHASAN
3.1. Kompetensi Kewirausahaan Wirausaha yang sukses pada umumnya adalah mereka yang memiliki kompetensi yaitu : seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan. Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan individu yang langsung berpengaruh pada kinerja, Kinerja bagi wirausaha merupakan tujuan yang ingin dicapai. Harapan untuk diterima di dunia kerja tentunya tidaklah keliru, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesempatan kerja pun sangat terbatas dan tidak berbandng linear dengan lulusan lembaga pendidikan baik dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Oleh sebab itu semua pihak harus terus berpikir dan mewujudkan karya nyata dalam mengatasi kesenjangan antara lapangan kerja dengan lulusan institusi pendidikan. Kesenjangan ini merupakan penyebab utama peningkatan angka pengangguran. Sedangkan pengangguran adalah salah satu permasalahan pembangunan yang sangat kritis khususnya di negara Indonesia termasuk di daerah-daerah di pelosok nusantara. Salah satu solusinya adalah dengan mencetak lulusan lembaga pendidikan yang memiliki potensi untuk mengembangkan keterampilannya menjadi usaha mandiri. Selain menjadi solusi bagi dirinya, seringkali usaha mandiri ini mendatangkan berkah bagi orang lain yang direkrut sebagai karyawan ataupun buruh pada usaha yang dirintisnya. Adapun alasan-alasan seseorang tertarik untuk berwirausaha adalah sebagai berikut: 1. Alasan keuangan, untuk mencari nafkah, kaya, pendapatan tambahan 2. Alasan sosial, untuk memperoleh gengsi/status untuk dapat dikenal, dihormati dan bertemu orang banyak 3. Alasan pelayanan, memberi pekerjaan pada masyarakat 4. Alasan pemenuhan diri, untuk menjadi mandiri, lebih produktif dan untuk menggunakan kemampuan pribadi.
3.2. Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan
Mungkin kita pernah mendengar bahwa keluarga yang kaya akan memunculkan anak-anak yang kaya karena mereka terbiasa kaya. Begitu pula ada yang menganggap bahwa seseorang menjadi pengusaha karena memang bapak-ibunya, kakek-neneknya, dan sebagian besar keluarganya adlah keturunan pengusaha. Anggapan seperti ini menurut hemat penulis merupakan pemikiran yang keliru. Tidak bisa dipungkiri memang, ada banyak pengusaha yang lahir dari keluarga atau keturunan pengusaha. Tetapi bukan berarti diturunkan secara genetis. Mungkin hal ini terjadi karena aspek lingkungan pengusaha yang cukup kuat mempengaruhi jiwa orang tersebut untuk menjadi pengusaha. Menjadi wirausaha (entrepreneur) tentu saja merupakan hak azasi semua kita. Jangan karena mentang-mentang kita tidak punya turunan pengusaha sehingga menutup peluang untuk menjadi wirausaha. Langkah awal yang kita lakukan apabila berminat terjun ke dunia wirausaha adalah menumbuhkan jiwa kewirausahaan di diri kita. Banyak cara yang dapat dilakukan misalnya:
1. Melalui pendidikan formal. Kini berbagai lembaga pendidikan baik menengah maupun tinggi menyajikan berbagai program atau paling tidak mata kuliah kewirausahaan
2. Melalui seminar-seminar kewirausahaan. Berbagai seminar kewirausahaan seringkali diselenggarakan dengan mengundang pakar dan praktisi kewirausahaan sehingga melalui media ini kita akan membangun jiwa kewirausahaan di diri kita
3. Melalui pelatihan. Berbagai simulasi usaha biasanya diberikan melalui pelatihan baik yang dilakukan dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan outdoor). Melalui pelatihan ini, keberanian dan ketanggapan kita terhadap dinamika perubahan linghkungan akan diuji dan selalu diperbaiki dan dikembabngkan
4. Otodidak. Melalui berbagai media kita bisa menumbuhkan semangat berwirausaha. Misalnya melalui biografi pengusaha sukses (sucess story), media televisi, radio majalah koran dan berbagai media yang dapat kita akses untuk menumbuhkembangkan jiwa wirausaha yang ada di diri kita. Melalui berbagai media tersebut ternyata setiap orangdapat mempelajari dan menumbuhkan jiwa wirausaha. Pertanyaannya, aspek-aspek kejiwaan apa saja yang mencirikan bahwa seseorang dikatakan memilki jiwa wirausaha ?
Untuk membahas lebih lanjut mengenai pertanyaan tersebut, penulis akan mencoba membahas pendapat Suryana (2003) bahwa orang-orang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan yaitu :
a. Percaya diri (yakin, optimis dan penuh komitmen)
Percaya diri dalam menentukan sesuatu, percaya diri dalam menjalankan sesuatu, percaya diri bahwa kita dapat mengatasi berbagai resiko yang dihadapi merupakan faktor yang mendasar yang harus dimiliki oleh wirausaha. Seseorang yang memiliki jiwa wirausaha merasa yakin bahwa apa-apa yang diperbuatnya akan berhasil walaupun akan menghadapi berbagai rintangan. Tidak selalu dihantui rasa takut akan kegagalan sehingga membuat dirinya optimis untuk terus maju.
b. Berinisiatif (energik dan percaya diri)
Menunggu akan sesuatu yang tidak pasti merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh seseorang yang memiliki jiwa wirausaha. Dalam menghadapi dinamisnya kehidupan yang penuh dengan perubahan dan persoalan yang dihadapi, seorang wirausaha akan selalu berusaha mencari jalan keluar. Mereka tidak ingin hidupnya digantungkan pada lingkungan, sehingga akan terus berupaya mencari jalan keluarnya.
c. Memiliki motif berprestasi (berorientasi hasil dan berwawasan ke depan) Berbagai target demi mencapai sukses dalam kehidupan biasanya selalu dirancang oleh seorang wirausaha. Satu demi satu targetnya terus mereka raih. Bila dihadapkan pada kondisi gagal, mereka akan terus berupaya kembali memperbaiki kegagalan yang dialaminya. Keberhasilan demi keberhasilan yang diraih oleh seseorang yang berjiwa entrepreneur menjadikannya pemicu untuk terus meraih sukses dalam hidupnya. Bagi mereka masa depan adalah kesuksesan adalah keindahan yang harus dicapai dalam hidupnya.
d. Memiliki jiwa kepemimpinan (berani tampil berbeda dan berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan) Leadership atau kepemimpinan merupakan faktor kunci menjadi wirausahawan sukses. Berani tampil ke depan menghadapi sesuatu yang baru walaupun penuh resiko. Keberanian ini tentunya dilandasi perhitungan yang rasional. Seorang yang takut untuk tampil memimpin dan selalu melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, akan sulit meraih sukses dalam berwirausaha. Sifat-sifat tidak percaya diri, minder, malu yang berlebihan, takut salah dan merasa rendah diri adalah sifat-sifat yang harus ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh dari diri kita apabila ingin meraih sukses dalam berwirausaha.
e. Suka tantangan
Kita mungkin sering membaca atau menyaksikan beberapa kasus mundurnya seorang manajer atau eksekutif dari suatu perusahaan. Pa yang menyebabkan mereka hengkang dari perusahaannya dan meninggalkan kemapanan sebagai seorang manajer? Sebagian dari mereka ternyata merasa jenuh terus menerus mengemban tugas rutin yang entah kapan berakhirnya. Mereka membutuhkan kehidupan yang lebih dinamis yang selama ini belim mereka dapatkan di perusahaan tempat mereka bekerja. Akhirnya mereka menelusuri aktivitas seperti apakah yang dapat memuaskan kebutuhan mereka akan tantangan ? “Berwirausaha” ternyata menjadi pilihan sebagian besar manajer yang sengaja keluar dari kemapanannya di perusahaan. Mengapa “wirausah ?” Ternyata begitu banyak variasi pekerjaan dan perubahan yang sangat menantang dalam dunia wirausaha.
3.3. Menumbuhkan Kompetensi Kewirausahaan
Wirausaha yang sukses pada umumnya adalah mereka yang memiliki kompetensi yaitu : seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan. Keterampilan yang harus dimiliki :
a.Managerialskill Managerial skill atau keterampilan manajerial merupakan bekal yang yang tersebar berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Jalur informal, misalnya melalui seminar, pelatihan dan otodidak serta melalui pengalaman. harus dimiliki wirausaha. Seorang wirausahawan harus mampu menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan pengawasan agar usaha yang dijalankannya dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kemampuan menganalisis dan mengembangkan pasar, kemampuan mengelola sumber daya manusia, material, uang, fasilitas dan seluruh sumber daya perusahaan merupakan syarat mutlak untuk menjadi wirausaha sukses. Secara garis besar ada dua cara untuk menumbuhkan kemampuan manajerial, yaitu melalui jalur formal dan informal. Jalur formal misalnya melalui jenjang lembaga pendidikan sekolah menengah kejuruan bisnis dan manajemen atau melalui pendidikan tinggi misalnya departemenadministrasi niaga atau departemen manajemen
