Har Magazine official website | Members area : Register | Sign in

Evaluasi dan Asesmen

Monday, September 26, 2011

Evaluasi adalah proses melakukan pertimbangan nilai tentang sesuatu (produk, kinerja, tujuan, proses, prosedur, program pendekatan, fungsi). Evaluasi Belajar dan Kemampuan (dapat menghasilkan kelulusan). Evaluasi sering menggunakan asesmen.

Asesmen adalah proses untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan pada evaluasi. Asesmen atau penilaian merupakan tahapan dalam proses belajar mengajar yang relatif cukup rumit pelaksanaannya. Penilaian sering diterjemahkan dari dua istilah asing yang sebenarnya memiliki makna berbeda. Dua istilah tersebut adalah evaluation dan assessment.

Assessment merupakan proses pengumpulan dan diskusi tentang informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, dalam rangka mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang apa yang sudah diketahui dan dipahami oleh mahasiswa, dan apa yang dapat mereka lakukan dengan pengetahuan dan pemahamannya itu sebagai hasil dari pengalaman belajar yang mereka peroleh. Melalui Assessment dapat ditentukan seberapa jauh kemajuan belajar mahasiswa. Melalui assessment dapat diketahui capaian competency level melalui program-program yang mereka tempuh dan memungkinkan bagi mereka untuk menunjukkan capaian standar sebagaimana yang telah ditetapkan. Assessment lebih bermakna sebagai penilaian yang dilakukan untuk memberikan ‘ grade’ baik secara numeric (misalnya skala 100 atau skala 5), abjad (A – F), dan deskripsi, baik yang menyangkut order seperti sangat baik, baik, cukup, kurang dan sebagainya atau yang bersifat dikotomi seperti kompeten atau tidak kompeten.

Banyak orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin Syamsuddin Makmun, 1996) memengemukakan bahwa : educational evaluation is the process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.

Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.

Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas. Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik dan upaya bimbingan yang diperlukan serta keberadaan kurikukulum itu sendiri.

Tujuan Penilaian

Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, diantaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.

1. Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment).

2. Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu.
3. Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi.
4. Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan.

5. Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan.
6. Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.

Dari keenam tujuan penilaian tersebut, tujuan untuk melihat tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, dan diagnostik merupakan peranan utama dalam penilaian. Sesuai dengan tujuan tersebut, penilaian menuntut guru agar secara langsung atau tak langsung mampu melaksanakan penilaian dalam keseluruhan proses pembelajaran. Untuk menilai sejauhmana siswa telah menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, seperti unjuk kerja/kinerja (performance), penugasan (proyek), hasil karya (produk), kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), dan penilaian tertulis (paper and pencil test). Jadi, tujuan penilaian adalah memberikan masukan informasi secara komprehensif tentang hasil belajar peserta didik, baik dilihat ketika saat kegiatan pembelajaran berlangsung maupun dilihat dari hasil akhirnya, dengan menggunakan berbagai cara penilaian sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.

Pendekatan Penilaian

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian hasil belajar, yaitu penilaian yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan. Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan. Kriteria atau patokan itu dirumuskan dalam kompetensi atau hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi. Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan. Dalam hal ini prestasi peserta didik ditentukan oleh kriteria yang telah ditetapkan untuk penguasaan suatu kompetensi. Meskipun demikian, kadang kadang dapat digunakan penilaian acuan norma, untuk maksud khusus tertentu sesuai dengan kegunaannya, seperti untuk memilih peserta didik masuk rombongan belajar yang mana, untuk mengelompokkan peserta didik dalam kegiatan belajar, dan untuk menyeleksi peserta didik yang mewakili sekolah dalam lomba antar-sekolah.

Penilaian adalah suatu proses sistematis yang meliputi pengumpulan informasi, analisis, dan interpretasi informasi tersebut untuk membuat keputusan-keputusan. Informasi yang dikumpulkan dapat berbentuk angka melalui tes dan atau deskripsi verbal (melalui observasi).

Penilaian terdiri atas penilaian eksternal (external assesment) dan penilaian internal (internal assesment). Penilaian external merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melakukan proses pembelajaran. Penilaian eksternal dilakukan oleh lembaga di luar sekolah, dan dimaksudkan antara lain untuk pengendali mutu.
Sedangkan penilaian internal adalah penilaian yang dilakukan dan direncanakan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung dalam rangka penjaminan mutu. Dengan demikian penilaian kelas merupakan penilaian internal.
Penilaian kelas merupakan penilaian internal terhadap proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru untuk menilai kompetensi peserta didik pada tingkat tertentu pada saat akhir pembelajaran. KTSP menuntut cara penilaian kelas sehingga diketahui perkembangan dan ketercapaian berbagai kompetensi peserta didik.

Penetapan Kriteria dan Tindak Lanjut Penilaian

Sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor 22/2006 tentang Standar Isi maka setiap sekolah harus mengembangkan Kurikulum Sekolah. Dalam mengembangkan kurikulum ini sekolah mengikutsertakan semua guru dan komite sekolah. Salah satu pengembangan kurikulum tersebut, sekolah harus menentapkan Kriteria Ketuntansan Minimal (KKM). Penetapan KKM ini akan menjadi standar patokan bagi guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran.

Penetapan KKM dilakukan untuk setiap mata pelajaran. Berdasarakan ketentuan, KKM merupakan ketuntasan belajar ideal. Oleh karena itu, penetapan dilakukan dengan memberi skor setiap indikator antara 0-100% dengan batas kriteria ideal minimal penguasaan sebesar 75%. Namun demikian, sekolah dapat menentukan KKM khusus di sekolah tersebut berdasarkan (1) kemampuan rata-rata peserta didik, (2) kompleksitas materi; dan (3) SDM tenaga pendidik.
Sekolah dapat menetapkan KKM di bawah batas kriteria ideal (di bawah 75%), tetapi secara bertahap harus dapat mencapai kriteria ketuntasan ideal. Tahap-tahap ini direncanakan dalam bentuk rencana strategis di sekolah tersebut.
Berdasarkan ketentuan dalam Standar Isi, maka KKM digunakan sebagai bahan saringan penguasaan siswa pada komptensi dasar yang dibelajarkan. Tindak lanjut dari suatu pengukuran ini, seorang guru harus mengambil keputusan sebagai suatu rangkaian asesmen. Keputusan yang dimaksud adalah menetapkan siswa mencapai KKM atau belum.

Apabila siswa telah mencapai KKM maka ditindaklanjuti dengan “program pengayaan”, sedangkan jika siswa belum mencapai KKM maka ia harus mengikuti “program remedial”. Kedua program tidnaklanjut ini masih sangat jarang dilakukan guru. Remedial biasanya hanya tes ulang, padahal seharusnya remedial dilakukan pembelajaran ulang, khususnya pada penguasaan materi yang dianggap masih kurang. Demikian pula dengan program pengayaan, biasanya pengayaan hanya dilakukan guru kepada siswa kelas IX (untuk SMP/MTs) atau XII (SMA/SMK atau MA/MAK) yang akan menghadapi Ujian Nasional.

Program remedial dilakukan kepada siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan belajar. Remedial dapat dilaksanakan setiap saat, baik pada jam efektif maupun di luar jam efektif. Penilaian kegiatan remedial dapat dilakukan dengan teknik tes maupun teknik nontes. Program pengayaan dilakukan terhadap siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar (KKM). Pengayaan dapat berbentuk tugas-tugas individual yang bertujuan untuk mengoptimalkan pencapaian hasil belajar siswa. Kegiatan pengayaan dapat dilaksanakan setiap saat, baik pada jam efektif maupun di luar jam efektif. Hasil penilaian kegiatan pengayaan dapat menambah nilai siswa pada mata pelajaran yang bersangkutan.
Demikianlah sepintas hal-hal yang harus dilakukan oleh guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran dan tindaklanjut dari kegiatan tersebut. Berbagai pemikiran positif tentang upaya meningkatkan kualitas penilaian pembelajaran merupakan salah satu kinerja seorang guru profesional.

Asesmen sendiri adalah proses mengumpulkan informasi tentang anak didik dan kelas untuk maksud-maksud pengambilan keputusan instruksional.

Sumber: http://desainwebsite.net/pendidikan

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU [1]

by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

image Ada yang istimewa dalam Peringatan Hari Guru Nasional XI (Kamis, 2 Desember 2004), karena Presiden mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan itu diharapkan menjadi tonggak kebangkitan guru untuk senantiasa terus meningkakan profesionalismenya dan sebagai upaya agar profesi guru menjadi daya tarik bagi putra-putri terbaik negeri ini untuk menjadi guru.

Sejak itu, gairah untuk segera menetapkan undang-undang profesi guru dan dosen menjadi semakin kentara. Kini, setelah sejumlah perangkat perundang-undangan dan anggaran yang belakangan terasa agak berat sudah dipenuhi, wacana bergeser ke arah sertifikasi guru. Tak mengherankan bila kini para guru dan sejumlah orang yang punya perhatian kepada guru, memperbincangkan soal kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.

Sajian pendek ini, yang diharapkan akan diikuti dengan sajian-sajian lain yang bersifat lebih teknis dan substantif, dimaksudkan sebagai pengantar untuk menempatkan secara proporsional profesi guru dalam konteks profesionalisasi keguruan. Hajatnya sederhana, bila dikehendaki atau menghendaki guru diterima dan diakui sebagai profesi, maka para guru sendiri harus memahami apa sebenarnya makna dan bagaimana tanggungjawab profesional itu. Secara agak sengaja, kupasan tentang sejumlah keistimewaan, misalnya gaji dan penghargaan, tidak begitu ditonjolkan, karena menilik asal katanya dorongan sejati seorang profesional sebenarnya bukan penghasilan atau penghargaan, melainkan kecintaan (to profess). Akan halnya gaji dan penghargaan atas suatu layanan profesional, harus disikapi sebagai konsekuensi dari layanan profesional yang penuh pengabdian dan kecintaan.

