Har Magazine official website | Members area : Register | Sign in

Model-Model Pembelajaran

Saturday, April 17, 2010

Oleh : wijayalabs

image Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.

Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.

Metode Role Playing

Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:

Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.

  1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
  2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
  3. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
  4. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:

  1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
  2. Berpikir dan bertindak kreatif.
  3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
  4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
  5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
  6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
  7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.

Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:

  1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
  2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.

Langkah-langkah:

  1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
  2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
  3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
  4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
  5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Kelebihan:

  1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
  2. Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
  3. Dapat memperoleh dari berbagai sumber.

Kekurangan:

  1. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
  2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
  3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Cooperative Script

Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.

Langkah-langkah:

  1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
  2. Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
  3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
  4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
  5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
  6. Kesimpulan guru.
  7. Penutup.

Kelebihan:

  • Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
  • Setiap siswa mendapat peran.
  • Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.

Kekurangan:

  • Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
  • Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).
Picture and Picture

Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.

Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.

Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.

Kekurangan:Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.

Numbered Heads Together

Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:

  1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
  2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
  3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
  4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
  5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
  6. Kesimpulan.

Kelebihan:

  • Setiap siswa menjadi siap semua.
  • Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
  • Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.

Kelemahan:

  • Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
  • Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)

Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.

b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.

c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.

d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.

e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.

f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.

Metode Jigsaw

Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.

Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.

Metode Team Games Tournament (TGT)

Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:

1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.

2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.

3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.

4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.

5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40


Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)

Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:

  1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
  2. Guru menyajikan pelajaran.
  3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
  4. Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
  5. Memberi evaluasi.
  6. Penutup.

Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.

Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.

Model Examples Non Examples

Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:

  1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
  2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
  3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
  4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
  5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
  6. Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
  7. KKesimpulan.

Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.

Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.

Model Lesson Study

Lesson Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:

a. Perencanaan.

b. Praktek mengajar.

c. Observasi.

d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.

2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.

3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.

4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.

5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran berikutnya.

6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).

Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:

- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.

- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.

http://gurupkn.wordpress.com/category/pembelajaran/model-model/page/3/

Model Pembelajaran ARIAS

Abstrak. Model pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Model pembelajaran ARIAS berisi lima komponen yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.

Model ini sudah dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.

Kata kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran

1. Pendahuluan

Salah satu masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil belajar siswa. Suatu tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai kabupaten dan propinsi menunjukkan hasil belajar siswa sangat rendah (Lastri 1993:12). Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1993/1994 sampai dengan 1997/1998) menunjukkan hasil belajar yang kurang menggembirakan (Depdikbud, 1998).

Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif), sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom (1982: 11) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model pembelajaran yang digunakan.

Sering ditemukan di lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek dengan baik tetapi tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa rendah. Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu model pembelajaran yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan berbagai konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa, telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran ARIAS ini dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Tujuan percobaan lapangan ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar.

2. Kajian Teori dan Pembahasan

2.1 Model Pembelajaran ARIAS

Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).

Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.

Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.

2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS

Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.

Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:

- Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan secara luas di sekolah-sekolah.

- Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).

- Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.

- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.

Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).

Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:

- Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.

- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.

- Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.

Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.

Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:

- Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.

- Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.

- Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat ke lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.

- Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk menarik minat/perhatian siswa.

Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:

  • Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
  • Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.
  • Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
  • Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.

Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: 8)merupakan suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower, 1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :

- Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru : “Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan baik sekali!”. Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa yang telah berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

- Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.

- Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal dan dihargai oleh para guru.

- Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami kesulitan/memerlukan bantuan.

2.3 Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS

Penggunaan model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa. Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.

Siswa dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat mengadakan evaluasi sendiri.

3. Hasil Percobaan di Lapangan

Model pembelajaran ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda. Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa kelas V dari sebuah sekolah dasar (SD) Negeri di Kota Palembang selama satu caturwulan yaitu catur wulan III tahun ajaran 1995/1996. Sekolah ini diambil sebagai sampel secara acak sederhana dari sejumlah SD negeri setara di Kota Palembang yang memiliki kelas V paralel. Dari keseluruhan siswa SD ini diambil 60 orang siswa kelas V sebagai sampel yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok, di mana masing-masing kelompok berjumlah 15 orang siswa. Sampel siswa ini juga diambil secara acak sederhana. Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan instrumen tes hasil belajar dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA—2 jalur dengan uji F pada taraf signifikansi a = 0,05.

Percobaan kedua juga menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2 x 2 dilaksanakan di SD yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin. Lama percobaan selama satu caturwulan yaitu catur wulan II tahun ajaran 1996/1997. Jumlah sampel sebanyak 80 orang siswa yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok di mana masing-masing kelompok berjumlah 20 orang siswa. Baik sampel SD maupun sampel siswa diambil secara acak sederhana. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan tes motivasi berprestasi. Data yang diperoleh juga dianalisis dengan ANAVA—2 jalur pada taraf signifikansi a = 0,05. Seperti halnya pada percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan uji Bartlett untuk homogenitas data.