b. Conceptual skill Kemampuan untuk merumuskan tujuan, kebijakan dan strategi usaha merupakan landasan utama menuju wirausaha sukses. Tidak mudah memang mendapatkan kemampuan ini. Kita harus akstra keras belajar dari berbagai sumber dan terus belajar dari pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain dalam berwirausaha. c. Human skill (keterampilan memahami, mengerti, berkomunikasi dan ber Supel, mudah bergaul, simpati dan empati kepada orang lain adalah modal keterampilan yang sangat mendukung kita menuju keberhasilan usaha. Dengan keterampilan seperti ini, kita akan memiliki banyak peluang dalam merintis dan mengembangkan usaha. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan ini misalnyadenganmelatih diri diberbagai organisasi, bergabung dengan klub-klub hobi dan melatih kepribadian kita agar bertingkah laku mentenangkan bagi orang lain d. Decision making skill (keterampilan merumuskan masalah dan mengambil keputusan)
Sebagai seorang wirausaha, kita seringkali dihadapkan pada kondisi ketidakpastian. Berbagai permasalahan biasanya bermunculan pada situasi seperti ini. Wirausaha dituntut untuk mampu menganalisis situasi dan merumuskan berbagai masalah untuk dicarikan berbagai alternatif pemecahannya. Tidak mudah memang memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang ada. Agar tidak salah menentukan alternatif, sebelum mengambil keputusan, wirausaha harus mampu mengelola informasi sebagai bahan dasar pengambilan keputusan. Keterampilan memutuskan dapat kita pelajari dan kita bangun melalui berbagai cara. Selain pendiudikan formal, pendidikan informal melalui pelatihan, simulasi dan berbagi pengalaman dapat kita peroleh. e. Time managerial skill ( keterampilan mengatur dan menggunakan waktu) Para pakar psikologi mengatakan bahwa salah satu penyebab atau sumber stress adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengatur waktu dan pekerjaan. Ketidakmampuan mengelola waktu membuat pekerjaan menjadi menumpuk atau tak kunjung selesai sehingga membuat jiwanya gundah dan tidak tenang. Seorang wirausaha harus terus belajar mengelola waktu. Keterampilan mengelola waktu dapat memperlancar pelaksanaan pekerjaan dan rencana-rencana yang telah digariskan.
3.4. Sikap dan Mental Wirausahawan
Ada enam Sikap mental (minimal) yang perlu dimiliki oleh seorang wirausahawan agar sukses menjalankan wirausahanya adalah :
1. Kreatif dan Inovatif.
Bermental Wirausahawan terletak pada seberapa besar seseorang dapat mengekspresikan dan mengeksploitasi kemampuan dirinya, berimajinasi, senantiasa mendapatkan inspirasi, menciptakan atau memperbaharui sesuatu yang belum terpikirkan oleh orang lain dan hasil inovasinya itu menjadi sesuatu yang mempunyai nilai jual.
2. Optimis, Tegar Dan Ulet.
Rasa percaya diri yang tinggi (tidak berlebihan), tegar dan sangat ulet patut menjadi modal dasar dalam berwirausaha. Seseorang yang demikian tidak akan mudah putus asa, bahkan mungkin tidak pernah putus asa. Masalah akan dihadapinya dan bukan dihindari
3. Pekerja Keras.
Waktu kerja bagi seorang wirausahawan tidak ditentukan oleh jam kerja. Saat ia sadar dari bangun tidurnya, pikirannya sudah bekerja membuat rencana, menyusun strategi atau memecahkan masalah.
4. Multi Tasking.
Bermental Wirausahawan sejati artinya dia Mempu memandang sesuatu dalam perspektif/dimensi yang berlainan. Bahkan mampu melakukan multi-tasking (melakukan beberapa hal pekerjaan/solusi sekaligus).
5. Berhemat.
Wirausahawan yang bijaksana biasanya hemat dan sangat berhati-hati dalam menggunakan uangnya terutama jika ia dalam tahap awak usahanya. Setiap pengeluaran untuk kepentingan pribadi dipikirkannya secara serius sebab ia sadar bahwa sewaktu-waktu uang yang ada akan diperlukan untuk modal usaha atau modal kerja.
6. Berani Ambil Resiko.
Seorang wirausahawan berani mengambil resiko. Semakin besar resiko yang diambilnya, semakin besar pula kesempatan untuk meraih keuntungan karena jumlah pemain semakin sedikit.
Berikut penulis jelaskan Lima prinsip yang dikemukakan Dr. Rhenald Kasali tersebut tentang Entrepreneur Unggulan, yaitu :
- Reputasi (Kredibilitas).
Nama baik adalah modal dasar kita untuk terjun berwirausaha. Apapun yang kita miliki untuk meyakinkan seseorang (mitra) akan sia-sia adanya tanpa mempunyai reputasi, track record yang baik.
- Tumbuh dari bawah (Bottom Up).
Kesuksesan dalam berwirausaha tidak tiba-tiba datang begitu saja, sukses dimulai dari langkah kecil. Seiring berjalannya waktu, usaha yang kita geluti senantiasa ditemani oleh berbagai macam hambatan sehingga manakala kita dapat melaluinya, maka seiring itu pula kesuksesan demi kesuksesan terus kita raih.
- Istiqomah dan konsentrasi/ Fokus. Sikap Istiqomah adalah konsisten, tetap dan teguh. Tetap pada pendirian, tidak berubah, dan tahan uji. Sikap istiqomah akan melahirkan tiga pondasi Entrepreuner yaitu keberanian (Syajaah) dalam menggeluti dunia baru, ketenangan (Itminan) dalam menghadapi berbagai risiko, dan Tafaul (optimis) dalam meraih hasil/kesuksesan.
- Anti kerumunan.
Berusaha memasuki dunia usaha yang baru bukan bidang yang sudah dikelola oleh banyak orang, kecuali mampu memberikan nilai lebih terhadap kualitas produk tersebut.
- Modal hanya pelengkap. Modal (financial) menjadi alasan utama kenapa orang enggan atau sulit untuk berwirausaha padahal. Mereka berpikir Uanglah satu2nya penentu wirausaha itu dapat berdiri. Padahal kita bisa memulainya dengan tidak menggunakan modal uang sama sekali misalnya join dengan teman, relasi yang mempunyai modal dan kita turut serta mengelolanya atau jika ingin mendirikan usaha sendiri tanpa join dengan yang lain bisa dimulai dengan modal yang sangat kecil atau mengajukan pinjaman ke pihak lain (bank, kenalan atau saudara). Jika cerdas, kita bisa memulai suatu usaha tanpa modal uang sama sekali. Misalnya dengan sistem titip jual (konsinyasi).
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah “Menumbuhkan Jiwa dan Kompetensi Kewirausahaan” bahwa dalam meniti dunia usaha terlebih dahulu harus ditumbuh kembangkan jiwa dan kompetensi kewirausahaan, dan banyak cara yang dapat dilakukan untuk hal tersebut. Diantaranya adalah melalui pendidikan formal, melalui seminar-seminar kewirausahaan, melalui pelatihan, dan secara otodidiak. Orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan yakn mereka yang percaya diri, inisiatif, motif berprestasi, jiwa kepemimpinan, dan suka tantangan.
Selain menumbuh kembangkan dan memiliki jiwa serta kompetensi kewirausahaan, mereka wirausahawn juga perlu memiliki keterampilan khusus yakni managerial skill, conceptual skill, human skill, decision making skill, dan time managerial skill.
4.2. Saran
Pada bagian akhir dari penulisan makalah kewirausahaan ini, Penulis ingin menyampaikan harapan bahwa menumbuh kembangkan jiwa dan kompetensi kewirausahaan seharusnya di mulai sejak dini di lingkungan maupun di jenjang pendidikan masing-masing. Baik itu dengan metode dan cara yang sederhana maupun yang professional sekali pun.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2008. http//www. Wikipedia.com. Diakses tanggal 2 April 2009
Anonymous.2008. http//www.astra-agro.co.id. Diakses tnaggal 2 April 2009
Buchari Alma. 2003. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta. Longenecker, Justin G., et al. 2000. Kewirausahaan: Manajemen Usaha Kecil. Jakarta : Salemba Empat Meredith, Geoffrey G. 2002. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Jakarta : PPM Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suryana. 2003. Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Gramedia