Vokasi, Okupasi, dan Profesi

Masyarakat sekarang cenderung mengacaukan pengertian kata "profesi". Kekacauan pertama, kata "profesi" (profession) dianggap sama dengan pekerjaan (vocation) dan atau matapencaharian (occupation). Kekacauan kedua, profesi dipandang sebagai keseluruhan penge­tahuan dan keterampilan teknis yang harus dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan, tanpa ada tali-temali dengan persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu.

Kedua kekacauan itu bersumber kepada kesalahan pemahaman tentang makna kata "profesi". Menurut sebuah kamus, "profession" berarti suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut pendidikan tinggi khusus dan rangkaian latihan intensif dan berjangka panjang (an occupation requiring considerable training and specialized study). Kata ini berasal dari kata Latin professus, derivasi dari kata profiteor, yaitu menyatakan secara terbuka di hadapan umum.

Tidak berhenti di situ, kekacauan juga menyangkut hubungan antara pengertian "akademik" dengan pengertian "profesional." Pendidikan profesional adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memangku jabatan-jabatan yang bersifat tertutup (closed occupations) yang lazimnya dilindungi undang-undang. Sebagai contoh jabatan kedokteran, jabatan ke-insinyur-an, jabatan bidang hukum, dan sebagainya. Sebaliknya, pendidikan akademik adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan telaah-telaah keilmuan (academic inquiries). Pendidikan akademik menekankan penguasaan ilmu-ilmu dasar (basic sciences), seperti fisika, biologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu ekonomi. Program studi akuntansi, misalnya jelas merupakan pendidikan profesi, sedangkan program studi ekonomi pembangunan adalah pendidikan akademik.

Kerancuan antara konsep "profesi" dengan konsep "okupasi" terletak pada fungsi pekerjaan yang sama-sama untuk memperoleh nafkah, sehingga menganggap diri atau dianggap oleh masyarakat sebagai pemain profesional, sekalipun kemahiran atau ke­ahlian mereka tidak cukup tinggi menurut tuntutan profesionalisme. Tuntutan profesionalisme ini pun berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, bergantung pada perbedaan mutu pelatihan, tuntutan dan persaingan di kedua lingkungan tersebut. Karena itu, setiap usaha pendidikan profesional dan upaya profesionalisasi harus terlebih mengajukan pertanyaan: Apakah ukuran, kriteria, atau standar profesionalisme yang dipergunakan sebagai acuan dalam program pendidikan atau program pengembangan profesionalisme tersebut merupakan standar berkeabsahan? Bukan tidak mungkin, misalnya, pada bidang yang mempunyai standar internasional, ketidak-sesuaian standar akan membuat seseorang tidak mampu bersaing melawan tenaga-tenaga profesional dari negara lain.

Satu persoalan lagi harus dicatat, yaitu berkenaan dengan dinamika profesi. Ketika ilmu­-ilmu pengetahuan mengalami kemajuan begitu cepat, standar yang berlaku dalam suatu periode pasti mengalami perubahan. Standar profesionalisme, misalnya untuk bidang-bidang kedokteran, teknologi, hukum, manajemen, akuntansi, serta pendidikan telah mengalami perubahan cukup penting dibandingkan dengan standar yang berlaku sepuluh atau lima belas tahun lalu. Karena itu, pendidikan profesional dan program profesionalisasi ha­rus selalu mengikuti perkembangan dan memutakhirkan standar yang digunakan. Kegagalan dalam pemutakhiran akan menyebabkan khalayak sasaran program hanya menguasai kecakapan profesional kedaluwarsa (outdated professionalism), yang pada gilirannya akan merugikan masya­rakat.

Kekacauan kedua tentang profesionalisme berkenaan dengan pandangan bahwa profesionalisme merupakan suatu bidang keahlian dan kemahiran semata, tanpa bersangkut-paut dengan masalah moralitas atau etika. Ketika dihadapkan pada persoalan moral dan etika, banyak tenaga profesional akan menghindar dan berkata, "Saya seorang profesional. Urusan saya bersifat teknis, dan tidak berurusan dengan masalah mo­ral." Ini merupakan sikap dan perilaku yang keliru. Karena niscaya bersentuhan dengan kehidupan manusia, maka profesi pun memiliki dimensi moral dan etika. Kasus bendungan Kedung Ombo, misalnya, menyeruak karena ada sejumlah orang melihat rencana pembangunan bendungan ini dari segi kemanusiaan.

Setiap profesi menghadapi sejumlah masalah kemanusiaan, yang tentu saja harus ditangani dengan mengacu kepada nilai-nilai moral. Profesi kedokteran, hukum, jurnalistik, guru, insinyur, dan sete­rusnya, pada saat-saat tertentu harus berhadapan dengan masalah-masa­lah moralitas ini. Menjadi semakin jelas, pengertian yang benar terhadap istilah "profesionalisme" mempunyai cakup­an makna cukup luas, karena tidak hanya berkenaan dengan keahlian dan penghargaan, tetapi juga menyentuh dimensi moral. Karena itu, merupakan suatu kerharusan bagi setiap profesi untuk memiliki kode etik, yang disebut etika profesi (professional ethics). Kode etik ini yang berfungsi mengatur perilaku para anggota masyarakat profesi. Tentu saja, dalam setiap masyarakat profesi terdapat anggota-anggota yang mengindahkan norma-norma etika, tetapi ada juga anggota-anggota yang tidak mengindahkan sama sekali norma-norma etika.

sumber : Mudjiarahardjo

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU [2]

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan

image Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.

Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[1] Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?

Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2] Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.

Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.[3]

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]

Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.

Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.

Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).

Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.

Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.

Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[5]

Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.

Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.

Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.

Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?

Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?

Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.


[1] Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

[2] Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.

[3] Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

[4] Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

[5] Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

sumber : Mudjiarahardjo

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Dewasa ini kehidupan manusia dengan cepat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kehidupan anak/generasi muda, yang bahkan kadang-kadang perubahan itu sangat kompleks. Kehidupan keluarga, termasuk anak-anak sekarang memberikan banyak kebebasan dan banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar. "Dunia menjadi semakin kosmopolitan dan kita semua mempengaruhi satu sama lain." Demikian ujar desainer Paloma Picasso, seperti dikutip oleh John Naisbitt (1990:106)

Di lain pihak dengan kemajuan di bidang komunikasi (termasuk telekomunikasi tentunya), melalui film, TV, radio, surat kabar, telepon, computer, internet, d1l. anak-anak sekarang sudah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Dalam tulisan berikutnya, John Naisbitt menggambarkan: Dahulu biaya untak memulai sebuah surat kabar sama dengan biaya untuk memulai sebuah pabrik baja. Akan tetapi, dengan desktop publishing sekarang ini, sebuah surat kabar dapat dimulai dalam semalam dengan sedikit sekali biaya. Daily Planet Telluride sepenuhnya didigitalkan, termasuk pemakaian kamera digital yang citranya diumpankan langsung ke dalam komputer. (John Naisbitt, 1994:28-29).

Jadi sekarang ini kehidupan kita senantiasa dibayangi oleh perkembangan IPTEKS (baca: Ilmu, Teknologi dan Seni) dengan akselerasi laju yang luar biasa, yang menyebabkan terjadinya "ledakan informasi". Pertumbuhan pengetahuan pada tahun 80-an saja berjalan dengan kecepatan 13% per tahun. Ini berarti bahwa pengetahuan yang ada akan berkembang menjadi dua kali lipat hanya dalam tempo kira-kira 5,5 tahun. Akibatnya pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi "kadaluwarsa" hanya dalam tempo kira-kira 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel Ma.Varela, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990, oleh Santoso S. Hamidjojo).

Dari gambaran di atas kiranya jelas bahwa dunia yang dihadapi peserta didik termasuk mahasiswa pada saat ini, sangat kompleks.Wajarlah jika secara periodik kurikulum senantiasa harus selalu ditinjau kembali, dan senantiasa ada pembaharuan di bidang kurikulum.

TANTANGAN MASA DEPAN

Masa depan kita ditandai oleh banjir informasi dan perubahan yang amat cepat dikarenakan masyarakat dunia terekspos oleh revolusi di bidang ilmu, teknologi dan seni, serta arus globahsasi, sehingga menuntut kesiapan kita semua untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada atau. akan terjadi. Artinya kita harus mampu menghadapi masyarakat yang sangat kompleks dan global.

Adapun sejumlah masalah yang dihadapi saat ini dan tantangan masa depan dapat berupa:
Faktor-faktor Eksternal seperti: globalisasi, perkembangan ekonomi nasional, desentralisasi, politik, sosial budaya dan teknologi.

Faktor-faktor Internal seperti: dampak manajemen yang sentralistik, mekanisme pendanaan oleh pemerintah, manajemen dan organisasi, sumberdaya manusia, penelitian di perguruan tinggi, serta peran serta orang tua dalam pendanaan pendidikan

PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI

Pembaharuan pendidikan dan pembelajaran selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu dan tak pernah henti. Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan kulitas pendidikan dan pembelajaran'.

Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah "pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur". Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi.

Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran yang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai siswa/mahasiswa dapat dilihat pada kemampuan siswa/mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan staniar prosedur tertentu.

PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum dapat. dimaknai sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kuahtas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kuahtas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut aspek lain dari makna kurikulum adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar di sini dimaksudkan adalah pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik seperti yang direncanakan dalam dokumen tertuhs. Pengalaman belajar peserta didik tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/instruktur/pendidik. Dokumen tertulis yang dikembangkan dosen ini dinamakan Rencana Perkuliahan/Satuan Pembelajaran. Pengalaman belajar ini memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu jika pengalaman belajar ini tidak sesuai dengan rencana tertulis maka hasil belajar yang diperoleh peserta didik tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum.