Apakah motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Untuk itu baik pada percobaan pertama maupun pada percobaan kedua, siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol dan eksperimen. Kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Satuan pelajaran yang disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS disusun/dikembangkan oleh penulis. Pada kelompok kontrol kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran non-ARIAS, dengan satuan pelajaran disusun oleh guru kelas bersangkutan. Pada kedua percobaan ini dilakukan pengontrolan validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal adalah:

(1) Menyetarakan setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis skor tes awal setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek yang berbeda;

(2) Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna menghindari efek perbedaan instrumen pengukur;

(3) Mengusahakan agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama penelitian berlangsung untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam percobaan;

(4) Memberikan perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek pematangan dan efek tes awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:

1. Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan pemilihan guru yang memiliki kualifikasi setara ditetapkan secara acak;

2. Suasana belajar, situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok semua sama seperti hari-hari belajar biasa, kecuali penggunaan model pembelajaran ARIAS pada kelompok eksperimen, untuk menghindari efek lingkungan yang dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan dari siswa;

3. Selama percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada penelitian untuk menghindari efek Howthorne dan John Henry.

Hasil ANAVA menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh lebih besar dari Ft=4,02 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999: 120 – 121). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Pada percobaan kedua Fo=8,44 lebih besar dari Ft=3,96 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok adalah XA=18,55 > Xn-A=15,98 (Sopah,1998: 99-100). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.

Hasil kedua percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.

4. Penutup

Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

- Percobaan ini dilakukan dengan mengambil sampel salah satu SD negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Walaupun sampel ini diambil secara acak, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan ke wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu penelitian sejenis lainnya dengan sebaran dan wilayah sampel yang lebih luas. Dengan dukungan hasil penelitian sejenis ini maka diharapkan dapat merupakan bahan pertimbangan penggunaan model pembelajaran ARIAS di Sekolah Dasar.

- Waktu yang digunakan untuk percobaan ini juga terbatas. Percobaan hanya berlangsung selama satu catur wulan. Karena waktunya terbatas, maka bahan atau materi yang diberikan juga terbatas, belum begitu banyak. Meskipun dalam percobaan ini telah dilakukan pengendalian secara cermat, namun karena terbatasnya waktu dan bahan yang diberikan kemungkinan adanya pengaruh variabel lain yang tidak terkendali dapat terjadi. Untuk itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang waktunya lebih lama, bahan/materi yang diberikan lebih banyak, sehingga dapat lebih mencerminkan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat mempengaruhi hasil belajar siswa atau tidak.

- Bidang studi yang digunakan terbatas pada satu bidang studi bahkan satu subbidang studi. Hasil baik yang diperoleh dalam subbidang studi ini belum tentu memberikan hasil yang sama pada bidang studi lain. Karena itu juga perlu adanya penelitian sejenis lainnya pada berbagai bidang studi, sehingga dapat mencerminkan besarnya pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap hasil belajar siswa.

- Dalam percobaan ini satuan pelajaran yang disusun menurut model pembelajaran ARIAS, baik untuk pegangan guru maupun sebagai bahan/materi bagi murid disusun oleh penulis. Satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS ini dicobakan dan ternyata hasilnya baik. Hasil baik ini mungkin perlu didukung oleh penelitian sejenis lainnya di mana satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS disusun oleh guru bersangkutan. Dengan demikian akan terlihat apakah memang satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS yang disusun oleh guru dengan berbagai macam keterbatasannya juga akan mencapai hasil yang lebih baik.

Pustaka Acuan :

Beard, Ruth M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.

Ciri-ciri Kepala Sekolah yang Efektif

Sunday, April 11, 2010

image Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah (Mulyasa, 2005).
Manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan karena manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses pembelajaran.
Sekolah efektif dalam perspektif manajemen, manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Darling-Hammond, L (1992) menyatakan dimensi sekolah efektif meliputi : 1) layanan belajar bagi siswa, 2) pengelolaan dan layanan siswa, 3) sarana dan pra sarana sekolah, 4) program dan pembiayaan, 5) partisipasi masyarakat, dan 6) budaya sekolah.
Sekolah yang efektif berada dalam lapangan manajemen sekolah yang ciri/karakteristiknya menurut Edmonds (dalam Syafaruddin, 2002) meliputi (a) Kepala sekolah dan guru-guru memiliki komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap perbaikan mutu pengajaran, (b) Guru-guru memiliki harapan yang tinggi untuk mendukung pencapaian prestasi siswa, (c) Iklim sekolah yang tidak kaku, sejuk tanpa tekanan dan kondusif dalam seluruh proses pengajaran, (d) Sekolah mempunyai pemahaman yang luas tentang fokus pengajaran dan mengusahakan keefektifan sekolah dengan mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan secara maksimal, (e) Sekolah efektif dapat menjamin kemajuan siswa yang dimonitor secara periodik.
Sejalan dengan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen meliputi sebagai berikut:
Dalam perencanaan meliputi (1) Kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, (3) Kepala sekolah dapat menyusun program kerja sekolah, dan (4) Kepala sekolah dapat merumuskan langkah-langkah pelaksanaan program.
Dalam pengorganisasian meliputi (1) Kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM, (2) Kepala sekolah dapat mengatur penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa, guru dan personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, (3) Kepala sekolah dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan personel sekolah lainnya, (4) Kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.
Dalam penggerakan meliputi (1) Kepala sekolah dapat memotivasi guru sehingga guru merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program- program sekolah, (2) Kepala sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, (3) Kepala sekolah dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalisme sesuai dengan bidangnya, (4) Kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi.
Dalam pengendalian meliputi (1)Kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan, (2) Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya, (3) Kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telah dicapai oleh guru, (4) Kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.