PEMBELAJARAN METAKOGNITIF

PEMBELAJARAN METAKOGNITIF DALAM SRATEGI KOOPERATIF THINK-PAIR-SHARE DAN THINK-PAIR-SHARE+METAKOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF SISWA PADA BIOLOGI DI SMA NEGERI PALANGKARAYA

Oleh:
Yula Miranda

Universitas Palangkaraya, FKIP. Jurusan pendidikan MIPA. Prodi Biologi,
Jl. Yos Sudarso Tanjung Nyahu. Palangkaraya

Abstract:
The experimental research to know the influence of learning strategy TPS and TPS+M to metacognitive ability and to know the influence of student’s upper and lower academic ability to metacog-nitive ability. The purposes of the research which uses quasi-experiment design and the Nonequivalent Control Group Design 2×2 factorial version with each factor consists of 2 levels, to know the influence of independent variable (learning strategy) and secondary independent variable (academic ability) to dependent variable (metacognitive ability). The research population is all of the X grade students of SMAN who learn biology in Palangkaraya. The research sample is determined using Cluster Random Sampling technique. The research subjects are the X grade students of SMAN 2 Pahandut in Palangkaraya City of Central Kalimantan Province. The data of research is collected using the inventory strategies metacognitive. The inventory strategies metacognitive consist of 60 statements including students’ self- planning, self-monitoring, and self-evaluation in learning biology to measure the students metacognitive ability which is completed by learning journal, Students Work Sheet (LKS), metacognitive awareness sheet, and metacognitive activities. The learning equipments prepared and developed in this research such as syllabi, RPP, students’ work sheet, biology handbook, and learn journal. The research findings show that the TPS+M learning strategy is more potential to increase students’ metacognitive ability compare TPS learning strategy. The difference upper academic ability and lower academic ability didn’t give influence significantly to metacognitive ability. It can be concluded that the TPS+M strategy is more effective to be used in Palangkaraya students’ learning to improve the metacognitive ability than TPS strategy.

Kata Kunci: Pembelajaran metakognitif, strategi kooperatif think-pair-share, strategi TPS+M, kemampuan metakognitif.