Ada enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi yaitu pengembangan ide dasar untuk kurikulum, pengembangan program, rencana perkuliahan/satuan pembelajaran, pengalaman belajar, penilaian dan hasil. Keenam dimensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu Perencanaan Kurikulum, Implementasi Kurikulum, dan Evaluasi Kurikulum. Perencanaan Kurikulum berkenaan dengan pengernbangan Pokok Pikiran/Ide kurikulum dimana wewenang menentukan ada pada pengambil kebijakan urtuk suatu lembaga pendidikan. Sedangkan Implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan/kelas) dimana yang menjadi pengembang dan penentu adaIah dosen/tenaga kependidikan. Evaluasi KurikuIum merupakan kategori ketiga dimana kurikulum dinilai apakah kurikulum memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah lain baik berkenaan dengan salah satu dimensi ataukah keseluruhannya. Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja dan prestasinya.

A. KURIKULTUM BERBASIS KOMPETENSI UNIUK PENDIDIKAN TINGGI

1. Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232

Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor 232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum. berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, dan (4) learning to be. Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata. kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).

Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9 berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai berikut:

Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232 tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.

2. Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas No.045/U/2002

Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu".

Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-elemen kompetensi.

Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas nomor 045:

Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama, bersifat:

  1. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
  2. acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
  3. berlaku secara. nasional dan internasional
  4. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang, clan
  5. kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan

Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama.

3. Implementasi Kurikulum

Dalam rangka implementasi KBK di perguruan Tinggi, maka hendaknya kita memperlakukan kelima kelompok mata kuliah tersebut sebagai kelompok kompetensi. Dengan demikian maka setiap mata kuliah harus menjabarkan, kompetensi yang dikembangkan mata kuliah tersebut sehingga setiap mata kuliah memiliki matriks kompetensi. Setelah itu dapat dikembangkan matriks yang menggambarkan sumbangan setiap mata kuliah terhadap kelima, kategori kompetensi.

4. Penilaian

Dengan kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut:
a. Penilaian hasil belajar
b. Penilaian proses belajar mengajar
c. Penilaian kompetensi mengajar dosen
d. Penilaian relevansi kurikulum
e. Penilaian daya dukung sarana. dan fasilitas
f. Penilaian program (akreditasi)

Sementara itu strategi yang dapat digunakan adalah:

  1. Mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan pendidikan tinggi.
  2. Mengembangkan kemampuan dosen untuk melakukan dan memanfaatkan proses pernbelajaran
  3. Mengembangkan kemampuan subyek didik untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektifitas belajar mereka
  4. Memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar.

Perubahan yang mendasar juga terjadi pada kriteria lulus dan tidak lulus (menguasai kompetensi atau tidak). Dalam konteks ini tidak setiap kompetensi memiliki rentangan 0 - 4 atau E, D, C. B, dan A, melainkan pendekatan penilaian yang bersifat mastery (Mastery-based Evaluation) untuk menggantikan pendekatan skala yang digunakan pada saat ini.

5. Komponen Yang Terlibat Serta Peranannya

Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan KBK ini dengan baik sejumlah komponen perlu terlibat secara inten dan memberikan perannya masingmasing sesuai dengan kapasitasnya, antara lain:

  1. Visi dan Misi kelembagaan dan kepemimpinan yang berorientasi kualitas dan akuntabilitas serta peka terhadap dinamika pasar.
  2. Partisipasi seluruh sivitas akademika (dosen, naahasiswa) dalam bentuk "shared vision" dan "mutual commitment" untuk optimasi kegiatan pembelajaran.
  3. Iklim dan kultur akademik yang kondusif untuk proses pengembangan yang berkesinambungan.
  4. Keterlibatan kelompok masyarakat pemrakarsa (stakeholders) serta. Masyarakat pengguna lulusan itu sendiri.

B. KBK pada Jenjang Sekolah

1. Menyongsong Kurikulum 2004

Dengan akan segera. dilluncurkannya (launching) Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan bahkan untuk pendidikan tinggi yang sudah diluncurkan sejak tahun 2000, tentu banyak menimbulkan masalah baru, lebih-lebih bila dikaitkan dengan pelaksanaan pembelajaran di masing-masing mata kuhah/pelajaran. Para guru, sebagai ujung tombak dari kegiatan pendidikan, perlu memahami secara mendalami tentang konsep dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi, dalam arti: apa makna hakiki dari KBK, kemana trend KBK harus dibawa/dikembangkan, apa saja komponen yang harus ada, dan bagaimana mengembangkannya, dsb. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan era otonomi daerah di mana kewenangan-kewenangan pusat semakin dikurangi, sementara kewenangan daerah menjadi semakin besar dan luas. Sudah barang tentu era otonomi daerah ini juga membawa dampak yang cukup luas, termasuk tentunya untuk bidang pendidikan.

Di era otonomi seperti sekarang ini kurikulum pendidikan yang belaku secara, nasional bukanlah suatu "harga mati" yang harus diterima dan dilaksanakan apa adanya, melainkan masih dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan, sepanjang tidak menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara, nasional. Dalam hal ini guru adalah pengembang kurikulum yang berada, dalam kedudukan yang menentukan dan strategis. Jika kurikulum diibaratkan sebagai rambu-rambu lalu lintas, maka guru adalah pejalan kakinya.

Dengan asumsi bahwa gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan peserta didik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya serap, suasana dalam. kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang tersedia, maka guru berwenang untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum kedalam, silabus pengembangan kurikulum kedalam. silabus ini hendaknya mendasarkan pada beberapa hal, di antaranya: isi (konten), konsep, kecakapan/keterampilan, masalah, serta minat siswa/mahasiswa.

Sosok Kurikulum 2004 untuk Jenjang Sekolah

Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah memiliki wewenang menetapkan: (1) standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan (2) standar materi pelajaran pokok.

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untak merespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian. Sesuai dengan komponen-komponen tersebut maka format Kurikulum 2004 yang memuat standar kompetensi nasional matapelajaran adalah seperti tampak pada

Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilari, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran. Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masing-masing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar.

Selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, bentuk instrumen, dan pelaksanaannya. jenis tagihan adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian. I

Pengembangan kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

  1. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
  2. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
  3. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
  4. Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdfferensiasi
  5. Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
  6. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning).(Aal, Mb).

Pengertian dan Konsep Evaluasi, Penilaian dan Pengukuran

Secara umum orang hanya mengidentikkan kegiatan evaluasi sama dengan menilai, karena aktifitas mengukur sudah termasuk didalamnya. Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.

Konsep Evaluasi

Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai “The process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives”. Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.

Evaluasi adalah kegiatan mengukur dan menilai. Mengukur lebih besifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif.

Viviane dan Gilbert de Lansheere (1984) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses penentuan apakah materi dan metode pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Penentuannya bisa dilakukan salah satunya dengan cara pemberian tes kepada pembelajar. Terlihat disana bahwa acuan tes adalah tujuan pembelajaran.

Konsep Penilaian

Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.

Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai.

Konsep Pengukuran

Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen.

Pengukuran adalah proses pemberian angka-angka atau label kepada unit analisis untuk merepresentasikan atribut-atribut konsep. Proses ini seharusnya cukup dimengerti orang walau misalnya definisinya tidak dimengerti. Hal ini karena antara lain kita sering kali melakukan pengukuran.

Perbedaan Evaluasi, Penilaian dan Pengukuran

Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pengukuran adalah membandingkan hasil tes dengan standar yang ditetapkan. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan keputusan.Penilaian bersifat kualitatif.

Agar lebih jelas perbedaannya maka perlu dispesifikasi lagi untuk pengertian masing2:

  • Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan nilai, kriteria-judgment atau tindakan dalam pembelajaran.
  • Penilaian dalam pembelajaran adalah suatu usaha untuk mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan yang telah dicapai oleh anak didik melalui program kegiatan belajar.
  • Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Dalam dunia pendidikan, yang dimaksud pengukuran sebagaimana disampaikan Cangelosi (1995: 21) adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris.

Konsep Evaluasi

Pengajaran dan pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang guru. Agar program pengajaran yang telah dilaksanakan itu baik atau tidak perlu dilaksanakan suatu penilaian, yang sering dikenal dengan evaluasi program pengajaran.

Beberapa istilah yang mewarnai dalam hasil belajar, seperti pengukuran, tes, uji, penilaian, dan evaluasi serta asesmen. Secara mendasar beberapa istilah tersebut memiliki pengertian masing-masing. Pengukuran secara umum diartikan membandingkan sesuatu dengan cirri tertentu sehingga dapat mengetahui tingkatan seseorang, bersifat kuantitatif. Tes ialah salah satu cara untuk melakukan pengukuran dengan rangkaian soal sehingga menghasilkan informasi yang dapat dibandingkan dengan skor standar. Tes lebih luwes, karena digunakan untuk satu pertemuan pembelajaran, sedangkan ujian pada akhir studi atau kelulusan.

Penilaian ialah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan kriteria tertentu yang bersifat kualitatif. Selanjutnya proses yang mencakup pengukuran dan penilaian disebut evaluasi. Sedangkan asesmen merupakan proses penilaian maupun pengukuran secara terus menerus dalam konteks meningkatkan kualitas pembelajaran.

Evaluasi mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Guru harus dapat membedakan, mana kegiatan evaluasi hasil belajar dan mana pula kegiatan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan kepada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran secara optimal. Dengan demikian evaluasi hasil belajar menetapkan baik buruknya hasil dari kegiatan pembelajaran, sedangkan evaluasi pembelajaran menetapkan baik buruknya proses dari kegiatan pembelajaran.

Evaluasi memiliki peran dalam keputusan pembelajaran, antara lain keputusan individu (berkaitan dengan kepentingan individu), keputusan Institusional(berkaitan dengan lembaga pendidikan yang menyangkut banyak orang), Keputusan Didaktis (mengenai strategi,pendekatan, dan metode pembelajaran), keputusan BK (mengenai kebutuhan siswa pada BK), keputusan managerial (mengenai adminitrasi, biaya, penyusunan anggaran sekolah),dan keputusan penilaian (mengenai hasil tes atau beberapa keputusan dari tes). Kedudukan evaluasi secara umum yaitu sebagai sarana mengetahui kemampun siswa dan memperbaiki pembelajaran dari guru. Selain itu, untuk memperbaiki misi dan visi pembelajaran pada sekolah tersebut.