sumber : Anwar Holil

Contoh Judul PTK (Penelitian Tindakan Kelas)

  1. image Peningkatan Keterampilan Berbahasa Membaca Siswa Kelas VII B SMP Negeri Melalui Model Pembelajaran PBL Teknik Bercerita
  2. Peningkatan Kemampuan Membawakan Acara Dalam Aktivitas Pembelajaran Berbicara Dengan Pendekatan Lesson Study Pada Peserta Didik Kelas VIIIa SMPN
  3. Pembelajaran PKn Menggunakan Metode Permainan Ular Tangga Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa Pada Kompetensi Dasar Budaya Demokrasi
  4. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Group Investigation Dengan Pendekatan Salingtemas (Sains-Lingkungan-Teknologi-Masyarakat) Dalam Meningkatkan Kemampuan Kerja Ilmiah Dan Hasil Belajar Kognitif Biologi Siswa Kelas X SMA Negeri
  5. Penerapan Pembelajaran Fisika Dengan The 5 E Learning Cycle Model Untuk Meningkatkan Kemampuan Bertanya Guru dan Siswa Serta Prestasi Belajar Siswa Kelas VII E SMP Negeri
  6. Perbandingan Hasil Belajar Dan Motivasi Belajar Siswa Yang Diajar Dengan Model Pembelajaran Konvensional, Problem Solving dan STAD Pada Materi Hidrolisis Garam Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri Tahun Ajaran 2007/2008
  7. Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Materi Bangun Datar Segi Empat Melalui Penerapan Model Pembelajaran Partisipatif Siswa Kelas VII-A Uptd SMP Negeri
  8. Penggunaan Metode Bermain Peran Pada Pembelajaran Sejarah Islam Untuk Meningkatkan Penghayatan Terhadap Ajaran Islam Dalam Kehidupan Sehari-Hari Siswa Kelas 2 SMP Negeri
  9. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Dengan Model Group Investigation (GI) Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas XI SMA
  10. Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Kimia Dengan Menerapkan Model Pembelajaran Learning Cycle Di Kelas VII-F SMP Negeri
  11. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Partisipatif Pada Mata Pelajaran Sejarah Di Kelas XI.IPS.2
  12. Peningkatkan Prestasi Belajar Masalah Ekonomi Internasional Pada Mata Pelajaran Ekonomi Terhadap Siswa Kelas XII-Is SMA Negeri Semester I Melalui Penerapan Metode Bervariasi
  13. Penerapan Pendekatan Kolaboratif Murder Dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Sosiologi Para Siswa Kelas XI IPS1 SMAN
  14. Integrasi Outdoor Learning Dan Indoor Learning Dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Di TK
  15. Peningkatan Pemahaman Siswa Kelas 3 SMP Negeri Terhadap Konsep Kelangsungan Hidup Organisme Melalui Pendekatan Inkuiri Terpimpin
  16. Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Materi Bangun Datar Segi Empat Melalui Penerapan Model Pembelajaran Partisipatif Siswa Kelas 2 SMP Negeri
  17. Peningkatan Pemahaman Konsep Hukum Bacaan Nun Mati Dan Tanwin Serta Mim Mati Melalui Penerapan Pembelajaran Kontekstual Siswa Kelas 1 Pada SMP Negeri
  18. Upaya Peningkatan Kemampuan Dalam Penguasaan Teknik Dasar Lompat Jauh Gaya Menggantung (Schneper) Melalui Metode Drill Siswa Kelas X 2 Semester 1 SMA Negeri
  19. Upaya Meningkatkan Apresiasi Sastra Jawa Pengenalan Tokoh Wayang Dengan Cara Permainan Dalang Sebagai Pancadan Pada Siswa Kelas IX A SMP Negeri
  20. Dengan Melalui Simulasi Permainan Dadu Yang Unik Akan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Di SMP
  21. Pemanfaatan Media Televisi Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas IXe SMP Negeri 1
  22. Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Konsep Gelombang Mekanik Melalui Pendekatan Kooperatif Model Tgt Menggunakan Figjig Pada Kelas III IPA SMA Negeri
  23. Penerapan Strategi Mind Mapping Untuk Meningkatkan Kompetensi Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri
  24. Penerapan Model Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran) Dalam Meningkatkan Pemahaman Makna Keterbukaan Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Pada Siswa Kelas XI IPA-1 SMA
  25. Implementasi Tutor Sebaya Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Tari Puspawresti Pada Siswa Kelas VIII D Semester Ganjil SMP Negeri