image Proses pembelajaran yang dilaksanakan berhubungan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor dan disertai pembelajaran metakognitif akan memungkinkan peningkatan kesadaran siswa terhadap apa yang telah dipelajari. Hasil belajar siswa dapat dikatakan berkualitas apabila siswa secara sadar mampu mengontrol proses kognitifnya secara berkesinambungan dan berdampak pada peningkatan kemampuan metakognitif.
Pemerintah selalu memperbaharui kurikulum dengan tujuan untuk mem-perbaiki kualitas pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Pembaharuan yang telah dilakukan, di antaranya penyempurnaan Kurikulum Sekolah Menengah Atas Tahun 2004 (Depdiknas, 2003). Kurikulum 2004 disempurnakan untuk mengem-bangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam Kurikulum operasi-onal tingkat satuan pendidikan, disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan disingkat KTSP (Mulyasa, 2006:24). Pemerintah daerah di Propinsi Kalimantan Tengah juga telah berusaha untuk memperbaiki kemampuan siswa yang berhu-bungan dengan ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor serta mengembangkan kreativitas. Perbaikan kemampuan siswa dilakukan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas guru, penyiapan bahan ajar, dan mengembangkan peman-faatan lembar kerja siswa. Namun, masalah pembelajaran yang memberdayakan kemampuan metakognitif belum banyak terungkap. Proses pembelajaran dan pendidikan yang berkualitas terkait dengan kemampuan berpikir. Pembelajaran selama ini belum membelajarkan siswa memiliki kemampuan berpikir untuk menyadari apa yang telah dipelajari, memberdayakan siswa berpikir kreatif dan antusias serta termotivasi untuk mengetahui objek belajarnya melalui pelibatan aktif belajar, baik memecahkan masalah nyata dalam kehidupannya, maupun merangsang siswa untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang ada di ling-kungan sekitarnya (Winarno, Susilo, dan Soebagio, 2000). Peningkatan kemam-puan metakognitif secara signifikan merupakan efek yang dihasilkan dari pem-belajaran, baik pada diri siswa, lembaga maupun masyarakat, karena itu perlu dipertimbangkan strategi pembelajaran yang berpotensi untuk mengungkap kemampuan metakognitif.
Menurut Costa (1985) dalam proses pembelajaran ada 3 pengajaran berpi-kir, yakni teaching of thinking, teaching for thinking, dan teaching about thinking. Pada teaching of thinking. Pada kenyataan dalam pelaksanaan pembelajaran tidak mungkin melepaskan 3 aspek itu, antara teaching of thinking, teaching for think-ing, dan teaching about thinking terkait sangat erat, bahkan tak dapat dipisahkan (Sanjaya, 2006:106). Jika ketiga aspek itu dilaksanakan dalam pembelajaran di sekolah, maka dapat memfasilitasi kemampuan berpikir siswa, di antaranya untuk mempelajari biologi. Kemampuan berpikir yang diperlukan pada era globalisasi adalah terkait kemampuan berpikir tentang proses berpikir yang melibatkan berpi-kir tingkat tinggi dan dikenal dengan metakognisi (Phillips, Tanpa tahun). Eggen dan Kauchak (1996: 54) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi termasuk ber-pikir kreatif dan berpikir kritis, yang mencakup kombinasi antara pemahaman mendalam terhadap topik-topik khusus, kecakapan menggunakan proses kognitif dasar secara efektif, pemahaman dan kontrol terhadap proses kognitif dasar (metakognisi), maupun sikap dan pembawaan.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diberdayakan dengan member-dayakan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif terkait strategi maupun pelatihan metakognitif dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif (Green, Mc Donald, O’Donnell, dan Dansereau, 1992). Pada pembela-jaran kooperatif dapat dikembangkan keterampilan metakognitif karena pada pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi, di antara anggota kelompok (Abdur-rahman, 1999:178). Komunikasi di antara anggota kelompok kooperatif terjadi dengan baik karena adanya keterampilan mental, adanya aturan kelompok, adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya tujuan yang harus dicapai.
Pentingnya belajar biologi, selain mengkaji pengetahuan tentang makhluk hidup, juga usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap, keterampilan berpikir, serta meningkatkan keterampilan untuk menjalankan metode penyelidik-an ilmiah dalam bidang biologi melalui langkah-langkah metode ilmiah. Biologi dapat diterapkan dalam berbagai bidang (Sujadi dan Laila, 2004: 60). Pentingnya biologi dibelajarkan kepada siswa, karena biologi merupakan sarana untuk membantu menjawab berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan alam kehidupan dan memberikan bekal bagi perkembangan hidup seseorang. Biologi adalah dasar bagi bidang kedokteran, pertanian, dan upaya memelihara kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan karakteristik biologi dan fenomena-fenomena pembelajaran di sekolah selama ini, ada banyak penyebab masalah proses dan hasil belajar siswa dalam belajar biologi yang dirasa kurang optimal; salah satunya diduga berkaitan erat dengan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir yang penting bagi siswa adalah kemampuan metakognitif, karena siswa mengetahui belajar secara sadar. Sebaliknya, apabila siswa belajar dengan terpaksa agar dapat lulus ujian dengan baik, hal ini berbeda maknanya bagi siswa. Siswa dapat mencapai kondisi belajar secara sadar, menurut Vygotsky ditekankan pada sosiokultural dalam pembelajaran, yakni interaksi sosial melalui dialog dan komunikasi verbal. Pembelajaran yang menekankan pada sosiokultural adalah pembelajaran koope-ratif. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa (Smith,1984 dalam Corebima, 2006b: 20).
Pembelajaran kooperatif berkontribusi pada hasil belajar dan membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, serta dapat menerima prestasi me-nonjol dalam tugas pembelajaran akademik. Pembelajaran kooperatif ini ber-manfaat bagi siswa untuk menjadi tutor sebaya bagi siswa lain yang berkemam-puan rendah, untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa yang berkemam-puan tinggi, untuk menumbuhkan kemampuan kerjasama dan kemampuan metakognitif. Kemampuan yang diperoleh siswa sebagai hasil pembelajaran kooperatif akan tumbuh dan berkembang karena adanya kesadaran dan kontrol terhadap aktivitas kognitif. Kesadaran dan kontrol terhadap aktivitas kognitif dikenal sebagai metakognisi, sedangkan cara siswa meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir dan pembelajaran yang berlangsung dikenal sebagai strategi metakognitif.
Hasil penelitian para ahli psikologi kognitif tentang perbedaan antara siswa yang kurang pandai dan lebih pandai menunjukan bahwa kemampuan metakognitif adalah sangat penting (Djiwandono, 2006: 167). Kemampuan meta-kognitif siswa dapat diberdayakan melalui strategi-strategi pembelajaran di sekolah. Kemampuan metakognitif untuk memonitor hasil belajar siswa sendiri dengan menggunakan strategi tertentu, agar belajar dan mengingat dapat berkembang. Mengidentifikasi ide-ide penting dengan menggarisbawahi atau menemukan kata kunci pada bahan bacaan, kemudian merangkai menjadi satu kalimat dan menulis kembali pada jurnal belajar, meramalkan hasil, memutuskan bagaimana menggunakan waktu dan mengulang informasi merupakan keterampil-an berpikir tingkat tinggi. Strategi yang digunakan untuk mengetahui proses kognitif seseorang dan caranya berpikir tentang bagaimana informasi diproses dikenal sebagai strategi metakognitif (Arends, 1998). Strategi metakognitif adalah strategi yang digunakan siswa atau pebelajar dalam kegiatan pembelajarannya (Corebima, 2006a: 10).
Menurut Dirkes (1998) strategi metakognitif dasar adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan terdahulu, memilih strategi berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi proses berpikir. Arends (1997) mengemukakan pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan sese-orang tentang pembelajaran diri sendiri atau kemampuan untuk menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan benar. Berdasarkan makna strategi metakognitif dasar dan pengetahuan metakognitif (Dirkes, 1998; Arends, 1997), bahwa pembelajaran metakognitif bagi siswa adalah penting. Jika siswa telah memiliki metakognisi, siswa akan terampil dalam strategi metakognitif. Siswa yang terampil dalam strategi metakognitif akan lebih cepat menjadi anak mandiri (Kompas, 12 Pebruari 2006).
Butler & Winn (1995 dalam Slavin, 2000), Pressley, Harris & Marks (1992), Presley (1990), menyatakan bahwa keterampilan berpikir dan kete-rampilan belajar adalah contoh-contoh keterampilan metakognitif. Manfaat meta-kognisi bagi guru dan siswa adalah menekankan pemantauan diri dan tanggung jawab guru dan siswa. Pemantauan diri merupakan keterampilan berpikir tinggi. Howard (2004) menyatakan keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komu-nikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah. Peneliti yakin, bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar (Deshler, Ellis & Lenz, 1996 dalam Corebima, 2006a). Livingston (1997) menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran, karena pengajar mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin, 2001).
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakog-nitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi. Sikap siswa lebih positif terhadap pelajaran sejarah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi metakognitif dan strategi pemecahan masalah secara signifikan dapat meningkatkan prestasi akademik, kesadaran metakognitif, dan pengetahuan metakognitif (Ponnusamy, Tanpa tahun: 133). Menurut Abdurrah-man (1999:179) prestasi akademik banyak terkait dengan kemampuan memori dan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif merupakan pemaham-an proses kognisinya sendiri dan kemampuan memantau strategi yang digunakan saat mempelajari suatu tugas.
Menurut Abdurrahman (1999:174) gaya kognitif berkaitan dengan cara seseorang menghadapi tugas kognitif, terutama dalam pemecahan masalah. Gaya kognitif impulsif-reflektif terkait dengan penggunaan waktu yang digunakan siswa untuk menjawab persoalan dan jumlah kesalahan yang dibuat. Siswa yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi banyak membuat kesalahan, sedangkan siswa reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan. Gaya kognitif siswa yang impulsif menjadi penyebab timbulnya problema yang bukan hanya akademik tetapi juga perilaku. Solusi bagi siswa yang impulsif perlu memperoleh latihan untuk merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang hati-hati.
Menurut Goleman (2007: 414) sistem pemahaman impulsif yang berpengaruh besar, adalah pikiran emosional. Lebih lanjut, dikemukakan ciri utama pikiran emosional, yakni respons yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat dari pada pikiran rasional, langsung melompat tanpa mempertimbangkan sekejap pun apa yang dilakukannya. Kecepatan itu, menge-sampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir atau tindakan pikiran rasional. Bagian lain, Goleman (2007: 11) menyatakan bahwa tindakan pikiran rasional dan tindakan pikiran emosional secara fundamental berbeda, tetapi bersifat saling mempengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya disadari, lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati, dan merefleksi. Tetapi, bersamaan dengan itu ada sistem pemahaman lain yang impulsif dan berpengaruh besar, yakni pikiran emosional. Biasanya, ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran rasional, emosi memberikan masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan-masukan emosi tersebut. Namun, pikiran emosional dan pikiran rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi-mandiri; masing-masing mencer-minkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait, di dalam otak.
Perkembangan kognitif didasarkan pada suatu fungsi, berkenaan dengan organisasi, dan adaptasi (Dahar, 1988: 183-188). Di lain pihak, teori belajar Vy-gotsky menekankan pada integrasi antara aspek internal dan eksternal pada ling-kungan sosial belajar. Interaksi sosial dalam pembelajaran, terutama melalui dialog dan komunikasi verbal. Vygotsky yakin pembelajaran terjadi apabila siswa belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, tetapi terjangkau oleh sis-wa. Siswa mampu memecahkan masalah secara mandiri dan di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama teman sejawat yang lebih mampu (Ratu-manan, 2004: 46). Teori Vygotsky memiliki implikasi menginginkan seting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antarsiswa.
Pembelajaran kerjasama untuk memecahkan masalah dalam belajar siswa, dapat dilakukan dengan strategi kooperatif Think-Pair-Share (TPS). Strategi koo-peratif Think-Pair-Share dapat dijelaskan Think berarti berpikir, Pair berarti berpasangan, dan Share berarti berbagi. Pembelajaran kooperatif dengan TPS mengikuti langkah-langkah berpikir terhadap masalah yang diajukan oleh guru, berpasangan untuk berdiskusi tentang hasil pemikiran terhadap masalah yang diajukan oleh guru, dan berbagi hasil diskusi untuk seluruh siswa di kelas. Hasil diskusi dari pemecahan masalah yang diajukan oleh guru merupakan konsep yang dikonstruksi oleh siswa. Jika konsep yang dikonstruksi oleh siswa dari hasil diskusi kelompok sudah benar, maka akan menjadi milik siswa. Corebima dan Idrus (2006: 497) melaporkan bahwa siswa yang dibelajarkan dengan pola PBMP dalam TPS mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan hasil belajar kognitif siswa SMP. Lie (2002: 56) mengungkapkan pembelajaran dengan strategi kooperatif TPS, sebagai struktur kegiatan pembelajaran gotong royong dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan orang lain. Lebih lanjut, Lie (2002: 56) mengungkapkan strategi ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia siswa. Kooperatif TPS memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak dalam berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim, Rachmadiarti, Nur, & Ismono, 2000). Hasil penelitian menunjukkan strategi pembelajaran kooperatif TPS mampu meningkat-kan hasil belajar sebesar 34,9% dan lebih baik bila dibandingkan hasil belajar dengan pembelajaran konvensional (Agustini, 2005). Hasil penelitian lainnya, bahwa ada perbedaan signifikan antara hasil pembelajaran yang menggunakan TPS dengan yang tidak menggunakan TPS (Rahayu, 2005). Pemahaman konsep siswa pada strategi pembelajaran PBMP dalam TPS ternyata 27,4% lebih tinggi dibandingkan siswa pada strategi pembelajaran konvensional (Corebima & Idrus, 2006).
Selain itu, pembelajaran kooperatif mendorong atau memberdayakan perkembangan pembelajaran metakognitif (Green, Tanpa tahun). Scripted Cooperation, suatu pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh O’Donnell dan Dansereau (1992 dalam Corebima, 2006a) juga terbukti berguna pada proses metakognisi. Costa dan O’Leary (1992 dalam Corebima, 2006a: 17) mengidentifi-kasi beberapa kajian yang memperlihatkan bahwa siswa dapat mempelajari keterampilan metakognitif lebih baik, bilamana bekerja dalam kelompok-kelompok kooperatif. Lebih lanjut, dikemukakan mengenai peran pembelajaran kooperatif yang menggunakan pendekatan kontroversi konstruktif dapat men-dorong atau memberdayakan metakognisi siswa. Jika TPS dalam pembelajaran dilaksanakan bersama metakognitif, maka peluang peningkatan proses dan hasil belajar siswa lebih besar, karena disertai perencanaan diri, pemantauan diri, dan evaluasi diri saat proses pembelajaran berlangsung. Namun, siswa harus selalu memperhatikan tujuan belajar yang akan dicapai, waktu penyelesaian tugas, pengetahuan awal yang diperlukan untuk penyelesaian tugas, dan strategi-strategi kognitif yang digunakan dalam mencapai tujuan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena itu unggul untuk dikembangkan dalam proses belajar mengajar di sekolah (Ghiffard, 2008). Hasil penelitian lain, menunjukkan bahwa pemahaman konsep siswa yang mengalami pembelajaran berpola PBMP dalam strategi kooperatif TPS berbeda signifikan atau lebih tinggi dibanding kelas konvensional. Kemampuan berpikir siswa yang mengalami pembelajaran berpola PBMP dalam strategi kooperatif TPS, maupun kemampuan berpikir siswa kelas konvensional tidak berbeda signifikan (Corebima & Idrus, 2006). Berdasarkan karakteristik masing-masing strategi pembelajaran, pembela-jaran dengan strategi kooperatif TPS bersama metakognisi dan strategi kooperatif TPS, berpeluang untuk memberdayakan kemampuan metakognitif. Namun, peneliti terdahulu belum mengungkap strategi-strategi mana yang berpotensi secara efektif mampu memberdayakan kemampuan metakognitif, sehingga berdampak pada kualitas proses dan hasil belajar.