Evaluasi otentik dimaksud sebagai keaslian evaluasi. Keaslian ini, dilihat dari beberapa segi yaitu otentik dalam perencanaan, komprehensif, pelaksanaan, pensekoran, interpretasi. Dengan diimbangi dengan skala penilaian, yang berdasarkan syarat kenaikan kelas, dikriminasi mata pelajaran. Skala evaluasi yang didapat dari pengukuran adalah skala nominal, ordinal, interval dan rasio.

Evaluasi dapat dilakukan tes maupun non tes, semua menjadi kebijakan guru. Bagaimana evaluasi dilaksanakan dengan tetap bertumpu pada kebutuhan dan perkembangan siswa. Tes tentu dengan melalui tertulis, baik tes individu ataupun kelompok. Sedangkan non tes dapat berupa wawancara, portofolio, angket, pengamatan, log, evaluasi diri, stempel kerja dan daftar cek.

Kreatifitas guru dituntut dalam melakukan evaluasi, tes yang akan diberikan pada siswa harus mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran. Evaluasi tidak asal dilaksanakan dengan pemikiran “yang penting ada nilai dari siswa”, tapi tes dilakukan semata-mata untuk memberikan motivasi sehingga dapat meningkatkan minat dalam mengikuti pembelajaran. Semua kegiatan evaluasi bertumpu pada siswa, bertujuan untuk kepentingan siswa dan mendukung kebutuhan siswa akan pengetahuan.

Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi dalam Pembelajaran

Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Definisi Pengukuran

  • Menurut Mahrens; pengukuran dapat diartikan sebagai informasi berupa angka yang diperoleh melalui proses tertentu.
  • Menurut Suharsimi Arikunto; pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran
  • Menurut Lien; pengukuran adalah sejumlah data yang dikumpul dengan menggunakan alat ukur yang objektif untuk keperluan analisis dan interpretasi

Definisi Penilaian

  • Menurut Suharsimi Arikunto; menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan baik, penilaian yang bersifat kuantitatif
  • Menurut Mahrens; penilaian adalah suatu pertimbangn professional atau proses yang memungkinkan seseorang untuk membuat suatu pertimbangan mengenai nilai sesuatu

Definisi Evaluasi

  • Menurut Norman E. Grounloud; evaluasi dalah suatu proses yang sistematik dan berkesinambungan untuk mengetahui efisien kegiatan belajar mengajar dan efektifitas dari pencapaian tujuan instruksi yang telah ditetapkan.
  • Menurut Edwin Wond dan Gerold W. Brown; evaluasi pendidikan atau proses untuk menentukan nilai dari segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan
  • Evaluasi adalah proses pengukuran dan penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang telah dicapai seseorang.

Fungsi evaluasi

  • Sebagai alat seleksi
  • Sebagai alat pengukur keberhasilan
  • Sebagai alat penempatan
  • Sebagai alat diagnostik

Tujuan evaluasi

  • Pada fungsi evaluasi (a), bertujuan untuk mendapatkan calon siswa pilihan yang cocok dengan jurusan dan jenjang pendidikan tertentu
  • Pada (b dan d), bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan
  • Pada (c), bertujuan untuk menentukan pendidikan lanjutan siswa agar sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan
  • Untuk menetahui taraf kesiapan siswa dalam memahami bahan pelajarannya
  • Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang digunakan
  • Dalam rangka promosi untuk mendapatkan bahan informasi dalam menentukan siswa untuk naik kelas, atau mengulang pada kelas yang sama

Tujuan evaluasi pendidikan

  • Untuk memberikan umpan balik (feed back) guna memperbaiki proses belajar mengajar
  • Untuk mengetahui hasil kemajuan belajar siswa
  • Untukmenempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang sesuai dan tepat.
  • Untuk menemukan kesulitan belajar siswa dan factor penyebabnya (diagnostic)

Prinsip penilaian

  • Prinsip keseluruhan (integritas); prinsip ini menghendaki bahwa suatu penilaian harus mempertimbangkan seluruh aspek yang berhubungan dengan pribadi siswa atau objek yang akan dinilai
  • Prinsip berkesinambungan kontinuitas; menurut prinsip ini penilaian merupakan proses yang terus menerus.
  • Prinsip kesesuaian (objektivitas); penilaian yang baik harus didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya dan sesuai dengan kenyataan yang terdapat pada siswa.

Tes
Pengertian test

    Secara harfiah kata “test” berasal dari kata bahasa prancis kuno: testum yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tes yang berarti ujian atau percobaan.
    Dari segi istilah, menurut Anne Anastasi, test adalah alat pengukur yang mempunyai standar obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu. Sedangkan menurut F.L. Geodenough, test adalah suatu rangkaian tugas yang diberikan kepada individu atau sekelompok individu dengan maksud untuk membandingkan kecapan antara satu dengan yang lain.
    Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa test adalah cara yang dapat digunakan atau prosedur yang dapat ditempuh dalam rangka pengukuran dan penilaian yang dapat berbetuk pemberian tugas, atau serangkaian tugas sehingga dapat dihasilkan nilai yang dapat melambangkan prestasi.
  1. Fungsi test
    • Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hal ini test berfungsi mengukur tingkat perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu
    • Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, karena melalui test tersebut dapatdiketahui seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapai.
  2. Macam-macam test
    • Menurut pelaksanaannya dalam praktek test terbagi atas:
      • Tes tulisan (written tes), yaitu test yang mengajukan butir-butir pertanyaan dengan mengharapkan jawaban tertulis. Biasanya test ini digunakan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
      • Test lisan (oral test), yaitu tes yang mengajukan pertanyan-pertanyaan dengan menghendaki jawaban secara lisan. Test ini juga dilakukan untuk aspek kognitif peserta didik.
      • Test perbuatan (performance test), yaitu tes yang mengajukan pertanyan-pertanyaan dengan menghendaki jawaban dalam bentuk perbuatan. Test ini digunakan untuk menilai aspek psikomotor/ keterampilan peserta didik.
    • Menurut fungsinya test terbagi atas:
      • Tes formatif (formative test), yaitu test yang dilaksanakan setelah selesainya satu pokok bahasan. Test ini berfungsi untuk menetukan tuntas tidaknya satu pokok bahasan. Tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah diketahui hasil test formatif peserta didik adalah:
        • Jika materi yang ditestkan itu telah dikuasai, maka pembelajaran dilanjutkan dengan pokok bahasan yang baru.
        • Jika ada bagian-bagian yang belum dikuasai oleh peserta didik, maka sebelum melanjutkan pokok bahasan yang baru, terlebih dahulu diulangi atau dijelaskan kembali bagian-bagian yang belum di kuasai. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat penguasaan peserta didik
      • Tes sumatif (summative test), yaitu test yang diberikan setelah sekumpulan satuan program pembelajaran selesai diberikan. Disekolah test ini dikenal sebagai ulangan umum.
      • Test diagnostik (Diagnostic test), yaitu test yang dilakukan untuk menentukan secara tepat, jenis kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu.
    • Menurut waktu diberikannya test tergagi atas:
      • Pra test (pre test), yaitu test yang diberikan sebelum proses pembelajaran. Test ini bertujuan untuk mengetahui sejauh manakah materi yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh peserta didik. Jenis-jenis pra test antara lain:
        • Test persyaratan (Test of entering behavior), yaitu tes yang dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan dasar yang menjadi syarat guna memasuki suatu kegiatan tertentu.
        • Input test (test of input competence), yaitu test yang digunakan menentukan kegiatan belajar yang relevan, berhubungan dengan kemampuan dasar yang telah dimiliki oleh peserta didik.
      • Test akhir (Post test), yaitu test yang diberikan setelah dilaksanakan proses pembelajaran. Tes tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kemajuan intelektual (tingkat penguasaan materi) peserta didik. Biasanya test ini berisi pertanyaan yang sama dengan pra test.
    • Menurut kebutuhannya, macam test antara lain:
      • Psycho test, yaitu test tentang sifat-sifat atau kecenderungan atau hidup kejiwaan seseorang (peserta didik).
      • IQ test, yaitu test kecerdasan. Test ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang (peserta didik).
      • Test kemampuan (aptitude test), yaitu test bakat. Test ini bertujuan untuk mengungkap kemampuan atau bakat khusus yang dimiliki oleh seseorang.
    • Menurut jenisnya tes terbagi menjadi:
      • Test standar, yaitu test yang sudah dibakukan setelah mengalami beberapa kali uji coba (try out) dan memenuhi syarat test yang baik.
      • Test buatan guru, yaitu test yang dibuat oleh guru.
    • Menurut jenis waktu yang disediakan test terdiri atas:
      • Power test, yakni test dimana waktu yang disediakan untuk menyelesaikan test tidak dibatasi.
      • Speed test, yaitu test dimana waktu yang disediakan untuk menyelesaikan test dibatasi.
  • Ranah kognitif (kemampuan intelek) ; meliputi :
    • Mengenal atau mengingat kembali
    • Pemahaman
    • Penerapan atau aplikasi
    • Perincian atau analisis
    • Pemanduan atau sintesis
    • Evaluasi
  • Ranah afektif ; berhubungan dengan pandangan siswa
  • Ranah psikomotorik ; berhubungan dengan kerja otot atau keterampilan, meliputi :
    • Persepsi
    • Kesediaan bertindak
    • Menirukan dan mencoba
    • Gerak mekanik
    • Gerak kompleks
  • Standar penilaian ; terdiri dari :
    • Standar mutlak atau standar absolute (seperti yang dilakukan pada system belajar tuntas)
    • Standar relative (tergantung pada guru)

Kriteria Tes yang Baik

  • Validitas (Ketepatan); Suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat.
  • Reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada kesepatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, atau pada kondisi pengujian yang berbeda
  • Objektivitas; Suatu tes dikatakan obyektif jika tes tersebut diajukan kepada beberapa penilai, tetapi memberikan skor yang sama, untuk disiapkan kunci jawaban (scorring key).
  • Memiliki discrimination power (daya pembeda); Tes yang dikatakan baik apabila mampu membedakan anak yang pandai dan anak yang bodoh.
  • Mencakup ruang lingkup (scope) yang sangat luas dan menyeluruh; Tes yang baik harus memiliki komphrehensi veenes, ini akan menyisihkan siswa yang berspekulasi dalam menempuh tes.
  • Praktis; mencakup :
    • Mudah dipakai/ diperiksa
    • Hemat biaya
    • Mudah diadministrasikan
    • Tidak menyulitkan guru dan sekolah.