contoh judul yang lain bisa dilihat di www.ktiptk.com

Strategi Pengembangan Pembelajaran Berbasis TIK

Friday, April 9, 2010

image Indonesia sebagai negara berpopulasi tertinggi ke-4 tentunya memiliki tantangan yang nyaris yang sama dengan negara China dan India. Problem kesehatan dan pendidikan selalu dijadikan parameter untuk mengukur kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Indonesia dengan populasi 247 juta dimana diantaranya terdapat 51 juta siswa dan 2,7 juta guru di lebih dari 293.000 sekolah, serta 300.000 dosen di lebih dari 2.700 perguruan tinggi yang tersebar di 17.508 pulau, 33 provinsi, 461 kabupaten/kota, 5.263 Kecamatan, dan 62.806 desa. Tentunya juga memiliki tantangan khusus di bidang pendidikan.
Beberapa tantangan diantaranya adalah: masih banyaknya anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun: angka partisipasi anak berusia sekolah 7-12 tahun untuk bersekolah masih dibawah 80% (APK SMP 85,22 dan APK SMA 52,2). Tantangan berikutnya adalah (1) tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah (sebagai contoh: tidak semua sekolah memiliki saluran telepon, apalagi koneksi internet): Kota vs Desa/Daerah Terpencil/Daerah Perbatasan, Indonesia Barat vs Indonesia Timur. (2) Tidak seragamnya dan masih rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah yang ditandai dengan tingkat kelulusan UN yang masih rendah, demikian pula nilai UN yang diperoleh siswa. (3) Rendahnya kualitas kompetensi tenaga pengajar, dimana dari jumlah guru yang ada 2.692.217, ternyata yang memenuhi persyaratan (tersertifikasi) hanya 727.381 orang atau baru 27% dari total jumlah guru di Indonesia. Dan yang tidak kalah penting adalah (4) rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah yang telah memiliki fasilitas TIK (utilitas rendah), disisi lain tidak semua sekolah mempunyai sarana TIK yang memadai.
Sejumlah perubahan paradigma di dalam proses pembelajaran perlu kita lakukan agar kita siap memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Berikut ini adalah paradigma yang perlu segera diubah dan secepatnya menyesuaikan dengan perkembangan sistem, infrastruktur dan konten pembelajaran berbasis TIK:

Pada kesempatan ini pula perlu sama-sama kita luruskan kembali bahwa TIK bukan hanya komputer dan internetnya, TIK juga melingkupi media informasi seperti radio dan televisi serta media komunikasi seperti telepon maupun telepon seluler dengan SMS, MMS, Music Player, Video Player, Kamera Foto Digital, dan Kamera Video Digital-nya serta e-Book Reader-nya. Jadi banyak media alternatif yang dapat dipilih oleh pengajar untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan berkesan. TIK yang termanfaatkan dengan baik dan tepat di dalam pendidikan akan: memperluas kesempatan belajar, meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas belajar, meningkatkan kualitas mengajar, memfasilitasi pembentukan keterampilan, mendorong belajar sepanjang hayat berkelanjutan, meningkatkan perencanaan kebijakan dan manajemen, serta mengurangi kesenjangan digital.
Pemanfaatan TIK
Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4 (empat) kelompok manfaat.
Pertama, TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai sebagai Referensi Ilmu Pengetahuan Terkini, Manajemen Pengetahuan, Jaringan Pakar Beragam Bidang Ilmu, Jaringan Antar Institusi Pendidikan, Pusat Pengembangan Materi Ajar, Wahana Pengembangan Kurikulum, dan Komunitas Perbandingan Standar Kompetensi.
Kedua, TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan sehari-hari di dalam proses belajar-mengajar, yaitu (1) TIK sebagai alat bantu guru yang meliputi: Animasi Peristiwa, Alat Uji Siswa, Sumber Referensi Ajar, Evaluasi Kinerja Siswa, Simulasi Kasus, Alat Peraga Visual, dan Media Komunikasi Antar Guru. Kemudian (2) TIK sebagai Alat Bantu Interaksi Guru-Siswa yang meliputi: Komunikasi Guru-Siswa, Kolaborasi Kelompok Studi, dan Manajemen Kelas Terpadu. Sedangkan (3) TIK sebagai Alat Bantu Siswa meliputi: Buku Interaktif , Belajar Mandiri, Latihan Soal, Media Illustrasi, Simulasi Pelajaran, Alat Karya Siswa, dan media Komunikasi Antar Siswa.
Ketiga, TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: Perpustakaan Elektronik, Kelas Virtual, Aplikasi Multimedia, Kelas Teater Multimedia, Kelas Jarak Jauh, Papan Elektronik Sekolah, Alat Ajar Multi-Intelejensia, Pojok Internet, dan Komunikasi Kolaborasi Kooperasi (Intranet Sekolah). dan
Keempat, TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK kita temukan dukungan teknis dan aplikatif untuk pembelajaran – baik dalam skala menengah maupun luas – yang meliputi: Ragam Teknologi Kanal Distribusi, Ragam Aplikasi dan Perangkat Lunak, Bahasa Pemrograman, Sistem Basis Data, Komputer Personal, Alat-Alat Digital, Sistem Operasi, Sistem Jaringan dan Komunikasi Data, dan Infrastruktur Teknologi Informasi (Media Transmisi).
Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tersebut kita berharap hal ini akan memberi sumbangsih besar dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia yang cerdas dan kompetitif melalui pembangunan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Masyarakat yang tangguh karena memiliki kecakapan: (1) ICT and media literacy skills, (2) critical thinking skills, (3) problem-solving skills, (4) effective communication skills, dan (5) collaborative skills yang diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan tantangan hidupnya.
Peran Guru & Siswa
Di dalam proses belajar-mengajar tentunya ada subjek dan objek yang berperan secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru & Siswa sama-sama dituntut untuk membuat suasana belajar dan proses transfer of knowledge–nya berjalan menyenangkan serta tidak membosankan. Oleh karena itu penataan peran Guru & Siswa di dalam kelas yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran perlu dipahami dan dimainkan dengan sebaik-baiknya.
Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata namun sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi Siswa. Karenanya Guru dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran Guru sebagaimana dimaksud, maka peran Siswa pun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain Siswa juga dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain.
Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah, Guru dan Siswa harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip:
[1] Aktif: memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.
[2] Konstruktif: memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.
[3] Kolaboratif: memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.
[4] Antusiastik: memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
[5] Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah.
[6] Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning”
[7] Reflektif: memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et al (2001)).
[8] Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).
[9] High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka bukti otentik terjadinya pembelajaran berbasis TIK dapat kita cermati dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun dan implementasinya yang dilaksanakan oleh setiap guru mata pelajaran di sekolah. RPP yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran dapat disusun melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan idealis dan pendekatan pragmatis.
Pertama, Pendekatan Idealis dapat dimulai dengan menentukan topik, kemudian menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; dan menentukan aktifitas pembelajaran dengan memanfaatkan TIK (seperti modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang relevan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut.
Kedua, Pendekatan Pragmatis dapat diawali dengan mengidentifikasi TIK (seperti buku, modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang ada atau mungkin bisa dilakukan atau digunakan, kemudian memilih topik-topik apa yang bisa didukung oleh keberadaan TIK tersebut, dan diakhiri dengan merencanakan strategi pembelajaran yang relevan untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar dari topik pelajaran tersebut.
Adapun strategi yang dapat dipilih sesuai dengan kedua pendekatan tersebut adalah strategi: Resources-based learning (pembelajaran berbasis sumber daya), Case/problem-based learning (pembelajaran berbasis permasalahan/kasus sehari-hari), Simulation-based learning (pembelajaran berbasis simulasi), dan Colaborative-based learning (pembelajaran berbasis kolaborasi).
Peran TVE & Jardiknas
Sebagaimana kita ketahui bersama, tantangan terbesar negara kita dalam mencerdaskan bangsa adalah akses setiap masyarakat Indonesia ke sumber-sumber pengetahuan dan informasi pendidikan. Oleh karena itulah Depdiknas berupaya menjawab tantangan tersebut dengan inisiatif yang penuh inovasi melalui penyelenggaraan siaran TV Edukasi yang diresmikan pada tahun 2004 ini merupakan televisi yang mengkhususkan pada siaran pendidikan, termasuk program pembelajaran. Kemudian pada tahun 2006, Depdiknas menggelar Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional) yang merupakan jaringan TIK nasional terbesar yang dimanfaatkan oleh Depdiknas untuk keperluan komunikasi data administrasi, konten pembelajaran, serta informasi dan kebijakan pendidikan.
TVE yang kini telah memiliki saluran 2 untuk Guru ini memiliki pola siaran: Informasi yang berisikan materi: News, Pola siaran yang berisikan Kebijakan, Profil Guru, dan sebagainya; Tutorial (Pendidikan Formal) yang berisikan materi: pembelajaran berdasarkan kurikulum Program SD, SMP, SMA, SMK, PJJ S-1 PGSD konsorsium dan Program S1 PGSD Non Konsorsium; dan Pengayaan yang berisikan materi: pengkayaan dan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi Guru.
Sedangkan Jardiknas saat ini memiliki 1.072 node (simpul) Zona Kantor dan Perguruan Tinggi yang tersebar di 33 provinsi dan 456 kabupaten/kota. Jardiknas yang berpusat di NOC Pustekkom Ciputat Banten dan NOC Telkom Karet Jakarta ini difasilitasi bandwidth intranet, internet domestik dan internet internasional yang cukup memadai untuk mendukung e-administrasi dan e-pembelajaran di Indonesia. Dalam waktu dekat – dalam rangka memenuhi Inpres nomor 5 tahun 2008 – Depdiknas akan mengembangkan Jardiknas Zona Sekolah untuk 15.000 sekolah dan Jardiknas Zona Perorangan untuk 7.943 tenaga pengajar yang memiliki laptop. Media koneksi Jardiknas Zona Sekolah berorientasi static internet (fixed), sedangkan Jardiknas Zona Perorangan berorientasi kepada mobile internet.
Konten
Kita memahami bahwa infrastruktur semegah apapun tidak akan berarti sama sekali jika tiada konten bermanfaat di dalamnya. Setiap hari pengguna internet berselancar di dunia maya hanya untuk mencari konten yang benar-benar diinginkannya secara instan. Baik didorong oleh rasa keingintahuan terhadap suatu fenomena maupun sekedar membuktikan sebuah informasi.
Demikian halnya konten pendidikan yang disajikan melalui TVE maupun disediakan melalui Jardiknas. Beberapa konten e-learning yang selama ini cukup mendukung pembelajaran berbasis TIK adalah: Bimbingan Belajar Online, Bank Soal Online, Uji Kompetensi Online, Smart School, Telekolaborasi, Digital Library, Research Network, dan Video Conference PJJ.
Salah satu konten yang cukup menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah program buku murah yang dikemas di dalam aplikasi Buku Sekolah Elektronik (BS) yang dapat diakses melalui: bse.depdiknas.go.id. BSE merupakan langkah reformasi di bidang perbukuan dimana Depdiknas telah membeli Hak Cipta buku-buku teks pelajaran SD, SMP, SMA, dan SMK tersebut. Softcopy buku-buku teks pelajaran tersebut didistribusikan melalui web BSE agar guru atau masyarakat dapat mengakses, mengunduh, mencetak, mendistribusikan, atau menjualnya sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) dimana saja dan kapan saja. Selain BSE versi Online yang dapat diakses melalui internet, Depdiknas juga telah menyediakan dan mendistribusikan BSE versi Offline yang dikemas di dalam cakram padat DVD.
Demikian strategi pengembangan pembelajaran berbasis TIK yang terus-menerus dikembangkan dan didukung oleh Depdiknas melalui sejumlah inisiatif dan inovasi di bidang teknologi pembelajaran, teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Kita dapat berharap suatu saat nanti TVE dan Jardiknas dapat menjadi Pusat Konten Pembelajaran yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja melalui koneksi Kabel, Nirkabel & Satelit.