METODE
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh strategi pembelajaran TPS+M dan TPS terhadap kemampuan metakognitif, juga pengaruh kemampuan akademik siswa atas dan bawah terhadap kemampuan metakognitif. Metode penelitian, melalui rancangan penelitian quasi eksperimen menggunakan Nonequivalent Control Group Design versi faktorial 2 X 2 dengan tiap-tiap faktor terdiri atas 2 taraf, yakni untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (strategi pembelajaran) dan variabel bebas sekunder (kemampuan akademik) terhadap variabel terikat (kemampuan metakognitif). Populasi penelitian adalah semua siswa kelas X SMA Negeri Palangkaraya. Setiap kelas rata-rata memiliki 30 siswa. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik Cluster Random Sampling. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMAN 2 Pahandut Kota Palangkaraya Propinsi Kalimantan Tengah.
Data penelitian dikumpulkan dengan inventori strategi metakognitif. Inventori strategi metakognitif terdiri dari 60 butir pernyataan yang meliputi perencanaan diri, pemantauan diri, dan evaluasi diri siswa dalam belajar biologi yang dilengkapi dengan jurnal belajar, LKS, lembar kesadaran metakognitif, dan aktivitas metakognitif. Perangkat pembelajaran yang disediakan dan dikembang-kan dalam penelitian ini berupa silabus, RPP, LKS, materi pelajaran biologi, dan jurnal belajar.

HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji anakova pengaruh strategi pembelajaran terhadap kemampuan metakognitif diperoleh F hitung sebesar 3,23 dengan angka signifikan 0,01 karena itu, angka signifikan lebih kecil alpha 0,05 maka Ho tidak diterima. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan diterima yang berarti terdapat pengaruh signifikan strategi pembelajaran kooperatif TPS dan Konvensional terhadap kemampuan metakognitif. Hasil perbandingan rerata terkoreksi antarstrategi pembelajaran terhadap kemampuan metakognitif menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif TPS+M berbeda nyata dengan strategi lainnya. Hal ini berarti bahwa strategi pembelajaran TPS+M lebih berpotensi meningkatkan kemampuan metakognitif bila dibandingkan strategi pembelajaran lainnya. Jika dinyatakan dalam persen, maka kelas dengan strategi pembelajaran kooperatif TPS+M memiliki kemampuan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS dan 7,82% lebih tinggi daripada Konvensional.