Jenis-jenis validitas

  • Validitas ramalan (Predictive validity); artinya ketepatan (kejituan) dari suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan tes tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapainya kemudian.
  • Validitas bandingan (Concurent-validity); artinya kejituan daripada suatu tes dilihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat kini secara riil.
  • Validitas isi (Content validity); artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut (representative).
  • Validitas susunan (Construct Validity); artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari susunan tes tersebut.

Tingkat kesahihan dan keterandalan evaluasi ditentukan oleh :

  • Keadaan objek yang dievaluasi. Misalnya sasaran didik sedang dalam keadaan sedih dan senang, maka kalau orang tersebut dites, ia akan memberikan respon yang berbeda terhadap suatu tes atau ujian yang sama.
  • Alat pengukur. Alat yang kurang baik, misalnya penggaris yang melengkung, timbangan yang tidak pernah ditar dan sebagainya
  • Situasi pengukuran. Situasi yang akrab akan menghasilkan data yang berbeda dengan situasi yang tegang. Misalnya pada waktu evaluasi dilakukan, kelas ditunggu oleh Menteri hasilnya akan lain apabila ditunggu oleh muridnya.
  • Penyelenggaraan evaluasi. Evaluasi yang diselenggarakan secara tertib akan menghasilkan data yang berbeda dengan yang diselenggarakan secara kacau.

Macam-macam Tes Objektif

Bentuk Tes Benar Salah (True False)
Bentuk tes benar salah memiliki soal yang berupa statemen. Statemen tersebut dapat disusun sedemikian rupa, ada yang benar dan ada yang salah.

  • Kelebihan Tes Benar Salah
    • Dapat mencakup bahan yang luas dan tidak memakan tempat yang banyak
    • Mudah dalam penyusunannya
    • Petunjuk mengerjakannya mudah dimengerti
    • Dapat digunakan berkali-kali
    • Objektif
  • Kelemahan Tes Benar Salah
    • Mudah ditebak
    • Banyak masalah yang tidak dapat dinyatakan hanya dengan kemungkinan benar atau salah
    • Hanya dapat mengungkapkan daya ingat dan pengenalan kembali
  • Petunjuk Penyusunan
    • Hindari kalimat negatif, yakni kalimat yang mengandung kata “tidak” atau “bukan”
    • Pernyataan harus disusun sedemikian rupa sehingga siswa yang memiliki pengertian samar-samar dapat terkecoh dalam menjawabnya
    • Dalam menyusun keseluruhan tes, diharapkan item yang mengandung “salah sedikit” cukup banyak
  • Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Benar Salah
    • Dengan Denda
      Menggunakan rumus :
      Skor = Jumlah jawaban benar – Jumlah jawaban Salah
  • Tanpa Denda
    Menggunakan rumus : Skor = Jumlah jawaban yang benar

Bentuk Pilihan Ganda (Multiple Choice Test)
Tes pilihan ganda merupakan tes yang menggunakan pengertian/ pernyataan yang belum lengkap dan untuk melengkapinya maka kita harus memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban benar yang telah disiapkan.

  • Pilihan ganda biasa (melengkapi pilihan)
    Bentuk ini merupakan suatu kalimat pernyataan yang belum lengkap dan diikuti empat atau lima kemungkinan jawaban yang tepat dan melengkapi pernyataan tersebut.
  • Hubungan antar hal (Sebab akibat)
    Bentuk tes ini terdiri dari dua kalimat : satu kalimat pernyataan dan satu kalimat alasan. Ditanyakan apakah pernyataan memiliki hubungan sebab akibat atau tidak dengan alasan.
  • Analisa Kasus
    entuk tes analisa kasus ini menghadapkan peserta pada satu masalah.
  • Membaca Diagram, atau tabel
    Bentuk soal ini mirip dengan bentuk pilihan ganda biasa, hanya saja disertai dengan tabel.
  • Asosiasi pilihan ganda
    Bentuk soal ini sama dengan bentuk soal melengkapi pilihan, yakni suatu pernyataan yang tidak lengkap yang diikuti dengan beberapa kemungkinan, hanya perbedaan pada bentuk asosiasi pilihan ganda kemungkinan jawaban bisa lebih dari satu, sedangkan melengkapi pilihan hanya satu yang paling tepat.Petunjuk :
    Pilih A jika (1), (2) dan (3) benar
    Pilih B jika (1) dan (3) benar
    Pilih C jika (2) dan (4) benar
    Pilih D jika hanya (4) yang benar
    Pilih E jika semuanya benar

Saran Pembuatan Soal Pilihan Ganda

a) Pernyataan dan pilihan merupakan suatu rangkaian kalimat
b) Hindari pilihan yang tidak ada kaitannya satu sama lain
c) Buat pilihan yang mirip dengan jawaban kunci
d) Letak kunci jawaban sebaiknya tidak selalu berada pada tempat (poin) yang sama
e) Hindari kaitan antara satu soal dengan soal lainnya

Cara Memberikan Skor

a) Tanpa Denda
Skor = Banyaknya jawaban yang benar
b) Dengan Denda

Menjodohkan (Matching Test)
Menjodohkan terdiri atas satu sisi pertanyaan dan satu sisi jawaban, setiap pertanyaan mempunyai jawaban pada sisi sebelahnya. Siswa ditugaskan untuk memasangkan atau mencocokkan, sehingga setiap pertanyaan mempunyai jawaban yang benar.

  • Saran Penulisan
    • Banyaknya jawaban di sebelah kanan lebih dari jawaban di sebelah kiri
    • Lebihnya jawaban hendaknya menunjukkan jawaban yang salah
    • Materinya setiap sisi baiknya mengenai satu pokok bahasan saja
    • Pisahkan menjadi dua kolom, kolom pertama memuat jawaban, nomor soal dan pertanyaan. Sedangkan kolom kedua memuat kode dan pilihan jawaban.
  • Cara Memberikan Skor
    Penskoran pada tes menjodohkan tidak diberikan denda terhadap jawaban yang salah
    Skor = Jumlah jawaban benar

Tes Isian (Complementary Test)
Tes isian terdiri dari kalimat yang dihilangkan (diberi titik-titik). Bagian yang dihilangkan ini yang diisi oleh peserta tes merupakan pengertian yang diminta agar pernyataan yang dibuat menjadi pernyataan yang benar.

Cara Memberikan Skor
Pada tes ini sulit dilakukan tebakan, sehingga tidak diperlukan denda terhadap jawaban yang salah. Maka rumus yang digunakan adalah :
Skor = Jumlah jawaban benar

Tes Objektif
Bentuk Tes Objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif.
Kelebihan Tes Objektif

  • ebih mewakili isi dan mencakup materi yang luas
  • Lebih mudah dan cepat karena pemeriksaannya menggunakan kunci
  • Pemeriksaannya dapat diserahkan kepada orang lain
  • Dapat digunakan untuk menilai kelompok yang besar
  • Menghindari kemungkinan siswa berspekulasi dalam mempelajari bahan pelajaran
  • Tidak ada unsur subjektif yang mempengaruhi

Kelemahan Tes Objektif

  • Penyusunan tes sukar dan memerlukan waktu yang cukup banyak
  • Memberi peluang kepada siswa untuk memberikan jawaban yang bersifat coba-coba (untung-untungan)
  • Kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk menyatakan kemampuan ilmiahnya
  • Sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi
  • Kerjasama antar siswa dalam mengerjakan soal lebih terbuka
  • Menggunakan bahan (kertas) yang lebih banyak

Tes Uraian dan cara pembuatannya
Tes Uraian atau Subjective Test (Essay Test)Tes uraian ialah tes yang disajikan dalam bentuk uraian, yang mengharapkan jawaban dalam bentuk uraian pula. Biasanya untuk mengukur kemampuan anak dalam menjabarkan, memadukan, dan menilai aspek kognitif di samping kemampuan lainnya.
Kelebihan Tes Uraian

  • Mudah disiapkan dan disusun
  • Siswa tidak mudah berspekulasi
  • Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusunnya dalam kalimat yang baik
  • Untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami dan menguasai materi
  • Ekonomis, sebab dapat menggunakan kertas yang sedikit

Kelemahan Tes Uraian

  • Kadar validitas dan reliabilitas rendah
  • Scope yang dinilai sempit
  • Pemeriksaan yang sulit dan subjektif
  • Hanya dapat diperiksa oleh guru yang bersangkutan

Petunjuk Penyusunan Tes Uraian

  • Hendaknya tes meliputi ide-ide pokok bahan yang akan dites-kan
  • Soal tidak sama persis dengan contoh yang ada pada catatan
  • Pada waktu menyusun soal, hendaknya juga dibuatkan kunci jawaban
  • Pertanyaan menggunakan kata tanya yang bervariasi
  • Hendaknya rumus yang digunakan dalam menjawab soal jelas dan mudah dipahami
  • Hendaknya ditegaskan model jawaban yang dikehendaki oleh pembuat, untuk itu harus spesifik dan tidak terlalu umum

Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Uraian
Perhatikan petunjuk penyusunan soal, untuk menentukan skor jawaban sebaiknya digunakan kriteria yang akan digunakan
Setiap jawaban soal hendaknya diklasifikasi dalam 4 atau 5 tingkatan, dengan skor 0, 1, 2, 3, 4 atau dengan huruf A, B, C, D dan E.
Tiap nomor soal seharusnya ditentukan bobot masing-masing
Skor mentah yang diperoleh ditransfer ke nilai 1 – 10 atau 1 – 100
Contoh : Apakah yang dimaksud dengan titik fokus pada elips?