sumber : petik-jateng.blogspot.com

Model Pembelajaran Langsung (Direct atau Directive Instruction)

image A. Pengertian

Direct Instruction atau directive instruction, dibahasaIndonesiakan menjadi pembelajaran langsung, digunakan oleh para peneliti untuk merujuk pada pola-pola pembelajaran di mana guru banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa dan menguji
keterampilan siswa melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru. Dengan demikian, tujuan pembelajaran distrukturkan oleh guru. Sementara itu, menurut Roy Killen (1998:2), direct instruction merujuk pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas. Pendekatan dalam model pembelajaran ini berpusat pada guru di mana guru menyampaikan isi akademik dalam format yang sangat terstruktur, mengarahkan kegiatan para siswa, dan mempertahankan focus pencapaian akademik.

Tujuan utama pembelajaran langsung (direktif) adalah untuk memaksimalkan penggunaan waktu belajar siswa. Beberapa temuan dalam teori perilaku di antaranya adalah pencapaian siswa yang dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa dalam belajar/tugas dan kecepatan siswa untuk berhasil dalam mengerjakan tugas sangat positif. Dengan demikian, model pembelajaran langsung dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar terstruktur dan berorientasi pada pencapaian akademik. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya, guru dapat menggunakan berbagai media, misalnya film, tape recorder, gambar, peragaan, dsb. Informasi yang dapat disampaikan dengan strategi direktif dapat berupa pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu atau pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian pembelajaran langsung dapat didefinisikan sebagai model pembelajaran di mana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan secara langsung kepada siswa dan pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan oleh guru. Model ini sangat cocok jika guru menginginkan siswa menguasai informasi atau keterampilan tertentu. (Gerten, Taylor & Graves, 1999), akan tetapi jika guru menginginkan siswa belajar menemukan konsep lebih jauh dan melatihkan keterampilan berpikir lainnya, maka model ini kurang cocok.

B. Karakteristik Model Pembelajaran Langsung

Salah satu karakteristik dari suatu model pembelajaran adalahadanya sintaks atau tahapan pembelajaran. Di samping harus memperhatikan sintaks, guru yang akan menggunakan model pembelajaran langsung juga harus memperhatikan variable-variabel lingkungan lainnya, yaitu fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa, waktu, dan dampak netral dari pembelajaran. Fokus akademik diartikan sebagai prioritas pemilihan tugas-tugas yang harus dilakukan siswa, selama pembelajaran, aktivitas akademik harus ditekankan. Pengarahan dan kontrol guru terjadi ketika guru memilih tugas-tugas siswa dan melaksanakan pembelajaran, menentukan kelompok, berperan sebagai sumber belajar selama pembelajaran, dan meminimalisasikan kegiatan non akademik di antara siswa. Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan sehingga guru memiliki harapan yang tinggi terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran langsung sangat mengoptimalkan penggunaan waktu. Sintaks model pembelajaran langsung menurut Bruce dan Weil (1996:349) adalah sebagai berikut.

1. Orientasi

Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, akan sangat menolong siswa jika guru memberikan kerangka pelajaran dan orientasi terhadap materi yang akan disampaikan. Bentukbentuk orientasi dapat berupa : a) kegiatan pendahuluan untuk mengetahui pengetahuan yang relevan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa; b) mendiskusikan atau menginformasikan tujuan pelajaran; c) memberikan penjelasan/arahan mengenai kegiatan yang akan dilakukan; d) menginformasikan materi/konsep yang akan digunakan dan kegiatan yang akan dilakukan selama pembelajaran; dan e) menginformasikan kerangka pelajaran.

2. Presentasi

Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik berupa konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian materi dapat berupa:TIF, EFEKTIF DAN MENYENANGKAN

a) penyajian materi dalam langkah-langkah kecil sehingga materi dapat dikuasai siswa dalam waktu relatif pendek; b) pemberian contoh-contoh konsep ; c) pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara demonstrasi atau penjelasan langkah-langkah kerja terhadap tugas; d) menghindari disgresi; e) menjelaskan ulang hal-hal yang sulit.

3. Latihan terstruktur

Pada fase ini guru memandu siswa untuk melakukan latihan-latihan. Peran guru yang penting dalam fase ini adalah memberikan umpan balik terhadap respon siswa dan memberikan penguatan terhadap respon siswa yang benar dan mengoreksi respon siswa yang salah.

4. Latihan terbimbing

Pada fase ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini baik juga digunakan oleh guru untuk mengases kemampuan siswa untuk melakukan tugasnya. Pada fase ini peran guru adalah memonitor dan memberikan bimbingan jika diperlukan.