PEMBAHASAN
Hasil analisis kovarian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran koope-ratif TPS+M secara signifikan memberikan pengaruh yang lebih berpotensi dalam meningkatkan kemampuan metakognitif, dibandingkan dengan strategi pem-belajaran kooperatif TPS dan Konvensional. Temuan ini mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif TPS+M memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan persoalan dengan berlatih berpikir merencanakan bagaimana masalah itu dapat diselesaikan bersama teman lain, kemudian berpikir apakah persoalan itu sudah dapat diselesaikan dengan baik, selanjutnya berpikir apakah tujuan belajarnya telah tercapai, ternyata berdampak pada tindakan siswa lebih kepada tindakan pikiran rasional ketimbang tindakan pikiran emosional.
Kelas dengan strategi pembelajaran kooperatif TPS+M memiliki kemam-puan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS dan 7,82% lebih tinggi daripada Konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa strategi TPS+M ada kecocokan dengan karakteristik siswa di Kalimantan Tengah. Faktor-faktor karakteristik siswa ini, meskipun masih memerlukan penelitian lebih cermat, diduga ikut mempengaruhi kesesuaian penerapan strategi TPS+M lebih tinggi daripada strategi lainnya pada siswa di Kalimantan Tengah. Temuan ini tidak sejalan dengan beberapa pendapat guru dalam Lie (2002: 27) bahwa melaksanakan sistem kerjasama di dalam kelas akan terjadi kekacauan di dalam kelas dan siswa tidak belajar jika ditempatkan dalam kelompok, karena ada siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam kelompok. Namun, temuan penelitian ini mendukung pernyataan Narang (2007) bahwa masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan jiwa toleransi yang tinggi serta kooperatif. Demikian pula temuan dalam penlitian ini mendukung pendapat Lie (2002) bahwa hal-hal yang dikuatirkan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar pada kenyataannya tidak terjadi, karena guru yang membelajarkan siswa dengan strartegi TPS+M benar-benar telah menerapkan prosedur pembelajaran kooperatif strategi TPS+M yang telah dirancang dalam RPP dan LKS. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil catatan pengamat selama pembelajaran berlansung dalam satu semester yang mengatakan bahwa tampak ada peningkatan kesadaran dan kontrol diri siswa dalam melakukan proses pembelajaran biologi.
Proses berpikir yang mengutamakan tindakan pikiran rasional telah dilaku-kan siswa dalam strategi TPS+M, baik secara individu maupun dengan pasangan-nya, bahkan pada saat berbagi kepada kelas melalui presentasi hasil tugas belajar dalam LKS, siswa tetap melakukan pemantauan dan penilaian terhadap hasil dis-kusi mereka. Hal ini terjadi, karena siswa menyadari bahwa belajar merupakan kebutuhan bagi mereka dalam mempelajari biologi. Temuan ini didukung oleh penilaian guru terhadap siswa menggunakan Rating Scale Kesadaran Metakognitif terungkap bahwa kesadaran metakognitif siswa yang belajar dengan strategi koo-peratif TPS+M sudah dapat digunakan secara teratur untuk mengatur proses berpikir dan belajarnya sendiri, serta mampu menggunakannya dengan lancar. Selain itu, hasil refleksi guru pada dirinya dalam butir 3 bahwa guru telah mene-kankan pengembangan belajar agar siswa aktif sesuai yang diharapkan dalam langkah strategi kooperatif TPS+M menyadarkan siswa akan metakognitif dengan lebih memusatkan perhatian pada kegiatan pembelajaran selama kegiatan pem-belajaran berlangsung. Temuan dalam penelitian ini juga mendukung teori yang menyatakan kemampuan metakognitif dapat diperbaiki agar siswa lebih berfungsi efektif apabila dibelajarkan dengan strategi pembelajaran yang memberikan siswa kesempatan mengatur dirinya dalam belajar (Blake, Spence, dan Sheila, 1990). Temuan penelitian ini searah dengan hasil penelitian (Corebima & Idrus, 2005; Habibah, 2008: 52) bahwa strategi pembelajaran PBMP+TPS berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan keterampilan metakognitif, yang menunjukkan bahwa keterampilan metakognitif siswa kelas eksperimen lebih tinggi 9,16% daripada siswa kelas kontrol.
Menurut Goleman (2007:11), tindakan pikiran rasional dan tindakan pikiran emosional secara fundamental berbeda, tetapi bersifat saling mempe-ngaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya disadari, lebih menonjol kesadarannya, bijak-sana, mampu bertindak hati-hati, dan merefleksi. Tetapi, bersamaan dengan itu ada sistem pemahaman yang lain impulsif dan berpengaruh besar, yakni pikiran emosional. Lebih lanjut, dikemukakan ciri utama pikiran emosional, yakni respons yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional. Kecepatan itu, mengesampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir (Goleman, 2007: 414). Karena adanya 2 tindakan pikiran berbeda yang saling mempengaruhi kehidupan mental manusia, maka kooperatif TPS+M sebagai salah satu strategi pembelajaran yang lebih berpotensi memfasilitasi siswa untuk lebih memanfaatkan pikiran rasional dalam bertindak.
Temuan ini menunjukkan kelas dengan strategi TPS+M memiliki kemam-puan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS. Hal ini, karena strategi kooperatif TPS+M yang merupakan kombinasi dari TPS dan metakognitif dapat berperan sebagai sarana bagi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kecocokan antara strategi kooperatif TPS+M yang digunakan dalam pembelajaran biologi bagi siswa di Kalimantan Tengah, karena strategi kooperatif TPS+M lebih menekankan pada pembiasaan berpikir secara langsung pada siswa melalui aktivitas belajar dengan berpasangan, baik dalam merencanakan aktivitas yang dilakukan maupun memantau dan mengevaluasi hasil kinerja yang telah dilakukan dalam menyelesaikan masalah dan melatih keterampilan sosial melalui presentasi kelas. Selain itu, karakteristik siswa di Kalimantan Tengah cenderung aktif jika ada stimulus yang cocok untuk membangkitkan potensinya dan moti-vasi instrinsik yang telah dimiliki dalam mencapai tujuan belajarnya. Temuan ini, mendukung pernyataan Corebima (2007) bahwa strategi metakognitif adalah strategi yang digunakan siswa atau pebelajar dalam kegiatan pembelajarannya. Selain itu, TPS+M memfasilitasi siswa untuk bekerjasama, yang cocok dengan karakter siswa yang mudah menerima pihak lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini mendukung pernyataan Narang (2007) bahwa masyarakat Dayak Kaliman-tan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan jiwa toleransi yang tinggi serta koo-peratif. Lebih lanjut dikatakan, karakter ini tercermin dalam falsafah ”Huma Be-tang”, dimana dalam sebuah rumah besar adat tinggal bersama sejumlah keluarga dengan segala perbedaannya: status, sosial, ekonomi maupun agama. Karena itu, pembelajaran metakognitif melalui TPS+M sangat cocok untuk Kalimatan Tengah yang memiliki keanekaragaman anak suku. Livingston (1997) mengemukakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pem-belajaran berhasil, dan menegaskan bahwa aktivitas-aktivitas seperti merencana-kan bagaimana mendekati sebuah tugas belajar tertentu, memantau pemahaman, dan menilai perkembangan menuju penyelesaian sebuah tugas memiliki sifat metakognitif. Strategi metakognitif adalah suatu cara dalam pembelajaran untuk meningkatkan kesadaran dan memberdayakan keterampilan berpikir atas bimbing-an guru melalui proses yang digunakan siswa dalam mengamati belajar diri sendiri, mengontrol aktivitas kognitif, dan untuk memastikan bahwa sebuah tujuan kognitif terpenuhi.
Teori strategi metakognitif dari Flavell dan Brown bahwa ada 3 komponen yang digunakan, yakni perencanaan diri (self-planning), pemantauan diri (self-monitoring), dan penilaian diri (self-evaluation). Siswa yang mampu merencanakan perkiraan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, mengorganisasi materi, dan mengambil langkah yang tepat dalam belajar adalah siswa yang sadar akan kemampuannya. Menurut Rivers (2001), Schraw & Dennison (1994) siswa yang terampil melakukan penilaian terhadap diri sendiri adalah siswa yang sadar akan kemampuannya. Peter (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognisi memungkinkan siswa berkembang sebagai pebelajar mandiri, karena siswa di dorong menjadi penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri. Keterampilan metakognisi diperlukan siswa untuk memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998).
Strategi kooperatif TPS+M membantu pengelolaan belajar pada perenca-naan, pemantauan aktivitas kognitif, dan mengevaluasi hasilnya. Hal ini sejalan dengan (Peirce, 2004: 3) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup perenca-naan diri pada tujuan, pemantauan diri, dan evaluasi diri selama proses berpikir dan menulis sendiri tentang apa yang dipikirkan. Lebih lanjut, dikemukakan keti-ka siswa memantau belajar mereka, maka siswa ini menjadi sadar masalah-masa-lah potensial dalam belajar. Strategi belajar metakognitif yang digunakan siswa, yakni membaca naskah materi, menemukan kata kunci, menulis satu kalimat de-ngan kata-kata sendiri dari apa yang dipelajari pada jurnal belajar dan LKS, de-ngan membelajarkan strategi belajar demikian, siswa dapat di dorong pemaham-annya. Hasil penelitian ini, senada dengan hasil beberapa penelitian yang dikemu-kakan oleh Degeng (1989) bahwa tugas membuat ringkasan dari bahan yang di-baca menunjukkan adanya peningkatan perolehan hasil belajar pada siswa. Siswa dapat berpikir tentang proses berpikirnya (Livingston, 1997; Arends, 1998; Peter, 2000) dan menerapkan strategi belajar khusus untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit (Pressley, 1990). Implikasi hasil penelitian ini dapat mening-katkan kemampuan metakognitif siswa yang berguna bagi siswa mempelajari biologi sehingga hasil belajarnya meningkat.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Strategi pembelajaran kooperatif TPS+M secara signifikan lebih berpo-tensi meningkatkan kemampuan metakognitif dibanding strategi pembelajaran lainnya. TPS+M memiliki kemampuan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS dan 7,82% lebih tinggi daripada Konvensional. Karena itu, strategi TPS+M efektif digunakan membelajarkan siswa di Kalimantan Tengah dalam meningkatkan kemampuan metakognitif dibanding strategi lainnya. Hal ini terkait sekali dengan karakteristik strategi TPS+M yang cocok dengan karakteristik siswa di Kalimantan Tengah. Faktor-faktor karakteristik siswa ini, meskipun masih memerlukan penelitian lebih cermat, diduga ikut mempengaruhi kesesuaian penerapan strategi TPS+M lebih baik daripada strategi lainnya pada siswa di Kalimantan Tengah. Selain itu, juga diduga ikut berpengaruh adalah kesesuaian strategi TPS+M dengan karakteristik materi pembelajaran.