PENILAIAN KELAS

Penilaian di kelas dapat terjadi dan atau dilakukan pada setiap waktu. Tanggung jawab guru adalah untuk menggunakan pengalaman mengajar penuh arti sebagai pengalaman penilaian yang penuh arti pula. Seperti yang dikatakan oleh Hein dan Price (1994) menyatakan bahwa, apapun yang dikerjakan seorang siswa dalam kelas dapat digunakan untuk objek penilaian. Penilaian yang efektif dapat memperbaiki kegiatan belajar dan mengajar. Sehingga penilaian menjadi suatu fokus yang berkelanjutan dalam kelas, sama sekali tidak dapat dibedakan dan dipisahkan dari pengajaran dan kurikulum. Suatu pandangan tentang standar penilaian dan pembelajaran merupakan dua sisi mata uang yang sama dan penting bagi semua siswa untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi di dalam belajar.

Berdasarkan tujuan, maka penilaian kelas terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Penilaian Formatif (formative assessment)

Penilaian formatif merupakan penilaian yang menyediakan informasi kepada siswa dan guru untuk digunakan dalam memperbaiki kegiatan belajar dan mengajar. Hal ini sering dilaksanakan secara informal dan berkelanjutan, meski mereka tidak menyadarinya. Data-data dari penilaian-penilaian sumatif dapat digunakan dalam langkah formatif (Atkin, Black, & Coffey, 2000).

Penilaian formatif yang dirancang secara terencana, terarah dan terstruktur sebagai bagian dari pembelajaran, maka dapat menciptakan pembelajaran yang efektif dan efisien. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Atkin, Black, & Coffey, (2000) memberikan ciri-ciri penilaian formatif dalam bentuk pertanyaan berikut:

- Kemana tujuan anda?

- Dimana anda sekarang?

- Apa yang anda lakukan untuk mencapai tujuan tersebut?

Setelah menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai suatu panduan, penting untuk dicatat bahwa tidak satupun blueprint atau model terbaik untuk menggunakan penilaian sebagai alat, terutama sekali untuk mendukung dan memudahkan pelajaran siswa. Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut disediakan sebagai suatu kerangka untuk meraih penilaian yang manjur.

Stiggins (2001), menyarankan kepada para guru untuk memperhatikan hal-hal berikut dalam merencanakan penilaian kelas, dimana kelima hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kelima hal tersebut yaitu:

a. Penguasaan isi pengetahuan, termasuk mengetahui dan mengerti.

b. Penggunaan pengetahuan untuk memberi alasan dan memecahkan permasalahan.

c. Pengembangan keterampilan

d. Pengembangan kemampuan untuk menciptakan produk-produk tertentu yang memenuhi standar.

e. Pengembangan tentang pentingnya pengaturan atau penempatan.

Para guru dapat menggunakan data penilaian untuk membuat keputusan-keputusan yang menyangkut:

- Kelayakan pengembangan dari isi

- Ketertarikan siswa akan isi pelajaran

- Efektivitas dari kegiatan pelajaran dalam menghasilkan hasil belajar yang diharapkan

- Efektivitas dari pemberian contoh-contoh

- Pemahaman dan kemampuan siswa harus dipergunakan sejak memilih kegiatan dan contoh-contoh.

2. Penilaian Sumatif (assessment of learning)

Anderson (2003), menyatakan bahwa penilaian adalah proses dari pengukuran informasi guna membuat keputusan. Kemudian Popham (1995:3) mempertegas bahwa “educational assesment is a formal attempt to determine students’ status with respect to educational variables of interest”. Penilaian juga memiliki terminologi khusus guna mendeskripsikan sekalian aktivitas yang dikerjakan oleh pengajar untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap dari para pembelajar. Pengumpulan data dari penilaian formal (tes obyektif) dan data informal (observasi atau daftar isian) termasuk aktivitas penilaian ini (Marsh, 1996).

Uba dan Freed (2000) mendefinisikan penilaian sebagai proses dari pengumpulan dan pengujian informasi untuk meningkatkan kejelasan pengertian tentang apa yang sudah dipelajari oleh pembelajar dari pengalaman-pengalamannya.

Popham (1995) memberikan alasan perlunya melakukan penilaian, yaitu penilaian berfungsi untuk:

1. Mendiagnosa kekuatan dan kelemahan pembelajar.

2. Memantau kemajuan belajar.

3. Memberi atribut pemberian nilai.

4. Menentukan efektivitas pengajaran

Herman, Aschbacher, dan Winters (1992) menyatakan dua tujuan yang paling dasar dalam melakukan penilaian yaitu:

1. Menentukan sejauh mana pembelajar telah menguasai pengetahuan khusus atau ketrampilan-ketrampilan (content goal).

2. Mendiagnosa kelemahan dan kelebihan pembelajar dan merancang pembelajaran yang sesuai (process goals).

Penilaian sumatif (assessment of learning) merupakan jenis penilaian yang orientasinya adalah pengumpulan informasi tentang pembelajaran pada rentang waktu tertentu atau pada akhir suatu unit pelajaran. Penilaian sumatif dilakukan pada akhir semester atau unit instruksional untuk menilai kualitas dan kuantitas akhir pencapaian belajar siswa atau kesuksesan dari program instruksional (Weeben, Winter, dan Beroadfood: 2002).

Sehubungan dengan defenisi di atas, penilaian sumatif lebih menekankan pada hasil dan dilaksanakan satu kali untuk satu semester atau setiap akhir dari suatu program instruksional. Peranan guru dan tes eksternal yang terstandarisasi menjadi sangat penting, sehingga validitas dan reliabilitas instrument penilaian harus terpenuhi. Hasil penilaian sumatif ini berfungsi untuk grading clacement, promotion, dan accountability. Penilaian jenis ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Dalam hal motivasi, penilaian jenis ini sangat menguntungkan bagi siswa yang memperoleh prestasi yang tinggi. Sebaliknya, bagi siswa yang memperoleh prestasi yang rendah akan memiliki motivasi yang rendah yaitu rasa pesimis.

3. Penilaian Untuk Belajar (assessment for learning)

Penilaian untuk belajar pada dasarnya adalah penilaian formatif yang dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tujuan penilaian formatif secara benar. Penilaian untuk belajar muncul sebagai akibat kegagalan pelaksanaan penilaian formatif.

Penilaian untuk belajar merupakan model penilaian yang lebih memihak pada membantu siswa untuk lebih memahami dan menguasai materi pelajaran yang diberikan, dengan memberi kesempatan pada siswa untuk lebih bertanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri.

Penilaian untuk belajar merupakan penilaian yang terintegrasi secara terus menerus selama proses belajar mengajar berlangsung. Aktivitas siswa akan dipantau dan diamati, guru menjadi pengajar sekaligus pendidik. Guru harus dapat menjadikan penilaian sebagai sarana untuk memotivasi dan membantu siswa dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas belajar mereka sendiri.

Prinsip keadilan dalam penilaian

Pada dasarnya penilaian perlu memberi kesempatan secara optimal pada setiap siswa untuk menunjukan kemampuan yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, perlu kiranya menilai siswa secara komprehensip dari hasil pekerjaan mereka mulai dari kemampuan menulis, pamiliaritas dengan konteks masalah, membaca secara menyeluruh

Standar dalam penilaian biasanya ditulis dengan keyakinan bahwa semua siswa diharapkan untuk mengejar dan mencapai standar yang tinggi. Dalam standar, tugas-tugas penilaian harus ditetapkan dengan berbagai konteks, melibatkan para siswa dengan kepentingan dan pengalaman yang berbeda, dan tidak mengasumsi perspektif atau pengalaman dari jenis kelamin tertentu, rasial atau kelompok etnik. Prinsip kesesuaian dalam penilaian kelas harus jelas, penilaian harus adil, terbuka, dan patut mendukung semua siswa untuk memperoleh standar yang tinggi.

Penilaian juga perlu memperhatikan standar keterkaitan, menekankan pentingnya menjamin bahwa setiap penilaian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Data hasil penilaian dapat digunakan untuk kemajuan belajar siswa, membuat keputusan instruksional, mengevaluasi prestasi, atau evaluasi program (De Lange: 1996).

Keterkaitan dalam penilain kelas dapat disempurnakan dengan sederhana jika proses balajar mengajar juga terkait dan penilaian merupakan bagian integral dari proses tersebut.

Orientasi penilaian kelas

Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka tampak bahwa penilaian kelas merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran. Hasil penilaian kelas berguna:

1. Sebagai umpan balik bagi siswa agar mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga termotivasi meningkatkan dan memperbaiki hasil belajarnya.

2. Untuk memantau kemampuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami siswa sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remidiasi.

3. Sebagai umpan balik bagi guru untuk memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan.

4. Sebagai masukan bagi guru guna merancang kegiatan belajar sedemikian rupa sehingga para siswa dapat mencapai kompetensi dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda.

5. Sebagai informasi untuk orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan.

Atas dasar kegunaan hasil penilaian kelas tersebut di atas, maka ada beberapa keunggulan penilaian kelas, yaitu:

1. Pengumpulan informasi kemajuan belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan dan memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukan apa yang dipahami dan yang mampu dikerjakan.

2. Prestasi belajar siswa terutama tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok, tetapi dengan prestasi atau kemampuan yang dimiliki sebelumnya.