5. Latihan mandiri

Pada fase ini siswa melakukan kegiatan latihan secara mandiri, fase ini dapat dilalui siswa jika telah menguasai tahap-tahap pengerjaan tugas 85-90% dalam fase bimbingan latihan. Borich dalam Udin S, (1992:107) mengemukakan sintaks pembelajaran langsung sebagai berikut.

1. Reviu harian

Pengecekan pekerjaan yang lalu

Pengarahan ulang

2. Penyajian bahan baru

Memberi pAndangan umum

Menjabarkan langkah khusus

3. Membimbing kegiatan siswa

Memberikan penegasan

Memberi umpan balik khusus

Mengecek pengertian

Melanjutkan kegiatan

4. Memberikan koreksi dan umpan balik

Memberi koreksi

Memberi umpan balik

5. Memberi latihan bebas

6. Reviu mingguan dan bulanan

Slavin (2003:222) mengemukakan tujuh langkah dalam sintaks pembelajaran langsung, yaitu sebagai berikut.

1. Menginformasikan tujuan pembelajaran dan orientasi pelajaran kepada siswa. Dalam fase ini guru menginformasikan hal- hal yang harus dipelajari dan kinerja siswa yang diharapkan.

2. Mereviu pengetahuan dan keterampilan prasyarat. Dalam fase ini guru mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengetahuan dan keterampilan yang telah dikuasai siswa.

3. Menyampaikan materi pelajaran. Dalam fase ini, guru menyampaikan materi, menyajikan informasi, memberikan contoh-contoh, mendemontrasikan konsep dan sebagainya.

4. Melaksanakan bimbingan, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman siswa dan mengoreksi kesalahan konsep.

5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih. Dalam fase ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih keterampilannya atau menggunakan informasi baru secara individu atau kelompok.

6. Menilai kinerja siswa dan memberikan umpan balik. Guru memberikan reviu terhadap hal-hal yang telah dilakukan siswa, memberikan umpan balik terhadap respon siswa yang benar dan mengulang keterampilan jika diperlukan.

7. Memberikan latihan mandiri. Dalam fase ini, guru dapat memberikan tugas-tugas mandiri kepada siswa untuk meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang telah mereka pelajari. Berdasarkan sintaks di atas, model pembelajaran langsung mengutamakan pendekatan deduktif, dengan titik berat pada proses belajar konsep dan keterampilan motorik. Suasana pembelajaran terkesan lebih terstruktur dengan peranan guru yang lebih dominan.

Killen (1998:2) mengemukakan beberapa kelebihan model pembelajaran langsung jika diterapkan secara efektif, sebagai berikut:

Siswa dapat mengetahui tujuan-tujuan pembelajaran secara jelas.

Waktu untuk berbagai kegiatan pembelajaran dapat dikontrol dengan ketat.

Guru dapat mengendalikan urutan kegiatan pembelajaran.

Terdapat penekanan pada pencapaian akademik.

Kinerja siswa dapat dipantau secara cermat.

Umpan balik bagi siswa berorientasi akademik.

Selain itu, model pembelajaran langsung juga disukai karena memberi guru kendali penuh atas apa, kapan, dan bagaimana siswa

belajar, serta memiliki dasar penelitian yang kuat.

C. Kapan Menggunakan Model Pembelajaran Langsung sebagai Strategi Pembelajaran?

Berikut beberapa situasi di mana model pembelajaran langsung cocok untuk diterapkan:

Ketika guru ingin mengenalkan suatu bidang pembelajaran yang baru dan memberikan garis besar pelajaran dengan mendefinisikan Konsep-konsep kunci dan menunjukkan keterkaitan di antara konsep-konsep tersebut.

Ketika guru ingin mengajari siswa suatu keterampilan atau prosedur yang memiliki struktur yang jelas dan pasti.

Ketika guru ingin memastikan bahwa siswa telah menguasai keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa, misalnya penyelesaian masalah (problem solving).

Ketika guru ingin menunjukkan sikap dan pendekatan-pedekatan intelektual (misalnya menunjukkan bahwa suatu argumen harus didukung oleh bukti-bukti, atau bahwa suatu penjelajahan ide tidak selalu berujung pada jawaban yang logis)

Ketika subjek pembelajaran yang akan diajarkan cocok untuk dipresentasikan dengan pola penjelasan, pemodelan, pertanyaan, dan penerapan.

Ketika guru ingin menumbuhkan ketertarikan siswa akan suatu topik.

Ketika guru harus menunjukkan teknik atau prosedur-prosedur tertentu sebelum siswa melakukan suatu kegiatan praktik.

Ketika guru ingin menyampaikan kerangka parameter-parameter untuk memandu siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran kelompok atau independen.

Ketika para siswa menghadapi kesulitan yang sama yang dapat diatasi dengan penjelasan yang sangat terstruktur.

Ketika lingkungan mengajar tidak sesuai dengan strategi yang berpusat pada siswa atau ketika guru tidak memiliki waktu untuk melakukan pendekatan yang berpusat pada siswa.

D. Kelebihan-Kelebihan Menggunakan Model Pembelajaran Langsung

Model pembelajaran langsung memberi guru kendali penuh atas lingkungan pembelajaran. Berikut beberapa kelebihannya:

Dengan model pembelajaran langsung, guru mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa.

Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.

Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat diungkapkan.

Dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan pengetahuan faktual yang sangat terstruktur.

Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah.