Saran
Guru yang mengembangkan kemampuan metakognitif siswa sebaiknya menggunakan strategi pembelajaran kooperatif TPS+M dengan menyertai persyaratan sebelum, saat, dan setelah kegiatan pembelajaran sebagai berikut: 1) Guru memberikan pengarahan mengenai pentingnya belajar metakognitif bagi siswa sekarang dan masa mendatang, 2) Guru sebagai teladan bagi siswa membiasakan diri untuk selalu membuat perencanaan diri, monitoring diri, dan evaluasi diri sebelum, saat, dan setelah pembelajaran berlangsung, dan 3) Guru membangun kejujuran, disiplin diri, tanggungjawab dan kerjasama siswa melalui tugas-tugas yang dilakukan siswa dengan memanfaatkan karakteristik yang telah dimiliki siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw Hill Companies, Inc.

Arends, R. I. 1998. Learning to Teach. New York: Mc Grow Hill. Inc.

Corebima, A. D. 2006a. Metakognisi: Suatu Ringkasan Kajian. Makalah disajikan dalam Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-guru Biologi SMA, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.

Corebima, A. D. 2006b. Pembelajaran Biologi yang Memberdayakan Kemampuan Berpikir Siswa. Makalah disajikan dalam Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-guru Biologi SMA, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.

Corebima, A. D. & Idrus, A. A. 2006a. Pemberdayaan Dan Pengukuran Kemam-puan Berpikir Pada Pembelajaran Biologi. Makalah disajikan dalam International Conference On Measurement And Evaluation In Education, School of Educational Studies Universiti Sains Malaysia Penang, Malaysia, 13-15 February.

Corebima, A. D. & Idrus, A. A. 2005b. Pengaruh Pembelajaran berpola PBMP (TEQ) terhadap Kemampuan Berpikir dan Pemahaman Konsep pada Pembelajaran IPA Biologi di Beberapa SMPN Kota dan Kabupaten Malang Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang. Email: durancorebima@yahoo.com.

Costa, A. L. 1985. Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

Degeng, N. S. 2000. Materi Pelatihan Pekerti. Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang.

Depdiknas, 2003. Kurikulum 2004 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Biologi. Jakarta: Depdiknas.
Dimyati & Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dirkes, M. A. 1998. Selfdirected Thingking In Curriculum Roeper Review, 11 (2), 92-94.

Djiwandono, S. E. W., 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Eggen, P. D. & Kauhack, D. P. 1996. Strategies for Teachers: Teaching Content and Thingking Skills. Boston: Allyn and Bacon.

Flavell & Cindy. 1976. Metacognition, (Online), (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=metacognisi&btnG.Telusuri+Google&meta= , diakses 5 Desember 2005).

Freeman, J. T. & Cohen, M. S. Tanpa Tahun. Training Metacognitive Skills for Situation Assessment. Cognitive Technologies, Inc. 4200 Lorcom Lane Arlington, Virginia 22207 301-948-4022, (Online), (Email cti@access.digex.net, diakses 11 Maret 2006).

Green, N. Tanpa tahun. What The Research Says about Cooperative Learning, (Online), (norms@rogers.com, diakses 5 Desember 2006).

Green, R. 2002. Better Thinking Better Learning: An Introduction To Cognitive Education, (Online), (http:/curriculum.pgwc.gov.za/curr dev/cur home/better think/index.htm, diakses 5 Desember 2006)

Goleman, D., 2007. Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting dari pada IQ. Terjemahan oleh Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Herman, J. L., 1997. Large-Scala Assessment in Support of School Reform: Lessons in the Search for Alternative Measures. Los Angeles: National Center for Research on Evaluation, Standards, and Student Testing (CRESST) University of California.

Hollingworth, R. W., & Mcloughlin, C. 2001. Developing Science Student’s Metacognitive Problem Solving Skills. Journal of Educational Technology. Australian, 17(1), 50-63.

Howard, J. B. 2004. Metacognitive Inquiry. School of Education Elon University, (Online), diakses 11 Maret 2006.