3. Pengumpulan informasi dilakukan dengan berbagai cara agar gambaran kemampuan siswa dapat lebih lengkap terdeteksi.

4. Siswa tidak sekedar dilatih memilih jawaban yang tersedia, tetapi lebih dituntut mengeksplorasi dan memotivasi diri untuk mengerahkan potensinya dalam menanggapi dan memecahkan masalah yang dihadapi dengan caranya sendiri.

5. Pengumpulan informasi menentukan ada tidaknya kemajuan belajar, dengan demikian siswa diberi kesempatan memperbaiki prestasi belajarnya.

6. Penilaian tidak hanya dilaksanakan setelah proses belajar mengajar, tetapi bisa dilaksanakan ketika proses belajar mengajar berlangsung (penilaian proses). Dengan demikian penilaian kelas mengurangi dikhotomi antara PBM dan kegiatan penilaian serta antara kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.

7. Kegiatan penilaian karya siswa dapat dibahas guru dengan para siswa sebelum karya itu dikerjakan. Dengan demikian, siswa mengetahui patokan penilaian yang akan digunakan dan secara tidak langsung terdorong agar berusaha mencapai harapan (standar yang dituntut guru).

Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi dalam Pembelajaran

Saturday, September 24, 2011

Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Definisi Pengukuran

  • Menurut Mahrens; pengukuran dapat diartikan sebagai informasi berupa angka yang diperoleh melalui proses tertentu.
  • Menurut Suharsimi Arikunto; pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran
  • Menurut Lien; pengukuran adalah sejumlah data yang dikumpul dengan menggunakan alat ukur yang objektif untuk keperluan analisis dan interpretasi

Definisi Penilaian

  • Menurut Suharsimi Arikunto; menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan baik, penilaian yang bersifat kuantitatif
  • Menurut Mahrens; penilaian adalah suatu pertimbangn professional atau proses yang memungkinkan seseorang untuk membuat suatu pertimbangan mengenai nilai sesuatu

Definisi Evaluasi

  • Menurut Norman E. Grounloud; evaluasi dalah suatu proses yang sistematik dan berkesinambungan untuk mengetahui efisien kegiatan belajar mengajar dan efektifitas dari pencapaian tujuan instruksi yang telah ditetapkan.
  • Menurut Edwin Wond dan Gerold W. Brown; evaluasi pendidikan atau proses untuk menentukan nilai dari segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan
  • Evaluasi adalah proses pengukuran dan penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang telah dicapai seseorang.

Fungsi evaluasi

  • Sebagai alat seleksi
  • Sebagai alat pengukur keberhasilan
  • Sebagai alat penempatan
  • Sebagai alat diagnostik

Tujuan evaluasi

  • Pada fungsi evaluasi (a), bertujuan untuk mendapatkan calon siswa pilihan yang cocok dengan jurusan dan jenjang pendidikan tertentu
  • Pada (b dan d), bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan
  • Pada (c), bertujuan untuk menentukan pendidikan lanjutan siswa agar sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan
  • Untuk menetahui taraf kesiapan siswa dalam memahami bahan pelajarannya
  • Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang digunakan
  • Dalam rangka promosi untuk mendapatkan bahan informasi dalam menentukan siswa untuk naik kelas, atau mengulang pada kelas yang sama

Tujuan evaluasi pendidikan

  • Untuk memberikan umpan balik (feed back) guna memperbaiki proses belajar mengajar
  • Untuk mengetahui hasil kemajuan belajar siswa
  • Untukmenempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang sesuai dan tepat.
  • Untuk menemukan kesulitan belajar siswa dan factor penyebabnya (diagnostic)

Prinsip penilaian

  • Prinsip keseluruhan (integritas); prinsip ini menghendaki bahwa suatu penilaian harus mempertimbangkan seluruh aspek yang berhubungan dengan pribadi siswa atau objek yang akan dinilai
  • Prinsip berkesinambungan kontinuitas; menurut prinsip ini penilaian merupakan proses yang terus menerus.
  • Prinsip kesesuaian (objektivitas); penilaian yang baik harus didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya dan sesuai dengan kenyataan yang terdapat pada siswa.

Tes
Pengertian test

    Secara harfiah kata “test” berasal dari kata bahasa prancis kuno: testum yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tes yang berarti ujian atau percobaan.
    Dari segi istilah, menurut Anne Anastasi, test adalah alat pengukur yang mempunyai standar obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu. Sedangkan menurut F.L. Geodenough, test adalah suatu rangkaian tugas yang diberikan kepada individu atau sekelompok individu dengan maksud untuk membandingkan kecapan antara satu dengan yang lain.
    Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa test adalah cara yang dapat digunakan atau prosedur yang dapat ditempuh dalam rangka pengukuran dan penilaian yang dapat berbetuk pemberian tugas, atau serangkaian tugas sehingga dapat dihasilkan nilai yang dapat melambangkan prestasi.
  1. Fungsi test
    • Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hal ini test berfungsi mengukur tingkat perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu
    • Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, karena melalui test tersebut dapatdiketahui seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapai.
  2. Macam-macam test
    • Menurut pelaksanaannya dalam praktek test terbagi atas:
      • Tes tulisan (written tes), yaitu test yang mengajukan butir-butir pertanyaan dengan mengharapkan jawaban tertulis. Biasanya test ini digunakan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
      • Test lisan (oral test), yaitu tes yang mengajukan pertanyan-pertanyaan dengan menghendaki jawaban secara lisan. Test ini juga dilakukan untuk aspek kognitif peserta didik.
      • Test perbuatan (performance test), yaitu tes yang mengajukan pertanyan-pertanyaan dengan menghendaki jawaban dalam bentuk perbuatan. Test ini digunakan untuk menilai aspek psikomotor/ keterampilan peserta didik.
    • Menurut fungsinya test terbagi atas:
      • Tes formatif (formative test), yaitu test yang dilaksanakan setelah selesainya satu pokok bahasan. Test ini berfungsi untuk menetukan tuntas tidaknya satu pokok bahasan. Tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah diketahui hasil test formatif peserta didik adalah:
        • Jika materi yang ditestkan itu telah dikuasai, maka pembelajaran dilanjutkan dengan pokok bahasan yang baru.
        • Jika ada bagian-bagian yang belum dikuasai oleh peserta didik, maka sebelum melanjutkan pokok bahasan yang baru, terlebih dahulu diulangi atau dijelaskan kembali bagian-bagian yang belum di kuasai. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat penguasaan peserta didik
      • Tes sumatif (summative test), yaitu test yang diberikan setelah sekumpulan satuan program pembelajaran selesai diberikan. Disekolah test ini dikenal sebagai ulangan umum.
      • Test diagnostik (Diagnostic test), yaitu test yang dilakukan untuk menentukan secara tepat, jenis kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu.
    • Menurut waktu diberikannya test tergagi atas:
      • Pra test (pre test), yaitu test yang diberikan sebelum proses pembelajaran. Test ini bertujuan untuk mengetahui sejauh manakah materi yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh peserta didik. Jenis-jenis pra test antara lain:
        • Test persyaratan (Test of entering behavior), yaitu tes yang dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan dasar yang menjadi syarat guna memasuki suatu kegiatan tertentu.
        • Input test (test of input competence), yaitu test yang digunakan menentukan kegiatan belajar yang relevan, berhubungan dengan kemampuan dasar yang telah dimiliki oleh peserta didik.
      • Test akhir (Post test), yaitu test yang diberikan setelah dilaksanakan proses pembelajaran. Tes tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kemajuan intelektual (tingkat penguasaan materi) peserta didik. Biasanya test ini berisi pertanyaan yang sama dengan pra test.
    • Menurut kebutuhannya, macam test antara lain:
      • Psycho test, yaitu test tentang sifat-sifat atau kecenderungan atau hidup kejiwaan seseorang (peserta didik).
      • IQ test, yaitu test kecerdasan. Test ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan seseorang (peserta didik).
      • Test kemampuan (aptitude test), yaitu test bakat. Test ini bertujuan untuk mengungkap kemampuan atau bakat khusus yang dimiliki oleh seseorang.
    • Menurut jenisnya tes terbagi menjadi:
      • Test standar, yaitu test yang sudah dibakukan setelah mengalami beberapa kali uji coba (try out) dan memenuhi syarat test yang baik.
      • Test buatan guru, yaitu test yang dibuat oleh guru.
    • Menurut jenis waktu yang disediakan test terdiri atas:
      • Power test, yakni test dimana waktu yang disediakan untuk menyelesaikan test tidak dibatasi.
      • Speed test, yaitu test dimana waktu yang disediakan untuk menyelesaikan test dibatasi.
  • Ranah kognitif (kemampuan intelek) ; meliputi :
    • Mengenal atau mengingat kembali
    • Pemahaman
    • Penerapan atau aplikasi
    • Perincian atau analisis
    • Pemanduan atau sintesis
    • Evaluasi
  • Ranah afektif ; berhubungan dengan pandangan siswa
  • Ranah psikomotorik ; berhubungan dengan kerja otot atau keterampilan, meliputi :
    • Persepsi
    • Kesediaan bertindak
    • Menirukan dan mencoba
    • Gerak mekanik
    • Gerak kompleks
  • Standar penilaian ; terdiri dari :
    • Standar mutlak atau standar absolute (seperti yang dilakukan pada system belajar tuntas)
    • Standar relative (tergantung pada guru)

Kriteria Tes yang Baik

  • Validitas (Ketepatan); Suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat.
  • Reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada kesepatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, atau pada kondisi pengujian yang berbeda
  • Objektivitas; Suatu tes dikatakan obyektif jika tes tersebut diajukan kepada beberapa penilai, tetapi memberikan skor yang sama, untuk disiapkan kunci jawaban (scorring key).
  • Memiliki discrimination power (daya pembeda); Tes yang dikatakan baik apabila mampu membedakan anak yang pandai dan anak yang bodoh.
  • Mencakup ruang lingkup (scope) yang sangat luas dan menyeluruh; Tes yang baik harus memiliki komphrehensi veenes, ini akan menyisihkan siswa yang berspekulasi dalam menempuh tes.
  • Praktis; mencakup :
    • Mudah dipakai/ diperiksa
    • Hemat biaya
    • Mudah diadministrasikan
    • Tidak menyulitkan guru dan sekolah.