Dapat menjadi cara untuk menyampaikan informasi yang banyak dalam waktu yang relatif singkat yang dapat diakses secara setara oleh seluruh siswa.

Memungkinkan guru untuk menyampaikan ketertarikan pribadi mengenai mata pelajaran (melalui presentasi yang antusias) yang dapat merangsang ketertarikan dan dan antusiasme siswa.

Ceramah merupakan cara yang bermanfaat untuk menyampaikan informasi kepada siswa yang tidak suka membaca atau yang tidak memiliki keterampilan dalam menyusun dan menafsirkan informasi.

Secara umum, ceramah adalah cara yang paling memungkinkan untuk menciptakan lingkungan yang tidak mengancam dan bebas stres bagi siswa. Para siswa yang pemalu, tidak percaya diri, dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tidak merasa dipaksa dan berpartisipasi dan dipermalukan.

Model pembelajaran langsung dapat digunakan untuk membangun model pembelajaran dalam bidang studi tertentu. Guru dapat menunjukkan bagaimana suatu permasalahan dapat didekati, bagaimana informasi dianalisis, dan bagaimana suatu pengetahuan dihasilkan.

Pengajaran yang eksplisit membekali siswa dengan "cara-cara disipliner dalam memandang dunia (dan) dengan menggunakan Perspektif-perspektif alternatif" yang menyadarkan siswa akan keterbatasan perspektif yang inheren dalam pemikiran sehari-hari.

Model pembelajaran langsung yang menekankan kegiatan mendengar (misalnya ceramah) dan mengamati (misalnya demonstrasi) dapat membantu siswa yang cocok belajar dengan cara-cara ini.

Ceramah dapat bermanfaat untuk menyampaikan pengetahuan yang tidak tersedia secara langsung bagi siswa, termasuk contoh-contoh yang relevan dan hasil-hasil penelitian terkini.

Model pembelajaran langsung (terutama demonstrasi) dapat member siswa tantangan untuk mempertimbangkan kesenjangan yang terdapat di antara teori (yang seharusnya terjadi) dan observasi (kenyataan yang mereka lihat).

Demonstrasi memungkinkan siswa untuk berkonsentrasi pada hasil-hasil dari suatu tugas dan bukan teknik-teknik dalam menghasilkannya. Hal ini penting terutama jika siswa tidak memiliki kepercayaan diri atau keterampilan dalam melakukan tugas tersebut.N MENYENANGKAN

Siswa yang tidak dapat mengarahkan diri sendiri dapat tetap berprestasi apabila model pembelajaran langsung digunakan secara efektif.

Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi guru sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaikinya.

E. Keterbatasan-Keterbatasan Model Pembelajaran Langsung

Berikut adalah beberapa keterbatasan model pembelajaran langsung:

Model pembelajaran langsung bersAndar pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, mengamati, dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-hal tersebut, guru masih harus mengajarkannya kepada siswa.

Dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa.

Karena siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif, sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal mereka.

Karena guru memainkan peran pusat dalam model ini, kesuksesan strategi pembelajaran ini bergantung pada image guru. Jika guru tidak tampak siap, berpengetahuan, percaya diri, antusias, dan terstruktur, siswa dapat menjadi bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran mereka akan terhambat.

Terdapat beberapa bukti penelitian bahwa tingkat struktur dan kendali guru yang tinggi dalam kegiatan pembelajaran, yang menjadi karakteristik model pembelajaran langsung, dapat berdampak negative terhadap kemampuan penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa.

Model pembelajaran langsung sangat bergantung pada gaya komunikasi guru. Komunikator yang buruk cenderung menghasilkan pembelajaran yang buruk pula dan model pembelajaran langsung membatasi kesempatan guru untuk menampilkan banyak perilaku komunikasi positif yang diidentifikasikan oleh Wubbels, Creton, Levy, dan Hooymayers (1993).

Jika materi yang disampaikan bersifat kompleks, rinci, atau abstrak, model pembelajaran langsung mungkin tidak dapat memberi siswa kesempatan yang cukup untuk memproses dan memahami informasi yang disampaikan.

Model pembelajaran langsung memberi siswa cara pandang guru mengenai bagaimana materi disusun dan disintesis, yang tidak selalu dapat dipahami atau dipahami oleh siswa. Siswa memiliki sedikit kesempatan untuk mendebat cara pandang ini.

Jika model pembelajaran langsung tidak banyak melibatkan siswa, siswa akan kehilangan perhatian setelah 1015 menit dan hanya akan mengingat sedikit isi materi yang disampaikan.

Jika terlalu sering digunakan, model pembelajaran langsung akan membuat siswa percaya bahwa guru akan memberitahu mereka semua yang perlu mereka ketahui. Hal ini akan menghilangkan rasa tanggung jawab mengenai pembelajaran mereka sendiri.

Karena model pembelajaran langsung melibatkan banyak komunikasi satu arah, guru sulit untuk mendapatkan umpan balik mengenai pemahaman siswa. Hal ini dapat membuat siswa tidak paham atau salah paham.

Beberapa hal (seperti psikomotorik) tidak dapat diajarkan melalui model pembelajaran langsung.

Demonstrasi sangat bergantung pada keterampilan pengamatan siswa. Sayangnya, banyak siswa bukanlah pengamat yang baik sehingga dapat melewatkan hal-hal yang dimaksudkan oleh guru.

sumber : pgsd.co.cc