Ibrahim, M. 2005. Strategi Pembelajaran Inovatif untuk Pembelajaran Fisika. Makalah. Disampaikan pada Symposium Fisika Regional Kalimantan. Ibrahim, M., & Nur, M. 2001. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.

Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur M & Ismono, 2000. Pembelajaran Kooperatif. Unessa-University Press.

Imel, S. 2002. Metacognitive Skills for Adult Learning: Trend and Issues Alert no. 39, diakses 11 Maret 2006.

Jacobs, G. M., Lee, G. S. & Jessica Ball, 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Education on Cooperative Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.

John Dewey. Pengalaman dan Pendidikan. Alih Bahasa oleh John de Santo 2008. Jogjakarta: Kepel Press.

Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. A Sage Publications company Thousand Oaks.
Kayashima, M. & Inaba, A. Tanpa Tahun. The Model of Metacognitive Skill and How to Facilitate Development of the Skill, (Online), (kayasima@lit.tamagawa.ac.jp, diakses 11 Maret 2006).

Kuiper, R. 2002. Enhancing Metacognition through the Reflective Use of Sel-Regulated Learning Strategies. Journal of Continuiting Education in Nursing 33, no: 278-87.

Kung, R. L., Danielsson, A. & Linder, C., 2005. Metacognition in the Student Laboratory: Is Increased Metacognition Necessarily Better?. EARLI Symposium Coming to Know the University Culture of Learning in Science and Engineering, August 2005. Sweden: Fysiska Institutionen, Uppsala Universitet, Uppsala, S 75121.
Lawson, A. E., 2000. The Generality of Hypothetico-Deductive Reasoning: Making Scientific Thinking Explicit. The American Biology Teacher. 62(7). P. 482-495.

Lie, A. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning Di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Livingston, J.A. 1997. Metacognition: An Overview, (Online), (http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metacog.htm), diakses 11 Maret 2006.

McDonald, S. C., Anju, R. Formenting Metacognitive Skills Through Cooperative Learning in a Scientific Concept-Learning Taks using Hypermedia. Educational Technology Unit The Office of Biomedical Research Education and Training School of Medicine, Vanderbilt University and The Educational Technology Departement, Chiangmai University, Thailand. Instructional Design and Technology Unit, School of Medicine, UCLA, (Online), diakses 11 Maret 2006.

Mittlefehldt, S. & Grotzer, T. 2003. Using Metacognition to Facilitate the Transfer of Causal Models in Learning Density and Pressure. Presented at the National Association of Research in Science Teaching (NARST) Conference Philadelphia, PA, March 23-26, 2003. Harvard University of Education 124 Mt. Auburn Street, 5th Floor Cambridge, MA 02138, (Online) at http://pzweb.harvard.edu/Research/UCProject.htm or send us an email at Sarah_Mittlefehldt@PZ.Harvard.Edu.

Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

National Research Council, 2002. Inquiry and The National Science Education Standards. Washington, D. C. National Academy Press.

National Research Council, 2001. Classroom Assessment and The National Science Education Standards. Washington D.C. National Academy Press.
Narang, A. T., 2007. Profil Propinsi Kalimantan Tengah, (Online), (http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/agustin-teras-narang/mti/mti-36-08.shtml, diakses 23 Agustus 2008.

Nur, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.

Nur, M. 2000. Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: University Press.
Nuryani, R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Penerbit Universi-tas Negeri Malang.

Ponnusamy, R. Tanpa tahun. The Impact of Metacognition And Problem Solving Strategies Among Low-Achievers In History, (Online), diakses 6 Oktober 2007.

Peirce, W. 2004. Metacognition: Study Strategies, Monitoring, and Motivation. A Greatly Expanded Text Version of a workshop Presented November 17, 2004, at Prince George’s Community College. (Online), Diakses, 5 Desember 2006.

Peters, M. 2000. Does Constructivist Epistemology Have a Place in Nurse Education. Journal of Nursing Education 39, no. 4: 166-170.

Phillips, J. A., Tanpa Tahun. Metakognisi. Malaysia: Faculty of Education, Arts & Social Sciences Open University Malaysia, (Online), (e-mail: johnarul@oum.edu.my . website: http://www.oum.edu.my , diakses
5 Desember 2006).

Pressley, M., Tanpa tahun. Metacognition in Literacy Learning: Then, Now, and in the Future. Michigan State University,(Online), (http://www.msularc.org/IsraelBlockChapter.pdf, diakses 13 Mei 2006).

Ratumanan, T. G, 2004. Belajar dan Pembelajaran. Edisi Ke-2. Surabaya: Unessa University Press.

Rivers, W. Summer . 2001. Autonomy at All Cosis. An Ethnography of Metacognitive Self-Assessment and Self-Management among Experienced Language Leaners. Moderns Language Journal 86, no 2: 279-290.

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Schraw, G. 1998. Promoting General Metacognitive Awareness Instructional Science. 26, no 1-2: 13-125.

Schraw, G. & Dennison, R. S. 1994. Assessing Metacognitive Awareness.
Contemporary Educational Psycology 19 no 4. 460-475.

Shavelson, R.J. & Ruiz-Primo, M. A., 1998, On the Assessment of Science Achievement Conceptual Underpinnings for the Design of Performance Assessment: Report of Year 2 Activities. Los Angeles: Center for the Study of Evaluation National Center for Research on Evaluation, Standards, and Student Testing & Graduate School of Education 7 Information Studies. California: University of California.

Shimamura, A. P., 2000. Toward a Cognitive Neuroscience of Metacognition. Consciousness and Cognition 9, p.313-323. doi:10.1006/ccog.2000.0450, available online at, (Online), (http://www.idealibrary.com on). Departement of Psychology (1650), University of California, Berkeley, Berkeley, California 94720 (E-mail: aps@socrates.berkeley.edu, diakses 5 Desember 2006).

Slameto, 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Slavin, E. R. 2000, Educational Psychology, Theory and Practice. 6th Ed. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon.

Slavin, E. R. 1995. Cooperative Learning. 2th Ed. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon.

Slavin, E. R. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Terjemahan oleh Nurulita. Bandung: Nusa Media.

Sudjadi, B. & Laila, S. 2004. Biologi: Sains dalam Kehidupan. Surabaya: Yudhistira.

Sugiarso. 2004. Strategi Pembelajaran Kognitivistik: Kajian Teoritik dan Temuan Empirik. Surabaya: Reksa Budaya.

Susan, E., Israel, Kathryn, L.,Bauserman, Block, C. C. Tanpa Tahun. Metacognitve Assessment Strategies, (Online), (http://www.ctnet/rcwt.consortium, diakses 11 Maret 2006).

Susantini, E. 2004. Memperbaiki Kualitas Proses Belajar Genetika melalui Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Kooperatif pada Siswa SMU. Disertasi tidak diterbitkan. Malang. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Susilo, H. 2007. Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Assessmen dalam Strategi Kooperatif. Makalah disajikan dalam Pelatihan Pengembangan Asesmen Autentik dan Kemampuan Berpikir serta Implementasinya dalam Pembelajaran Kooperatif. Universitas Muhammadiyah. Malang. 29Januari.

Supramono. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) Salah Satu Alternatif dalam Pembelajaran Biologi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-guru Biologi SMA, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.

Tuckman, B. W., 1999. Conductiong Educational Research. 2th Ed. San Diego, New York, Chicago, Atlanta, Washington, D.C, London, Sydney, Toronto: Harcout Brace Jovanonich, Publishers.

 

Didapat dari : http://www.ilmupendidikan.net/