Jenis-jenis validitas

  • Validitas ramalan (Predictive validity); artinya ketepatan (kejituan) dari suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan tes tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapainya kemudian.
  • Validitas bandingan (Concurent-validity); artinya kejituan daripada suatu tes dilihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat kini secara riil.
  • Validitas isi (Content validity); artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut (representative).
  • Validitas susunan (Construct Validity); artinya kejituan daripada suatu tes ditinjau dari susunan tes tersebut.

Tingkat kesahihan dan keterandalan evaluasi ditentukan oleh :

  • Keadaan objek yang dievaluasi. Misalnya sasaran didik sedang dalam keadaan sedih dan senang, maka kalau orang tersebut dites, ia akan memberikan respon yang berbeda terhadap suatu tes atau ujian yang sama.
  • Alat pengukur. Alat yang kurang baik, misalnya penggaris yang melengkung, timbangan yang tidak pernah ditar dan sebagainya
  • Situasi pengukuran. Situasi yang akrab akan menghasilkan data yang berbeda dengan situasi yang tegang. Misalnya pada waktu evaluasi dilakukan, kelas ditunggu oleh Menteri hasilnya akan lain apabila ditunggu oleh muridnya.
  • Penyelenggaraan evaluasi. Evaluasi yang diselenggarakan secara tertib akan menghasilkan data yang berbeda dengan yang diselenggarakan secara kacau.

Macam-macam Tes Objektif

Bentuk Tes Benar Salah (True False)
Bentuk tes benar salah memiliki soal yang berupa statemen. Statemen tersebut dapat disusun sedemikian rupa, ada yang benar dan ada yang salah.

  • Kelebihan Tes Benar Salah
    • Dapat mencakup bahan yang luas dan tidak memakan tempat yang banyak
    • Mudah dalam penyusunannya
    • Petunjuk mengerjakannya mudah dimengerti
    • Dapat digunakan berkali-kali
    • Objektif
  • Kelemahan Tes Benar Salah
    • Mudah ditebak
    • Banyak masalah yang tidak dapat dinyatakan hanya dengan kemungkinan benar atau salah
    • Hanya dapat mengungkapkan daya ingat dan pengenalan kembali
  • Petunjuk Penyusunan
    • Hindari kalimat negatif, yakni kalimat yang mengandung kata “tidak” atau “bukan”
    • Pernyataan harus disusun sedemikian rupa sehingga siswa yang memiliki pengertian samar-samar dapat terkecoh dalam menjawabnya
    • Dalam menyusun keseluruhan tes, diharapkan item yang mengandung “salah sedikit” cukup banyak
  • Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Benar Salah
    • Dengan Denda
      Menggunakan rumus :
      Skor = Jumlah jawaban benar – Jumlah jawaban Salah
  • Tanpa Denda
    Menggunakan rumus : Skor = Jumlah jawaban yang benar

Bentuk Pilihan Ganda (Multiple Choice Test)
Tes pilihan ganda merupakan tes yang menggunakan pengertian/ pernyataan yang belum lengkap dan untuk melengkapinya maka kita harus memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban benar yang telah disiapkan.

  • Pilihan ganda biasa (melengkapi pilihan)
    Bentuk ini merupakan suatu kalimat pernyataan yang belum lengkap dan diikuti empat atau lima kemungkinan jawaban yang tepat dan melengkapi pernyataan tersebut.
  • Hubungan antar hal (Sebab akibat)
    Bentuk tes ini terdiri dari dua kalimat : satu kalimat pernyataan dan satu kalimat alasan. Ditanyakan apakah pernyataan memiliki hubungan sebab akibat atau tidak dengan alasan.
  • Analisa Kasus
    entuk tes analisa kasus ini menghadapkan peserta pada satu masalah.
  • Membaca Diagram, atau tabel
    Bentuk soal ini mirip dengan bentuk pilihan ganda biasa, hanya saja disertai dengan tabel.
  • Asosiasi pilihan ganda
    Bentuk soal ini sama dengan bentuk soal melengkapi pilihan, yakni suatu pernyataan yang tidak lengkap yang diikuti dengan beberapa kemungkinan, hanya perbedaan pada bentuk asosiasi pilihan ganda kemungkinan jawaban bisa lebih dari satu, sedangkan melengkapi pilihan hanya satu yang paling tepat.Petunjuk :
    Pilih A jika (1), (2) dan (3) benar
    Pilih B jika (1) dan (3) benar
    Pilih C jika (2) dan (4) benar
    Pilih D jika hanya (4) yang benar
    Pilih E jika semuanya benar

Saran Pembuatan Soal Pilihan Ganda

a) Pernyataan dan pilihan merupakan suatu rangkaian kalimat
b) Hindari pilihan yang tidak ada kaitannya satu sama lain
c) Buat pilihan yang mirip dengan jawaban kunci
d) Letak kunci jawaban sebaiknya tidak selalu berada pada tempat (poin) yang sama
e) Hindari kaitan antara satu soal dengan soal lainnya

Cara Memberikan Skor

a) Tanpa Denda
Skor = Banyaknya jawaban yang benar
b) Dengan Denda

Menjodohkan (Matching Test)
Menjodohkan terdiri atas satu sisi pertanyaan dan satu sisi jawaban, setiap pertanyaan mempunyai jawaban pada sisi sebelahnya. Siswa ditugaskan untuk memasangkan atau mencocokkan, sehingga setiap pertanyaan mempunyai jawaban yang benar.

  • Saran Penulisan
    • Banyaknya jawaban di sebelah kanan lebih dari jawaban di sebelah kiri
    • Lebihnya jawaban hendaknya menunjukkan jawaban yang salah
    • Materinya setiap sisi baiknya mengenai satu pokok bahasan saja
    • Pisahkan menjadi dua kolom, kolom pertama memuat jawaban, nomor soal dan pertanyaan. Sedangkan kolom kedua memuat kode dan pilihan jawaban.
  • Cara Memberikan Skor
    Penskoran pada tes menjodohkan tidak diberikan denda terhadap jawaban yang salah
    Skor = Jumlah jawaban benar

Tes Isian (Complementary Test)
Tes isian terdiri dari kalimat yang dihilangkan (diberi titik-titik). Bagian yang dihilangkan ini yang diisi oleh peserta tes merupakan pengertian yang diminta agar pernyataan yang dibuat menjadi pernyataan yang benar.

Cara Memberikan Skor
Pada tes ini sulit dilakukan tebakan, sehingga tidak diperlukan denda terhadap jawaban yang salah. Maka rumus yang digunakan adalah :
Skor = Jumlah jawaban benar

Tes Objektif
Bentuk Tes Objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif.
Kelebihan Tes Objektif

  • ebih mewakili isi dan mencakup materi yang luas
  • Lebih mudah dan cepat karena pemeriksaannya menggunakan kunci
  • Pemeriksaannya dapat diserahkan kepada orang lain
  • Dapat digunakan untuk menilai kelompok yang besar
  • Menghindari kemungkinan siswa berspekulasi dalam mempelajari bahan pelajaran
  • Tidak ada unsur subjektif yang mempengaruhi

Kelemahan Tes Objektif

  • Penyusunan tes sukar dan memerlukan waktu yang cukup banyak
  • Memberi peluang kepada siswa untuk memberikan jawaban yang bersifat coba-coba (untung-untungan)
  • Kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk menyatakan kemampuan ilmiahnya
  • Sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi
  • Kerjasama antar siswa dalam mengerjakan soal lebih terbuka
  • Menggunakan bahan (kertas) yang lebih banyak

Tes Uraian dan cara pembuatannya
Tes Uraian atau Subjective Test (Essay Test)Tes uraian ialah tes yang disajikan dalam bentuk uraian, yang mengharapkan jawaban dalam bentuk uraian pula. Biasanya untuk mengukur kemampuan anak dalam menjabarkan, memadukan, dan menilai aspek kognitif di samping kemampuan lainnya.
Kelebihan Tes Uraian

  • Mudah disiapkan dan disusun
  • Siswa tidak mudah berspekulasi
  • Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusunnya dalam kalimat yang baik
  • Untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami dan menguasai materi
  • Ekonomis, sebab dapat menggunakan kertas yang sedikit

Kelemahan Tes Uraian

  • Kadar validitas dan reliabilitas rendah
  • Scope yang dinilai sempit
  • Pemeriksaan yang sulit dan subjektif
  • Hanya dapat diperiksa oleh guru yang bersangkutan

Petunjuk Penyusunan Tes Uraian

  • Hendaknya tes meliputi ide-ide pokok bahan yang akan dites-kan
  • Soal tidak sama persis dengan contoh yang ada pada catatan
  • Pada waktu menyusun soal, hendaknya juga dibuatkan kunci jawaban
  • Pertanyaan menggunakan kata tanya yang bervariasi
  • Hendaknya rumus yang digunakan dalam menjawab soal jelas dan mudah dipahami
  • Hendaknya ditegaskan model jawaban yang dikehendaki oleh pembuat, untuk itu harus spesifik dan tidak terlalu umum

Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Uraian
Perhatikan petunjuk penyusunan soal, untuk menentukan skor jawaban sebaiknya digunakan kriteria yang akan digunakan
Setiap jawaban soal hendaknya diklasifikasi dalam 4 atau 5 tingkatan, dengan skor 0, 1, 2, 3, 4 atau dengan huruf A, B, C, D dan E.
Tiap nomor soal seharusnya ditentukan bobot masing-masing
Skor mentah yang diperoleh ditransfer ke nilai 1 – 10 atau 1 – 100
Contoh : Apakah yang dimaksud dengan titik fokus pada elips?